Ares membantu Salsa berjalan, sesekali tubuhnya limbung, tapi Ares sigap selalu menangkapnya meski Salsa ingin menepis, tapi tubuhnya eror. Ah, dia benci situasi ini. Dia benci Ares selalu sigap menangkapnya, menolongnya, membantunya. Dia benci saat dirinya begitu ketergantungan pada Ares.
"Kapan kita pulang?" tanya Salsa sambil merasai kakinya yang kini dipijit Ares setelah berlatih berjalan. Otot-ototnya merasa rileks, tapi perasaannya merasa aneh. Perasaan aneh yang Salsa takutkan.
"Kita sudah pulang." jawab Ares datar.
"Maksudnya? Kita nggak akan serumah lagi sama Kak Fariz?" tanya Salsa.
"Ya." jawab Ares.
Tanpa sadar, bibir Salsa menyunggingkan senyuman. Bayangan akan hidup bebas tanpa aturan-aturan dari Fariz seolah menari-nari di depan matanya.
"Kamu bukan tanggung jawab Tuan Fariz lagi. Tapi tanggung jawab saya." Kelanjutan kalimat Ares seketika mengebom bayangan kebebasan Salsa.
Bibirnya seketika merengut, wajah masam langsung naik ke permukaan wajah manis itu.
"Mulai hari ini saya dan kamu akan tinggal serumah."
"Tapi barang-barang gue?"
"Semua sudah beres."
Salsa berdecak, ia menatap Ares yang kini tengah memutar-mutar pelan pergelangan kaki Salsa. "Gue kadang heran, kenapa lo selalu bertingkah seenaknya gitu."
"Saya tidak pernah seenaknya."
"Yeah! Lo gantiin baju gue, memangnya itu bukan kategori seenaknya?!"
"Bukan. Saya sudah bangunkan kamu, tapi kamu terlalu nyenyak. Dan badan kamu sudah mulai demam."
"Harusnya lo terus bangunin gue meski sampe seribu kali." kata Salsa tetap tidak mau disalahkan.
"Saya rasa, apa yang saya lakukan adalah hal yang wajar."
"Wajar?!" Salsa mulai melotot. "Dari segi mana lo anggap apa yang lo lakukan itu adalah kategori wajar?"
"Dari segi saya adalah suami kamu, dan kamu adalah istri saya."
Jawaban Ares sungguh menjengkelkan seluruh dunia Salsa.
"Lo kenapa nyebelin banget sampe ke urat nadi sih?!" Salsa menghentakkan kakinya lemah. Ia menepis tangan Ares dari kaki kananya.
"Jangan mentang-mentang lo udah tolongin gue di Curug, udah suapin gue, gantiin gue baju, dan sekarang mijitin gue, lo jadi ngerasa besar kepala ya!"
"Kepala saya ukuran normal." Sahut Ares sambil menarik kaki kiri Salsa setelah kaki kanannya ditarik oleh yang punya.
"Denger ya," Salsa mengabaikan ucapan Ares.
Ares mengangguk.
"Lo nggak akan pernah jadi suami beneran bagi gue! Mau lo dan gue udah nikah sah secara hukum negara dan agama kek, mau secara suku bangsa kek, atau apa pun, lo bagi gue tetap bukan siapa-siapa! Sampai kapan pun!" kata Salsa dengan memberikan penekanannya diakhir kalimat.
Penekanan yang membuat gerakan tangan Ares berhenti seketika. Wajahnya bergerak menghadap Salsa, tajam sorot matanya menghunus langsung ke jantung Salsa.
Ada sesuatu mencubit hati Salsa, tatapan tajam mata Ares dengan ekspresinya yang dingin membuat Salsa mengatupkan bibirnya yang tadi sudah begitu lancar mengeluarkan kalimat begitu menusuk.
Ada sedikit penyesalan ketika sekilas Salsa melihat kekecewaan dalam sepasang mata tajam itu.
Namun perkataan itu didasari oleh tekad awal Salsa yang ingin membuat hidup Ares seperti di neraka, ingin membuat Ares menyerah pada pernikahan yang tidak pernah Salsa inginkan, maka perkataannya adalah permulaan. Jadi, Salsa kembali menelan etika 'minta maaf' pada seseorang yang hatinya sudah dibuat tersinggung.
"Saya tetap bertanggung jawab atas kamu." ujar Ares datar. Kemudian melanjutkan gerakan tangannya memijit kaki Salsa.
Sesuatu yang aneh mulai merayap naik ke permukaan hati Salsa, meski dia telah berusaha untuk mengeraskan hati dan kemanusiaannya terhadap Ares.
"Besok saya pijit lagi."
"Nggak usah." Tolak Salsa cepat.
