Kalau boleh jujur, tampilan Ares dengan pantulan sinar matahari pagi yang hangat sungguh sempurna. Sinarnya memperlihatkan setiap garis tegas pada wajah Ares. Garis rahang, hidung, pelipis bahkan bibirnya. Dan ketika lidah pria itu menyapu bibir setelah menyesap teh manis hangat, tanpa sadar Salsa menelan salivanya.
Sadar Salsa! Sebuah suara di dalam kepala menyadarkan Salsa dari tatapan 'mupeng'nya pada Ares.
Buru-buru Salsa mengalihkan perhatiannya pada cangkir tehnya sendiri. Sekarang mereka tengah menikmati teh manis hangat dan sarapan roti bakar pada sebuah warung. Duduk lesehan dengan pemandangan alam yang sungguh indah. Para petani teh mulai berdatangan, mengerjakan apa yang sudah menjadi pekerjaan mereka. Salsa menyukai alam, meski fisiknya tidak kuat untuk melakukan kegiatan-kegiatan alam. Salsa hanya suka menikmatinya sambil bersantai, sambil minum teh, kopi, membaca atau sambil memperhatikan Ares... ugh! Salsa benar-benar harus segera menyelamatkan dirinya dari pesona Ares yang mulai mencuri kenormalan Salsa sebagai seorang perempuan.
Tapi kali ini sepertinya memperhatikan wajah Ares menjadi kenikmatan tersendiri bagi Salsa.
"Mau dibungkus?" Ares tiba-tiba saja bertanya pada Salsa yang otaknya sedang sibuk mengakui kalau Ares terlihat lebih manusiawi saat tidak menggunakan pomed pada rambutnya.
"Eh? Apanya?"
"Roti bakarnyaa."
"Oh, ehm, boleh deh." Lagi-lagi Salsa mencuri pandang saat Ares meminta petugas warung untuk membungkuskan roti bakar cokelat keju yang belum tersentuh oleh Salsa. Ia kembali dua menit kemudian, dengan kantong plastik hitam berisikan kotak kertas roti bakarnya. Salsa buru-buru mengalihkan pandangannya lagi.
"Ayo." Ajak Ares.
"Kemana?" tanya Salsa, sambil mengangkat wajahnya untuk melihat Ares yang berdiri.
Tapi pria itu tidak menjawab, hanya menarik lembut lengan Salsa agar berdiri dari tempatnya, mengabaikan suara protes Salsa yang mencicit karena teh manisnya belum habis. Ares tidak peduli. Ia tetap menarik Salsa pelan melewati beberapa orang yang sepertinya juga sedang sarapan sambil menikmati pemandangan.
Salsa mendengus. Baru saja otak dan hatinya memuja Ares, tapi kenyataanlah yang akhirnya menyadarkan Salsa bahwa lelaki bernama Ares itu memang sekeras batu.
"Lo punya mulut untuk bisa menjawab pertanyaan gue, kan?" tanya Salsa dengan nada sebal.
"Hm." jawab Ares, matanya fokus pada jalanan dan sesekali menengok ke kaca spion tengah.
"Hm?" Salsa mengulang dengan nada ditarik jengkel. Salsa menghela napas. Menyabarkan dirinya menghadapi batu. "Jadi, kita mau kemana? Bukannya kalau mau pulang kita ke arah sana, ya?" Salsa menunjuk jalanan yang berlawanan arah dengannya.
"Saya dan kamu akan kesuatu tempat."
"Hah? Kemana?"
"Ada."
"Ya tau! Tapi kemana?" Salsa benar-benar jengkel.
Ares kembali melihat spion, kemudian menengok pada Salsa sebentar, lalu kembali melihat ke depan.
"Pakai seatbelt kamu."
"Eh, gue tanya, kita mau kemana? Kenapa malah nyuruh pake seatbelt? Lo-"
"Ada yang mengikuti. Cepat pakai!"
Refleks Salsa melihat ke belakang, benar saja, ada sebuah minibus hitam yang mengikuti mereka. Cepat-cepat Salsa memakai seatbelt-nya dan tangannya langsung mencengkram erat pegangan di atas kepalanya.
"Mereka siapa?!" tanya Salsa panik. Jantungnya perlahan mulai berdebar. Ini adalah sejarah, dia tidak pernah diikuti seperti ini sebelumnya apa lagi pakai adegan kejar-kejaran seperti di dalam film aksi saja.
"Saya tidak tahu." jawab Ares sangat jujur.
"Oh my God!"
"Jangan panik. Pegangan yang kuat, saya akan ngebut."
"Gue takut Res!"
"Jangan takut, saya bersama kamu."
Apa barusan? Duh, kenapa disaat genting seperti ini masih-sempatnya ratusan kupu-kupu bertamu ke perutnya Salsa.
Astaga! Gue pasti udah nggak waras!
Ares menepati kata-katanya, ia menginjak gas dan meliuk-meliukkan lajur mobilnya dengan brutal untuk menghindari siapa pun orang yang mengikuti mereka. Jantung Salsa sudah jedag-jedug cemas, takut dan panik. Ini lebih mencekam dari pada naik wahana yang paling ekstrem sekalipun di Dunia Fantasi. Keselamatannya bergantung pada keahlian Ares dalam membawa mobil mereka salip sana salip sini. Semua doa yang Salsa tahu dan hapal diucapkan dalam hatinya.
