Mobil mereka berhenti tepat pada sebuah halaman luas sebuah rumah yang sederhana dengan pemandangan asri perkebunan teh dan pegunungan. Lagi-lagi Salsa harus dibangunkan Ares karena dia tertidur. Entah bagaimana Salsa jadi pelor begitu. Padahal sebelumnya dia paling anti tidur di dalam mobil.
"Kita udah sampe rumah?" Tanya Salsa sambil mengucek matanya.
"Sudah." jawab Ares sambil mematikan mesin mobil.
Salsa mengerjapkan mata, pemandangan yang terlihat bukan lah pemandangan yang seharusnya dia lihat jika memang sudah sampai di rumah. "Ini dimana? Katanya udah sampe rumah?"
"Rumah Ibu saya." jawab Ares sambil keluar dari dalam mobil, meninggalkan Salsa yang masih harus mengalami loading sedikit lebih lama sebelum otaknya menyambung pada jaringan.
"Ares!" Panggil Salsa ketika kesadarannya sudah sepenuhnya utuh. Ia mengejar langkah Ares yang selalu lebar-lebar. "Maksud lo, lo bawa gue ketemu sama keluarga lo?"
"Ya."
"Eh, tunggu dulu!" Salsa menahan lengan Ares yang hendak naik ke permukaan teras dari rumah kayu di depan mereka. "Mana bisa lo ajak gue ketemu keluarga lo sementara penampilan gue cuma pake piyama, cardigan plus abis muntah pula tadi!" Protes Salsa.
"Sejak kapan kamu memikirkan penampilan kamu di depan saya?"
"Depan keluarga lo." Koreksi Salsa.
"Sama saja."
"Beda ya!"
Ares mengedikkan bahu.
"Kenapa kita nggak pulang?" tanya Salsa, lagi-lagi menahan lengan Ares sebelum pria itu naik ke teras.
"Karena saya dan kamu belum bisa kembali ke rumah."
"Maksudnya?"
"Masih terlalu berbahaya."
"Masih soal yang ngikutin kita tadi?" Salsa melebarkan matanya.
Ares mengangguk sebagai jawaban.
"Trus kapan kita pulang?"
"Sampai situasi aman."
"Maksudnya? Gue tinggal disini? Di rumah Ibu lo?"
Ares mengangguk.
"Nggak bisa, nggak bisa."
"Kenapa?"
Kenapa? Pake segala tanya, ya malu lah! Canggung gila! Duh, gimana sih ini ngejelasinya?
"Gue takut." Oke, begitu saja jawabannya.
"Keluarga saya baik." jawab Ares.
Salsa memutar bola matanya, juga memutar otaknya untuk mencari kalimat yang tepat agar dirinya tidak perlu berinteraksi dengan ibunya Ares atau siapa pun anggota keluarga Ares.
"Tapi... gimana kalau misalnya ibu lo nggak suka sama gue?"
Ares mengerutkan keningnya. "Apakah itu masalah untuk kamu?"
"Ya iya lah!"
"Saya pikir untuk seseorang yang tidak menyetujui pernikahan ini, penilaian mertua tidak akan terlalu berpengaruh."
Salsa membuka bibir, tapi ia tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk membantah pemikiran yang baru saha diucapkan oleh Ares. Karena memang seharusnya Salsa tidak perlu mengkhawatirkan penilaian dari keluarga pihak Ares bukan? Toh, keinginannya akan lebih mudah dicapai jika ibu Ares ikut menentang pernikahan ini jika memang dirinya tidak disukai di dalam keluarga Ares, bukan?
Iya, kan? Harusnya begitu, kan?
Harusnya Salsa cuek saja, kan? Tidak perlu mengkhawatirkan penilaian keluarga terutama Ibunya Ares, kan?
"Gue..."
"Ayo masuk." Ajak Ares.
Ares berjalan lebih dulu di depan Salsa, naik ke teras. Sekali lagi Ares menengok ke belakang mengajak Salsa masuk sambil mengulurkan tangannya. Salsa menatap telapak tangan besar Ares yang terulur kepadanya. Antara ingin menyambut tangan itu atau tidak.
Ares mengerti, dan memilih untuk menarik kembali tangannya dan berbalik. Ia mendengar langkah kaki Salsa menaiki lantai teras, lalu berdiri tepat di belakangnya.
Ares mengetuk pintu beberapa kali hingga terdengar suara sahutan dari dalam.
Tak lama kemudian daun pintu bergerak dibuka dari dalam. Seorang perempuan dengan rambut panjangnya yang dikepang membuka pintu. Mata gadis itu seketika membulat ketika melihat Ares berdiri di depan ambang pintu.