Ares tidak repot-repot merespon penolakan Salsa.
"Ayo saya bantu kamu ke kamar." Ares berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantu Salsa berdiri dari sofa.
"Tunggu, kita nggak sekamar lagi, kan?" tanya Salsa.
"Kamar kamu ada di lantai atas, kalo kamu sanggup naik tangga, maka kita tidak sekamar."
"Ih, nyebelin!" Salsa menepis uluran tangan Ares. "Gue tidur disini aja!"
"Oke."
Loh kok? Salsa menatap tak percaya pada Ares. Pria itu bahkan sudah menarik kembali tangannya dan sudah beranjak dari tempatnya menjauhi sofa, tempat dimana Salsa masih duduk disana dengan hatinya yang dongkol.
"Ini ponsel kamu. Kamu bisa miscall saya kalau butuh sesuatu. Selamat malam." kata Ares kembali dengan membawakan ponsel milik Salsa.
"Tunggu! Maksudnya, lo tidur dikamar trus gue di sofa?"
"Bukannya kamu mau tidur di sini?"
"Asli, lo nyebelin banget!" Omel Salsa.
"Saya hanya menuruti mau kamu."
"Ih! Gue nggak bener-bener mau tidur di sofa sendirian juga kali. Kenapa bukan lo aja yang tidur di sofa ini?"
"Kenapa saya harus di sofa kalo saya sudah ada kamar?"
"Gue nggak mau di sofa, gue maunya di kamar!"
"Ya sudah, saya bantu kamu naik tangga."
"Tapi kaki gue...."
"Saya gendong."
"Nggak mau!" Tolak Salsa buru-buru. Bukannya apa-apa, digendong Ares akan membuat jantungnya berbahaya. Pasalnya, digendong oleh Ares akan membuat Salsa bisa merasakan aroma Ares terhidu dengan jelas, dan itu sungguh dangerous!
Setelah perdebatan alot tentang kamar dan keinginan Salsa yang menguji kesabaran manusia, akhirnya Salsa setuju untuk kembali satu kamar dengan Ares, di kamar Ares yang memang berada di lantai bawah.
Kamar yang semula ditempati Salsa saat tidur seperti orang mati suri sebelumnya. Salsa sudah sangat yakin kalau Ares akan tidur di atas lantai seperti ketika malam pertama mereka kemarin malam. Tapi nyatanya ketika Ares ikut merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang sama dengan Salsa membuat Salsa implusif bangkit duduk dan menarik selimut hingga dadanya.
"Lo mau apa?!"
"Tidur."
"Ya tapi kenapa di kasur?"
"Trus dimana?"
"Lantai lah!"
"Kenapa saya harus tidur di lantai di kamar saya sendiri?"
"Ya karena ada gue."
"Ya kalo gitu kamu aja yang di lantai."
"Hah, gue di lantai?"
"Kalo mau."
Dasar batu gila! Nyebeliiiin! Umpat Salsa dalam hatinya.
Sementara Salsa sibuk mengutuk Ares dalam hatinya yang jengkel setengah hidup, Ares malah sudah memejamkan matanya, merebah dengan nyaman di atas ranjang yang juga ditempati Salsa. Mau tak mau Salsa hanya bisa mengandalkan guling sebagai imitasi tembok Cina yang akan difungsikan sebagai pembatas lahan miliknya dan milik Ares.
"Awas lo ya, jangan sampe ngelewatin batas!" Salsa memberikan ancaman kosong pada Ares yang Salsa yakini pria itu belum tertidur. Meski sudah ada pembatas diantara mereka, Salsa tetap tidur dipinggir sekali dan tentu saja memunggungi Ares.
Ares membuka kembali kelopak matanya, dia menengok menghadap punggung Salsa yang ditutupi selimut hingga ke batas leher.
Lo bagi gue tetap bukan siapa-siapa! Sampai kapanpun!
Ucapan tajam yang dilontarkan Salsa sebelumnya kembali terngiang, kata-kata itu cukup menghunus hati Ares. Seharusnya dia tidak perlu merasa kecewa. Karena begitu dia berjanji pada Fariz, dia sudah tahu akan seperti apa pernikahannya dengan Salsa. Dia tahu, dia tidak perlu mengharapkan apa pun dalam rumah tangga ini. Tapi, ketika melihat Salsa tersenyum pada pria lain, ada sesuatu yang membuat Ares tidak suka. Sangat tidak suka.
.
.
.
Bersambung~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Rita Riau
awas Salsa,,, jgn terlalu jutek ingat penyesalan itu ada dibelakang,,,
ntar kalo Ares udah diam kamu sendiri yg repot🤔🙄🙄🙄
2024-01-10
0