Saking takutnya, Salsa menaikkan kedua kakinya, sebelah tangannya memeluk lutut, sebelah tangan tetap pada pegangan di atas kepala.
"Turunkan kaki kamu. Itu berbahaya jika kita kecelakaan." ujar Ares.
"HAH?!"
Akhirnya setelah Ares mengambil lajur kanan dengan sangat tiba-tiba, hingga membuat pengendara mobil dan motor membunyikan klakson mereka dengan kuat dan disertai sumpah serapah, tapi minibus hitam itu berhasil dikecoh dan kehilangan jejak Ares juga Salsa.
"Kamu sudah bisa buka mata kamu." kata Ares ketika melihat Salsa yang memaksakan matanya untuk tertutup rapat-rapat. Perlahan Salsa menggerakkan kelopak matanya, membuka sedikit demi sedikit setelah dia merasa mobil melaju dengan kecepatan normal tanpa atraksi, barulah Salsa dapat menghembuskan napasnya dengan penuh kelegaan.
"Apa kita sudah aman?" tanya Salsa, wajahnya pucat ketika menengok pada Ares.
"Sudah am... kamu pucat sekali. Kamu baik-baik saja?" tanya Ares khawatir, kepalanya menoleh ke Salsa, lalu ke jalanan lagi.
"Menurut lo?!" Semprot Salsa "Pagi-pagi buta lo ajak gue ke gunung trus tau-tau kita diikutin sama psikopat gila, kebut-kebutan di jalanan yang bekelok-kelok, lo pikir nyawa gue kayak kucing!"
"Maaf." Hanya satu kata singkat yang keluar dari mulut Ares yang irit bicara itu. Dan itu semakin menjengkelkan Salsa. Yang membuat jengkel adalah Salsa sangat ingin Ares menenangkan Salsa seperti ketika dia tadi bilang, 'Jangan takut, saya bersama kamu.'
Tiba-tiba saja perutnya bergejolak, rasa mual naik ke permukaan hingga membuat Salsa panik untuk kali kedua di pagi yang sejuk dan - seharusnya - indah ini.
"Minggirin mobilnya, gue mau muntah! Cepeeeet!"
Ciiiitt!
Karet ban yang berdecit ketika bergesekan dengan aspal secara mendadak berbunyi. Salsa buru-buru melepaskan seatbelt dan keluar dari mobil yang suda berhenti di tepi jalan. Dia membungkuk dan mengeluarkan isi perutnya yang sebagian besar adalah sup krim semalam dan teh manis tadi. Rasanya dia sudah hampir pingsan jika saja tangan Ares tidak segera menangkap tubuhnya yang agak limbung.
Pria itu dengan perlahan membawa Salsa duduk pada jok dengan pintu mobil yang dibuka lebar. Ares mengambil satu botol air mineral yang ada di dalam mobil, lalu meminta Salsa agar sedikit keluar, lalu Ares menuangkan air itu sedikit demi sedikit ke telapak tangan besarnya, lalu membasuh mulut Salsa lalu wajah Salsa dengan penuh perhatian. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa wajah dengan ekspresi datar itu memberikan perhatian yang lembut seperti ini?
"Lebih baik?" tanya Ares. Tatapannya sulit diartikan, tapi dalam jarak sedekat ini Salsa dapat melihat warna mata Ares. Warnanya cokelat gelap, seperti warna minuman cokelat hangat yang disukai Salsa setiap kali menikmati hujan yang turun di sore hari.
Salsa mengangguk, mengalihkan pandangannya dari sepasang mata tajam yang kini mulai menarik perhatian Salsa juga.
"Jaket lo... kena muntah." Salsa melihat bagian depan jaket Ares yang dikenakannya itu.
"Tidak masalah."
"Tapi pasti baunya susah hilang."
"Sini, saya bantu buka supaya kamu nyaman."
Apa? Apa barusan dia bilang? Supaya gue nyaman? Astaga! Ini bahaya! Bahaya! Zona merah!
"B-bu-buka?" tanya Salsa dengan wajah melongo.
"Jaketnya." Ares menegaskan.
"Ah, iya jaketnya." Salsa berdeham sambil melepaskan sendiri resleting jaket Ares. "Gue bisa sendiri."
Ares mengangguk.
Setelah itu, Salsa memberikan jaket itu kepada pemiliknya.
"Di laundry aja, supaya baunya hilang. Kalau cuci sendiri kadang baunya masih tersisa." kata Salsa. Perkataan yang cukup membuat Ares menatap Salsa dengan heran. "Kenapa ngeliatin gue kayak gitu?"
"Sejak kapan kamu mengkhawatirkan saya?" tanya Ares seraya menatap Salsa dengan lekat.
Salsa kembali berdeham. Sepertinya melihat matahari terbit membuat otak Salsa rada-rada meleleh.
"Gue ngkhawatirin jaket lo, bukan lo." Koreksi Salsa.
Ares tak lagi merespon. Dia berlalu dari hadapan Salsa untuk menaruh jaketnya di bagasi. Namun ada yang tidak Salsa lihat, yaitu bibir Ares yang bergerak melengkung membuat senyuman pada wajahnya yang terbiasa datar.
.
.
.
Bersambung~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments