"Kirai tidur di pembaringan kedua orang tuanya, aku yakin dia masih tidak menerima jika kedua orang tuanya telah tiada," jelas Hasna yang membuat Hanan mengangguk dan memalingkan wajahnya. Setiap sudut rumah itu terlihat dan terdengar suara Tan malaka yang selalu senang menyambut kedatangan dirinya.
"Aku merasa bersalah dengan kedua adikku, dia pulang dari rumahku dalam keadaan berkecil hati karena ucapanku ynag sudah kelewatan, Maafkan aku ibu aku tidak bisa menjaga si bungsumu," ujar Hanan sembari menangis dan memukul pelan kepalanya seolah sedang menyesali perbuatannya yang sangat ia sesali.
"Semuanya sudah di atur oleh sang maha pencipta, kita hanya perlu menjalaninya saja, aku harap Uda bisa menahannya tangisan ini di depan Kirai, dia sangat terpukul dengan perginya kedua orang tuanya, seperti anak ayam yang kehilangan induk, tidak tau arah, kemana ia harus singgah, kita sebagai Ibu dan Ayah seterusnya harus membuatnya bahagia ketika dia bersama ayah dan ibunya," jelas Hasna menatap Kirai yang masih tertidur dan beralih menatap sang suami yang mengelap air mata dengan kasar.
"Aku akan berjanji pada diriku sendiri, gadis itu akan bahagia dalam hidupnya, aku tidak akan membuatnya merasa kekurangan," ucap Hanan yang membuat Hasna sedikit mengangguk dan menatap ke arah Kirai yang masih tertidur dan sesekali tersedu-sedu.
***
Malam hari, tepat setelah ba'da isya. Suasana di rumah kayu itu masih berduka dengan beberapa orang yang berada di dalam rumah lengkap dengan seorang ustadz yang sedang memberi ceramah takziah. Kirai gadis itu hanya diam di sudut rumah mendengar seorang ustadz yang sedang berceramah. Sudut pandangnya menangkap seorang pria muda yang sedari tadi melihatnya, pria itu terlihat sangat khawatir dengan keadaan Kirai yang sedikit pucat mata sembab. Dia adalah Fatih.
Seketika bibir gadis itu melengkung di saat Fatih juga ikut melempar senyum tipis ke arah Kirai seolah memberi semangat pada gadis malang itu.
Tidak berlangsung lama, acara itu perlahan selesai para warga juga mulai kembali ke rumah masing-masing. Berbeda dengan Fatih yang berdiri di depan anak tangga sedang berbicara dengan kirai menatap langit hitam di malam hari itu.
"Aku turut berduka cita atas kepergian orang tuamu Rai," sahut Fatih yang membuat Kirai tersenyum tipis.
"Semuanya seperti mimpi Da, aku tidak tau harus berbuat apa lagi, mamak dan etek Hasna mengajak ku tinggal bersama mereka, di satu sisi aku juga tidak bisa meninggalkan rumah peninggalan orang tuaku, rumah dimana aku mulai berjalan dan sampai merasakan pahit seperti sekarang ini," ucap sendu Kirai yang membuat Fatih terdiam dan menatap lekat Kirai.
"Takdir sudah di tetapkan oleh sang pencipta kita hanya perlu menantinya, seperti waktu kita sekolah dulu, apa kau ingat ketika ada ujian guru akan mengatakan ada ujian harap tenang, dan siapa yang sudah selesai boleh pulang, setelah aku dewasa aku mengerti kenapa guru itu mengatakannya," jelas Fatih yang berhasil membuat Kirai tertegun.
Bagaimana tidak ia baru sadari jika itu seharusnya ia pahami juga, disaat ada ujian kita harus sabar dan setelah ujian itu selesai kita juga akan kembali kepada sang pencipta sesingkat itu tapi sulit untuk gadis berdarah Minang itu menerima kenyataan pahitnya.
"Aku seperti kehilangan arah," tutur Kirai yang membuat Fatih mengangguk pelan.
"Setiap orang yang kehilangan orang tua pasti seperti pendaki yang kehilangan petunjuk arahnya, kehilangan arah untuk sekarang itu hal yang wajar tapi kau juga harus mencari arah untuk hidupmu selanjutnya, aku yakin kau sudah dewasa Rai, pasti mengerti dengan apa yang aku katakan, ikutlah bersama mamak dan Etekmu, aku rasa Orang tuamu juga akan senang dengan keputusan, melihat gadi kesayangan mereka berada di tempat yang aman," sahut Fatih yang membuat Kirai mengangguk.
"Aku harus pulang, jangan terlalu memikirkan apa yang telah terjadi, mengikhlaskan kepergian mereka sangat sulit tapi kau harus belajar untuk mengikhlaskannya," pungkas Fatih yang membuat Kirai mengangguk. "Sampaikan kepada mamak Hanan dan Etek Hasna, aku pulang dulu," sahut Fatih tersenyum mengusap pelan puncak rambut gadis yang tersenyum tipis menatap kepergiannya.
# satu Minggu
Ini sudah lebih dari satu Minggu, keputusan Kirai untuk tinggal bersama Mamak Hanan dan Etek Hasna membuat gadis itu sedikit lebih baik dari sebelumnya, setiap jam dua sore akan datang seorang pria paruh baya yang mengunakan delman untuk menjemput gadis itu mengantar ke rumah kayu yang setiap hari ia kunjungi tak lupa dengan bunga untuk kedua orang tuanya.
Suasana pagi di rumah Sederhana Mamak Hanan membuat Kirai perlahan mengikhlaskan kepergian orang tuanya, walaupun sesekali gadis itu akan menangis teringat kedua orang tuanya, Etek Hasna sangat membantu Kirai untuk tidak selalu mengingat kejadian pahit itu.
"Nak, ayo sarapan," sahut Hasna membuat Kirai yang tengah menyapu halaman rumah itu langsung mengangguk mencuci tangannya dan berjalan ke teras rumah menatap Mamak Hanan dan Etek Hasna yang tersenyum ke arahnya.
"Ayo makan, bisa-bisa kau pingsan karena tidak makan pagi karena terlalu sibuk membersihkan rumah kecilku ini," kekehan Hanan yang membuat Hasna dan Kirai juga ikut tersenyum.
Perlahan mereka memakan nasi goreng yang di buat oleh Tek Hasna yang membuat Kirai tersenyum dan menatap Ke arah piring yang berisi nasi goreng itu, rasanya sangat sama dengan buatan mendiang ibunya.
"siang ini, apa kau akan pergi ke rumah Ibumu nak?" Tanya Hanan yang telah siap memakan habis sarapannya.
"..." Tidak ada jawaban Kirai hanya mengangguk dan tersenyum.
"Pagi ini akan kedatangan tamu, apa kau bisa membuat kue untuk mereka?" Sambung Hasna yang langsung diangguki oleh Kirai.
"Aku sangat suka memasak kue," sahut Kirai dengan antusias membuat Hasna dan Hanan saling melirik dan tersenyum.
"Setelah ini kita akan membeli bahan-bahannya, kau ikutlah bersama ku ke pasar," tukas Hasna yang langsung diangguki oleh Kirai.
***
Kedatangan sebuah mobil hitam yang berhenti tepat di depan rumah Hanan membuat Hanan yang sedang membaca buku langsung berdiri dan memasang kacamatanya. Bibir melengkung ke atas menandakan ia sudah menunggu kehadiran pria itu.
Seorang pria yang mengunakan kemeja berwarna navy dengan tangan yang di sisingkan hingga lengan di padukan dengan celana dasar hitam membuat pria muda itu sangat terlihat tampan dan berkharisma, perawakan seperti campuran antara indo dan Belanda membuat siapa pun yang melihatnya ikut terkesima dengan ketampanan pria itu.
"Selamat siang," sahut seorang pria yang langsung diangguki oleh Hanan .
"Siang," jawab Hanan sambil tersenyum menatap pria muda yang mulai tersenyum ke arahnya.
"Apa ini Rumah Tuan Hanan dan Nyonya Hasna?" Tanya seorang pria paruh baya yang tak lain adalah supirnya.
"Sudah pak, ini adalah paman ku, kau boleh menunggu di dalam mobil atau duduk bersama kami di sini," ujar pria itu yang membuat sang supir langsung tersenyum.
"Aku duduk di luar saja Tuan, suasananya sangat indah berbeda sama yang di kota," kekehan Supir itu membuat Hanan dan pria muda itu tersenyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments