Eps. 11 — Paman Lu

"Jadi Kakek Bai sudah meninggal..." Paman Lu merasa tidak percaya dengan apa yang di dengarnya.

Bai Liluo telah menceritakan semuanya pada Paman Lu termasuk kondisi kakeknya, Paman Lu jelas terkejut mendengar kabar tersebut hingga tubuh tuanya hampir saja roboh jika para pekerjanya tidak membantunya.

Paman Lu akhirnya didudukkan di sebuah kursi, air mata yang keluar dari kelopak matanya menandakan hubungan ia dan Kakek Bai sangat dekat.

Bai Liluo sebaliknya merasa keheranan, ia yang lebih dekat bersama kakeknya justru tidak merasa sedih apalagi sampai menangis. Perasaannya terasa datar saat kakeknya meninggal di depan matanya.

"Itu berita yang cukup sedih, Nak, aku tidak menduga dia akan pergi secepat ini..." Paman Lu menyeka air matanya lalu melihat ke wajah Bai Liluo. "Lalu bagaimana dengan hidupmu, apa kau bisa makan?"

Bai Liluo mengangguk lalu menjelaskan ia berkebun sendiri setelah sepeninggal kakeknya dan gerobak panen itu adalah bukti keberhasilan dirinya saat berkebun.

"Itu luar biasa, sepertinya kau juga memiliki keahlian dalam berkebun." Paman Lu berusaha tersenyum meski di pelupuk matanya masih tersisa jejak kesedihan. "Kalau ada sesuatu yang kau butuhkan seperti uang, makan, dan pakaian, kau bisa datang kesini kapanpun yang kau mau."

"Terimakasih, Paman. Aku senang mendengarnya tetapi untuk saat ini aku masih bisa hidup sendiri."

Paman Lu mengangguk pelan lalu pandangannya beralih ke gerobak hasil panen Bai Liluo. "Apa kau ingin menjual hasil panenmu padaku seperti kakekmu dulu?"

"Benar, Paman, aku harus membeli beberapa keperluan dengan uang."

"Kalau begitu aku akan membelinya."

Paman Lu kemudian menyuruh agar para pekerjanya menurunkan semua sayur dan buah-buahan di gerobak Bai Liluo, sambil menunggu pekerjaan mereka selesai Paman Lu mengajak Bai Liluo ke rumahnya yang tidak jauh dari kiosnya berada.

Paman Lu menghidangkan beberapa makanan pada Bai Liluo, keduanya berbincang terutama membicarakan kehidupan Bai Liluo sepeninggal kakeknya.

Tidak banyak yang Bai Liluo katakan selain menjelaskan bahwa kehidupannya baik-baik saja dan Paman Lu tidak perlu khawatir dengan keadaannya.

"Kau masih berusia 10 tahun tapi sudah melakukan perkejaan berat seperti ini..." Paman Lu menghela nafas sambil menggelengkan kepalanya pelan. "Kalau kau mau, kau bisa tinggal disini dan mempunyai hidup yang nyaman."

"Terimakasih Paman Lu, tapi aku lebih senang tinggal di gunung, aku bisa menemani kakek agar ia tidak kesepian." Bai Liluo menolaknya halus.

Paman Lu tersenyum ia kemudian memberikan kantong kulit berukuran sedang yang dipenuhi koin perak ke pada Bai Liluo.

"Di dalamnya ada dua puluh perak, ini harga penjualan dari hasil penenmu."

Bai Liluo terkejut, "Paman Lu, bukankah uangnya kelebihan?"

"Anggap saja ini sebagai balas budi kebaikan kakekmu dulu."

Bai Liluo menerima kantong kulit itu dengan perasaan campur aduk tetapi ia berterimakasih pada Paman Lu.

Selain ramuan bebauan, Bai Liluo sebenarnya ingin membeli perlengkapan perkebunannya yang sudah mulai rusak, dengan menjual hasil panennya sebenarnya jumlah uang tersebut masih kurang namun berkat uang tambahan Paman Lu, kini ia bisa membeli semuanya.

Satu koin perak sama dengan seratus koin perunggu, seharusnya harga panen Bai Liluo dibeli dengan harga tiga sampai empat perak.

Di atas koin perak ada koin emas yang setara seratus perak atau sepuluh ribu koin perunggu, Bai Liluo hanya mengetahui informasinya tetapi belum melihat koin emas itu secara langsung.

Penjelasannya cukup sederhana karena di kota kecil seperti itu koin emas masih sesuatu yang amat langka, hanya orang benar-benar kaya yang biasanya memilikinya.

"Dan juga ini, dulu kakekmu sempat menitipkan benda ini padaku agar diberikan padamu...." Paman Lu memberikan sebuah kotak kayu kecil.

"Kotak apa ini Paman?"

"Buka saja."

Bai Liluo membuka kotak kayu tersebut dan tersimpan sebuah kunci di dalamnya.

"Kunci? Untuk apa?"

Paman Lu mengangkat bahunya. "Aku tidak tahu, dia menitipkan itu saat terakhir kali kami bertemu. Mungkin waktu itu dia tahu bahwa umurnya memang sudah tidak lama lagi."

Paman Lu menambahkan bahwa Kakek Bai sempat berpesan untuk memberikan kotak kayu ini pada Bai Liluo jika cucunya datang suatu saat nanti. Kakek Bai jelas sudah memprediksi semuanya dan Paman Lu tentu tidak menduga bahwa perkataan tersebut merupakan wasiat terakhir darinya.

Bai Liluo menyimpan kunci itu di kotak kayu kembali, mungkin ia akan mendapatkan jawaban jika sudah di rumah nanti.

Bai Liluo kemudian berpamitan karena dirasa para pekerja Paman Lu sudah menurunkan semua hasil panennya.

Sebelum Bai Liluo pergi, Paman Lu sempat berpesan agar Bai Liluo menjual hasil panen kepadanya jika suatu saat nanti pria itu ingin menjualnya kembali, pesan tersebut segera diangguki oleh Bai Liluo.

Bai Liluo kemudian menunggangi kudanya lalu pergi ke area sisi kota yang lain, sekarang Bai Liluo hendak membelanjakan uang yang ia dapatkan sebelumnya untuk keperluannya.

***

Gerobak Bai Liluo yang sebelumnya di penuhi oleh hasil panennya kini sudah berubah oleh barang-barang baru yang ia beli.

Selain ramuan bebauan dan alat berkebunnya, Bai Liluo juga membeli pakaian baru serta makanan yaitu roti dan daging. Tentu saja semua ini karena saran Ratu.

Menurut Ratu, pakaian yang dipakai Bai Liluo sudah sangat lama dan kotor karena sering digunakan untuk berkebun, ia tidak memiliki banyak pakaian di gubuknya sehingga menyarankan membeli pakaian yang baru dan bersih.

Disisi yang sama Ratu meminta anak muda itu untuk membeli banyak daging dan roti agar semua gizinya terpenuhi, meski Bai Liluo tidak memiliki badan yang kurus ataupun gemuk, kebutuhan gizinya tetap harus diperhatikan.

"Sepertinya aku tahu kunci apa di kotak kayu itu."

Saat Bai Liluo dalam perjalanan meninggalkan kota, Ratu tiba-tiba membuka suaranya.

"Nona Ratu mengetahuinya?" Bai Liluo sedikit terkejut.

"Ya, aku tahu. Kunci itu digunakan untuk membuka kotak peti yang ada di gubukmu."

"Peti?" Bai Liluo mencoba mengingat-ingat peti yang dimaksud gadis itu. "Ah, mungkinkah peti yang anda maksud adalah peti misterius milik kakek."

"Apa maksudmu?"

"Dulu ketika aku masih kecil, kakek selalu menyebut peti itu sebagai peti misterius karena selain tidak bisa dibuka ia juga tak dapat dihancurkan."

Bai Liluo mengatakan sepeninggal kakeknya, ia berusaha membuka bahkan menghancurkan peti itu dengan berbagai cara namun usahanya selalu nihil, meski peti tersebut terbuat dari kayu biasa namun ketahanannya lebih kuat dari baja.

"Tentu saja kau tidak bisa membukanya, peti itu diselimuti oleh sebuah formasi sihir."

"Formasi sihir? Apa itu?"

"Kau tidak akan memahaminya walupun kujelaskan sekarang, intinya peti itu tidak bisa dibuka dengan mengandalkan kekuatan fisik belaka." Ratu menghela nafas, terkadang ketika ia mengatakan sesuatu, Bai Liluo selalu tidak memahaminya sehingga ia harus menjelaskannya satu persatu. "Formasi sihir biasanya dibentuk oleh mereka yang sudah berubah menjadi pendekar, aku sudah lama ingin bertanya hal ini padamu, apa kakekmu sebenarnya adalah seorang pendekar?"

Bai Liluo menggeleng, "Kakek tidak mendalami ilmu beladiri apapun, beliau hanya seorang petani."

"Benarkah, lalu dimana kakekmu mendapatkan peti itu?"

Untuk jawaban itu Bai Liluo menggeleng, lebih tepatnya ia tidak mengetahui apakah itu peti pemberian seseorang atau milik kakeknya.

"Mungkin jika aku membukanya nanti, aku akan mendapatkan jawabannya..." Batin Bai Liluo dalam hati, ia segera memacu kudanya lebih cepat.

Terpopuler

Comments

lalu dimana Org Tua Bai... kok hanya punya Kakek 🤔🤔

2024-01-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!