"Ares?"
Wajah datar dan tatapan tajam yang selama ini menjadi ciri khas Ares yang Salsa tahu, mendadak hilang. Tatapan itu menjadi sendu.
"Demia."
Perempuan yang dipanggil Demia oleh Ares langsung menghambur dalam pelukan pria itu. Salsa dapat melihat bagaimana air mata menetes dari mata perempuan itu.
Kemudian Demia melepaskan dirinya dari pelukan Ares, lalu melihat sosok Salsa dengan tatapannya yang penasaran.
"Ini Salsa, istriku." Ares memperkenalkan Salsa begitu saja. Salsa menyunggingkan senyum canggung pada Demia yang mengulurkan tangannya pada Salsa, tidak seperti Salsa yang tersenyum canggung sambil menyambut uluran tangan Demia, Demia justru sebaliknya, dia tersenyum ramah dan hangat pada Salsa.
"Halo, aku Demia, kembaranya Ares."
"Kembar?" Salsa melihat Demia dan Ares bergantian.
"Ya, tapi bukan kembar identik." jawab Demia. "Ayo masuk! Ibu pasti senang sekali melihat kalian datang!"
Demia masuk ke dalam lebih dulu sambil memanggil ibu mereka. Ares pun hendak masuk ke dalam, sebelum bagian sisi kausnya ditarik Salsa.
Ares menengok.
"Lo punya sodara kembar?"
"Punya."
"Kok lo nggak cerita?"
Ares mendesah berat. Kemudian menatap Salsa, "Apa kamu sudah menganggap saya suami sungguhan?"
"Eh?"
"Saya rasa, kalau kamu tidak menganggap saya, saya tidak berkewajiban menceritakan apa pun tentang hidup saya ke kamu." jawab Ares. Kemudian Ares masuk ke dalam. Dan lagi, Salsa mengikuti Ares di belakang punggung pria itu. Karena dia tidak tahu dimana dirinya berada, dan tidak tahu harus kemana dirinya jika bukan mengikuti Ares kali ini.
Seorang perempuan paruh baya, dengan rambutnya yang hampir memutih semuanya, berjalan dituntun Demia, kedua mata sayunya berbinar melihat Ares yang berjalan mendekat. Bibirnya yang bergerak membentuk senyuman menciptakan kerutan usia pada wajahnya, namun tidak menghilangkan kecantikan wanita paruh baya itu.
"Oh, anakku." Lirihnya sambil memeluk Ares dengan kedua tangan ringkihnya. Ares pun membalas pelukan wanita yang Salsa yakin adalah ibunya itu dengan hati-hati dan penuh kepedulian.
"Ibu..." Terdengar samar bagaimana Ares memanggil ibunya dengan suara bergetar. Suara itu terdengar pelan, namun cukup membuat Salsa terkesiap. Ares yang selama ini dia kenal dingin, batu, menyebalkan, tanpa ekspresi dan tidak punya rasa takut mendadak suaranya bergetar.
Apa ini?
Lagi-lagi, sisi lain Ares yang tak pernah terlihat atau diperlihatkan, muncul di depan Salsa.
"Sehat, Nak?" Ibu Ares melepaskan pelukannya, tangannya mengusap wajah Ares dengan tatapan sendunya dan rindu.
Ares mengangguk. "Ibu?"
"Sehat sekali." Ibu Ares tersenyum lebar. Lalu melihat kepada Salsa yang bersembunyi di belakang Ares.
"Salsa?" Panggil ibu Ares dengan suaranya yang lirih.
Salsa tersenyum canggung, ia melangkah ragu-ragu mendekati ibu Ares, tanpa ragu ibu Ares pun juga memeluknya. "Selamat datang, Nak." kata ibu Ares.
Dikecupnya kening Salsa, dan ditatapnya Salsa dengan penuh haru.
"Cantik sekali." Pujinya.
Tak ada yang bisa Salsa lakukan selain tersenyum canggung yang berkepanjangan.
* * *
Salsa dan Ares berdiri di tengah-tengah ruangan yang tidak terlalu besar, terdapat sebuah ranjang, lemari pakaian, dan sebuah cermin yang menggantung dekat lemari.
"Kita sekamar?" tanya Salsa.
"Menurut kamu?" Ares balik bertanya.
"Tapi..." Ingatan Salsa terbang kembali ketika ia tidur seranjang dengan Ares, dimana keesokan paginya Salsa sudah berada disisi yang seharusnya tidak dia jamah.
"Apa lo nggak akan tidur di lantai juga kali ini?"
"Tidak." Jawab Ares singkat, jelas dan mengkhawatirkan.
.
.
.
Bersambung ~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments