Hari-hari ku terasa lebih menyenangkan sekarang. Tidak sesak terhimpit omelan mertua lagi. Aku sudah ikhlas jika beliau seperti itu. Mungkin sudah wataknya begitu. Aku hanya perlu jaga jarak. Dan yakin bahwa beliau tidak selamanya begitu. Pasti ada sisi lembutnya. Dan lagi, harus menanamkan pada diri ini bahwa beliau adalah orangtua Adit, suamiku. Yang artinya beliau orangtua ku juga. Orang yang wajib aku hormati layaknya orangtua sendiri, meski tetap pada versi yang berbeda.
Pasti ada omelan dan teguran setiap harinya. Ada saja yang salah. Mungkin memang aku yang salah. Karena sejati nya orang tua sudah lebih dulu mengalami pahit manisnya biduk rumah tangga yang mereka jalani. Tidak mungkin menegur tanpa alasan. Hanya saja caranya kadang tidak sesuai dengan hati kita.
Aku berusaha menerima itu. Aku anggap sebagai pelajaran penting dalam menjalani peran sebagai istri. Orang yang menjadikan aku gelar menantu, beliau juga adalah seorang menantu dalam rumah tangga nya. Sepak terbang nya sudah pasti terjamin. Dan pengalaman nya sudah tidak diragukan lagi sebagai menantu. Pasti juga sudah fasih hafal diluar kepala. Mana yang benar dan mana yang salah.
Tengah malam aku terbangun. Merasakan perutku yang melilit luar biasa.
"Kenapa ya, perasaan aku tidak makan pedas. Makan yang asam juga tidak. Masa iya aku lapar. Tadi kan aku juga sudah makan malam". Gumamku dalam hati. Tidak mungkin membangunkan Adit. Dia pasti capek. Dan lagi besoknya juga harus kerja pagi. Kasihan kalau malam-malam begini aku bangunkan.
Mencoba menyingkirkan tangan Adit, aku berusaha lepas dari pelukan nya. Semoga saja dia tidak terbangun. Bergeser ke pokok kamar, aku mencari cemilan yang sekiranya bisa aku makan. Malu kalau harus ke dapur ketahuan mertua sedang mencari makanan.
"Yank.." Adit mengernyit, mencari yang hilang dari pelukan.
"Iya.." Aku berhenti mengunyah, yang ada hanya hening.
"Ngapain yank.." Tanya Adit menoleh, mendapati aku yang sedang memegang keripik pisang.
"Ini.. lagi ngemil yank" Aku meringis malu.
"Malam-malam begini. Kamu lapar? Tanya nya lagi.
"Sedikit.." Jawabku.
"Kalau lapar kenapa tidak bilang. Mau beli atau buat nasi goreng yank?" Tawar Adit.
"Tidak usah yank. Ini sudah kenyang kok" Tidak enak hati kalau Adit harus bangun buat nasi goreng, apalagi beli keluar.
"Kenyang apanya. Itu hanya keripik, mana bisa bikin perut kenyang. Paling sebentar lapar lagi"
"Mau kemana yank, kok pakai baju?"
"Bikin nasi goreng. Kamu tunggu saja disini"
"Tidak usah, nanti malah mamah bangun dengar suara berisik di dapur"
"Kalau begitu aku beli keluar dulu sebentar. Tunggu ya.."
"Aku ikut yank.."
"Tadi katanya tidak mau.." Goda Adit.
"Tadi kan takut ngerepotin kamu. Tapi kalau kamu yang mau ya tidak apa-apa" Jawabku mencari alasan.
"Alasan. Bilang saja kamu malu kan. Malu tapi laperrr.. Hahahaha"
"Ih... ayank. Jangan begitu" Gemas, aku mencubit perut Adit.
"Aduh... aduh.. sakit yank?" Rajuknya. Padahal aku mencubit hanya sedikit, tidak pakai tenaga.
"Ada apa ini ribut sekali malam-malam" Tegur ibu mertuaku berkacak pinggang. Sudah di depan kamar kami.
"Eh mah, mamah bangun? Tanya Adit. Aku hanya mengangguk sungkan. Pasti mau mengomel, karena tidurnya terganggu.
"Ya jelaslah terbangun. Kalian ini berisik sekali malam-malam tertawa seenaknya , memang ini hutan ha?"
"Maaf mah, mungkin kami terlalu keras tertawanya. Jadi membuat tidur mamah terganggu" Jelas Adit. Aku hanya diam menyimak. Tidak berminat menambah drama tengah malam.
"Mau kemana kalian malam-malam begini" Imbuhnya lagi.
"Ke depan mah. Cari nasi goreng. Si teteh lapar katanya". Adit tetap kalem. Tidak balas emosi sama sekali.
"Tidak usah manja kamu. Malam-malam begini waktunya orang tidur. Bukan seenaknya kamu suruh keluar cari makan" Teriak mamah mertuaku makin menjadi.
Baru saja mulutku membuka hendak menjawab, ayah mertuaku keluar dari dalam kamar dengan mata setengah terpejam.
"Kenapa sih mah, malam-malam teriak-teriak begini. Ada apa?"
"Itu tuh pak, si teteh manja banget. Tengah malam begini minta cari nasi goreng keluar. Padahal kan besok Adit kerja pagi. Nanti kalau Adit kurang tidur bagaimana? Bikin orang susah saja" Gerutu mamah Adit.
"Biar saja mah, mungkin si teteh laper. Mamah kaya ngga pernah muda saja. Mamah kan dulu juga begitu" Kicep. Yang disebut langsung balik kanan ke dalam kamar. Aku mengulum senyum.
Kalau ibu mertuaku suka mengomel, ayah mertuaku kebalikan nya. Selalu tenang dan tidak banyak omong.
Aku cekikikan keluar rumah bersama Adit. Lucu sekali mereka ini. Seperti pasangan muda.
"Senang banget kamu yank.."
"Oh ya jelas senang. Aku yang biasa kena omel, sekarang ganti mamah yang diomeli. Langsung sama pawang nya. Hahahaha"
"Durhaka kamu. Biar begitu juga ibu mertuamu"
Canda Adit sambil terkekeh.
Bukan nya apa, sejak kejadian malam lalu yang berujung aku minta pindah rumah, dia jadi lebih peka. Tahu semua omelan pedas mamahnya yang diberikan padaku. Akhirnya aku cerita juga, supaya Adit punya alasan. Dan syukurnya, Adit tidak membela siapapun. Dia hanya menengahi. Bagaimana cara menghormati tanpa harus melukai hati sendiri dan bagaimana caranya supaya tetap kukuh pada pendirian tapi tetap hormat.
Ini yang aku suka dari dia. Kebanyakan lelaki pasti akan membela ibunya dengan alasan beliau yang telah melahirkan dia, jadi harus mengalah tanpa mau tahu penjelasan sang istri. Yang berujung bertengkar kemudian memicu retaknya rumah tangga.
Tapi Adit tidak. Meski dia anak laki-laki, dia tetap adil memperlakukan istri dan mamahnya dengan porsi yang sama-sama penting di hidupnya.
"Mas nasi goreng nya satu ya makan disini" Ucap Adit.
"Siap mas. Pedes ngga? Tanya si mas-mas nasi goreng.
"Pedes ngga yank..?"
"Ngga dong. Nanti jadi seperti mamah lagi kalau pedas. Sedang saja" Jawabku sengaja menyindir.
"Sedang saja mas" Timpal Adit lagi.
"Yeee masih saja lanjut kamu"
"Kadang suka kesel yank. Kok satu sih pesannya kamu tidak mau yank?"
"Bareng saja sama kamu. Aku ngga laper yank. Icip-icip saja ya.."
"Ya sudah. Biar romantis kita makan sepiring berdua" Godaku.
"Apa sih. Aku kan memang romantis orang nya. Ya ngga?"
"Ngga. Romantis apanya. Romantis itu atas dasar kemauan sendiri. Baru itu yang namanya romantis. Bukan dipinta dulu baru romantis" Jawabku kesal.
"Ya biasa saja dong. Jangan marah-marah. Nanti cantiknya ilang yank. Aku kan memang begini orangnya. Kamu juga tahu itu"
"Hm..." Aku tidak meladeninya lagi. Pasti tidak ada ujung nya kalau sudah begini.
Sudah pukul 02.30 dinihari saat kami kembali ke rumah. Semoga saja mamah mertuaku tidak mendengar suara motor Adit. Malas berdebat lagi disaat aku mulai mengantuk. Setidaknya masih ada waktu sampai subuh, dan Adit bisa melanjutkan lagi tidurnya.
\*\*\*
Malam berikutnya aku merasakan perutku yang sakit bukan main. Melilit seperti malam sebelumnya. Hanya saja kali ini aku tidak sanggup lagi menahan nya. Sudah aku ganjal makan roti pun, tetap saja sakit. Apa mungkin aku kena maag. Tapi sebelumnya aku tidak punya riwayat maag. Terpaksa aku membangunkan Adit.
"Yank.." Aku mengguncang tubuhnya pelan. Diam tidak bergerak. Aku coba sekali lagi sambil mengusap pipinya.
"Yank bangun.."
"Hm.. kenapa yank" Jawab Adit serak, dengan mata setengah membuka.
"Perutku sakit yank.." Seketika Adit mendongak langsung bangun. Duduk di hadapanku.
"Kenapa yank. Kamu ada makan pedas tidak tadi siang?" Tanya nya khawatir.
"Aku makan rujak tadi sama Mae dan ibu-ibu di warung" Aku jawab pelan, sambil memegangi perut yang masih terasa nyeri.
"Hm pantes. Sebentar aku ambilkan air hangat dulu. Siapa tahu sakitnya bisa mereda"
Aku hanya mengangguk, tidak menjawab lagi. Menunggu Adit mengambilkan air hangat.
"Ini yank minum dulu" Aku menerima segelas air hangat dari Adit. Meminumnya perlahan. Berharap sakitnya mereda.
"Tidur saja lagi yank, biar lebih enakan" Ucap Adit lagi.
Merebahkan tubuh, aku berusaha memejamkan mata. Mencoba tidur kembali. Tapi tidak bisa. Perutku makin terasa sakit.
"Sakit banget yank.." Rintihku pelan.
"Apotek pasti sudah tutup jam segini yank. Kita ke dokter saja yuk?"
"Ngga mau yank. Dokter juga pasti tidak ada tengah malam begini"
"Ada yank. Klinik 24 jam. Yang dekat stasiun situ. Yuk kesana biar kamu cepat sembuh"
"Ngga papa yank malam-malam begini. Kamu takut ngga yank?" Tanyaku ragu.
"Takut apa?"
"Misal ada begal di jalan gimana yank. Kan sekarang lagi rawan" Imbuhku lagi.
"Tidak ada. Sudah ayo. Yang penting kamu sembuh. In sya Allah tidak apa-apa di jalan" Jawab Adit sambil memakaikan aku jaket.
"Hm.. maaf ya yank" Aku tidak enak hati lagi-lagi merepotkan suamiku ini.
"Tidak apa. Kan memang sudah tugasku. Aku tidak mau kamu kesakitan begini yank.."
Kali ini ibu mertuaku tidak keluar kamar. Mungkin sedang tidur pulas. Karena jam segini memang sedang enaknya tidur. Lagi Adit mendorong motornya terlebih dulu. Jadi tidak menimbulkan suara berisik.
Sampai di depan klinik, sepi. Tidak ada pengunjung yang datang kecuali aku. Pak satpam yang sedang terkantuk-kantuk pun bergegas bangun menghampiri kami.
"Kenapa pak, ada yang bisa dibantu?"
"Ini pak, istri saya sakit perut. Dokter nya ada?" Tanya Adit.
"Ada pak. Silahkan masuk". Pak satpam membuka pintu, mengekor dibelakang kami. Mungkin inisiatif bila perawat yang jaga tertidur. Karena memang tidak ada pasien yang datang.
Langsung masuk ruang praktek dokter.
"Silahkan, ada keluhan apa pak?" Tanya dokter pria berkacamata di depan kami.
"Istri saya sakit perut dok. Tadi sudah minum air hangat tapi masih terasa nyeri katanya" Jelas Adit.
"Mari diperiksa dulu buk.." Ucap sang dokter mengarahkan aku untuk berbaring. Aku menurut.
"Ibu punya maag ya. Tapi tetap makan pedas dan asam" Ucapnya tepat sasaran.
"Saya memang makan rujak kemarin, tapi saya tidak punya riwayat maag sebelumnya dok"
"Iya, ini ibu terkena maag. Mungkin ibu sering telat makan, ditambah makan pedas dan asam jadi langsung terasa seperti ini"
"Kalau telat makan memang iya dok" Jawabku.
"Nah, mulai sekarang jangan sampai telat makan lagi ya bu, di isi sedikit saja perutnya biarpun tidak ingin makan. Ini saya kasih resep pereda nyerinya. Silahkan ambil di depan ya bu. Semoga lekas sembuh"
"Terima kasih dok" Jawabku dan Adit
hampir bersamaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments