Suara adzan berkumandang jelas di telinga Kirai suara langkah kaki terdengar di luar kamar menandakan Hanan dan Hasna juga sudah bangun.
hal yang sering terjadi di setiap paginya Kirai akan melakukan ibadahnya dan berjalan keluar membantu Hasna menyiapkan sarapan dan membersihkan rumah hal yang wajar dilakukan untuk anak gadis.
“Nak, aku akan pergi ke sawah jika ada yang bertanya, suruh saja mereka menyusul ke sawah,” ucap Hanan seraya memasang sepatu karetnya dan menatap sang keponakan yang sedang menyapu halaman rumah.
“Baik Mak, nanti Rai sampaikan,” ujar Kirai menatap Hanan yang mengangguk dan berlalu.
“Semalam aku bahkan tidak melihat pesan dari da Fatih, kenapa tiba- tiba da Fatih bisa jadi imam di surau ini,” gumam kirai sembari melanjutkan pekerjaannya.
“Raii….” Terdengar suara lembut itu berasal Hasna yang tengah berjalan ke arah kirai dengan membawa tas yang terbuat dari daun pandan.
[18/11, 13:51] Mama: "saya Tek?" Ujar kirai berjalan mendekati Hasna.
"Aku akan pergi ke pasar, hari ini makan siang mamak mu akan di antar ke sawah, pukul sepuluh nanti da Ferdi akan datang menjemputmu, bantu aku masak dan bersiaplah untuk pergi ke rumah ibumu," sahut Hasna sembari merapikan selendang yang ia gunakan.
"Baik Tek," ucap kirai mengangguk mengerti dan menatap Hasna yang berlalu pergi ke pasar.
***
Tidak membutuhkan waktu yang dua perempuan bersatu untuk memasak itu akan berlangsung secara cepat. Di meja makan sudah terhidang makan siang yang baru saja kirai dan Hasna masak.
"Nak, tolong ambilkan aku sarbet," teriak Hasna yang sibuk menyusun bekal untuk Hanan.
"Ini Tek," ujar Kirain memberikan sarbet berwarna biru kotak- kotak. "Apa Etek akan pergi ke sawah juga? Atau Etek pergi saja bersamaku daripada harus sendiri di rumah."
"Tidak nak, aku akan membantu mamakmu menanam padi," ucap Hasna seraya tersenyum mengusap kepala kirai. "Aku akan pergi, hati- hati ke rumah ibumu, da Ferdi sebentar lagi sampai bersiaplah," ucap Hasna seraya berjalan menuju pintu rumah itu. "Jangan lupa kunci pintu dan taruh di bawa keset saja, pintu kamar mu dan semua jendela tutup saja, aku dan mamak mu akan pulang sehabis magrib saja," teriak Hasna sembari berjalan hal yang selalu di lakukan oleh para ibu di dunia. "Rai... Satu lagi pastikan kompornya sudah mati," sambung wanita paruh baya itu yang selalu mengkhawatirkan kondisi apa pun itu.
"..." Kirai hanya tersenyum dan berlalu masuk ke dalam kamar, Omelan Hasna membuat kirai mengingatkan sang ibu.
Tidak membutuhkan waktu yang lama, kirai menutup semua jendela dan pintu memastikan kompor tidak hidup, menunggu kedatangan Da Ferdi. Kali ini gadi berdarah Minang itu mengenakan dress berwarna putih panjang dengan selendang sutera.
Suara klakson motor membuat kirai lngsung berdiri tersenyum ke arah pria paruh baya yang baru saja sampai di depan rumah.
"Kau sudah siap Rai?" Tanya da Ferdi seraya memberikan helm pada gadis yang berada di depannya.
"Tentu Da, ayo," ucap Kirai duduk menyamping dengan satu tangan memegang besi yang berada di belakang motor.
Sekitar lima belas menit kendaraan roda dua itu berhenti di depan rumah kayu.
"Terimakasih Da," ucap Kirai sembari memberikan helm pada Ferdi yang mengangguk.
"Telfon saja jika kau ingin pulang ya Rai, aku akan mampir ke warung Bu idah," ucap Ferdi menatap kirai tersenyum tipis.
"Assalamualaikum," sambung Ferdi menatap kirai.
"Waalaikumsalam, terimakasih Da," jawab Kirai yang langsung diangguki oleh Ferdi.
Perlahan motor Ferdi berjalan menjauh dari rumah kayu itu meninggalkan kirai yang berdiri menatap lekat ke arah setiap sudut rumah kayu. Bibir yang berwarna merah muda itu tersenyum tipis helaan nafas yang begitu berat membuat kakinya melangkah masuk ke dalam rumah kayu peninggalan mendiang kedua orang tuanya.
Langkah kaki itu membuatnya kedua pusara yang berada di belakang rumah kayu itu, gadis itu selalu menceritakan semua kegiatannya kepada gundukan tanah yang di penuhi kelopak bunga mawar.
“Rai?” Suara itu membuat kirai dengan cepat menyeka air matanya dan menatap si pemilik suara.
“Da Fatih? Kau di sini da?” Tanya Kirai seraya berdiri dan tersenyum manis ke arah Fatih.
“Iya, aku sudah menduga kau akan datang sepagi ini,” ucap Fatih seraya tersenyum ke arah kirain yang juga melempar senyum manisnya. “Kemarin kau tidak datang ke sini Rai? Aku menunggumu sampai sore, aku pikir kau akan datang terlambat tapi ternyata kau tidak datang ke sini,” ungkap Fatih menatap kirai.
“Kemaren ada tamu mamak jadi aku membantu mereka untuk masak, kau tau da? Dia pemilik pabrik yang baru di bangun di kampung kita,” jelas kirai duduk di kursi kayu menatap hijau padi yang mulai menguning.
“Apa dia meminta bantuan mamak mu?” Tanya Fatih ikut duduk di samping gadis itu.
“Iya, banyak masyarakat yang belum mengerti dengan cara kerja pabrik, anak- anak juga sering bermain di sana, mengangguk pembangunan.”
Fatih mengangguk paham dengan penjelasan kirai.
“Semalam apa kau jadi imam di surau di kampung mamak? Aku melihatmu tapi kau tidak melihatku da,” sambung kirai menatap Fatih.
“Iya aku menggantikan ustadz Yusuf karena dia tidak bisa hadir, semalam aku juga mencariku tapi kau sudah pulang bersama etekmu.”
“Eumm, kau juga tidak membalas pesanku.”
“Rai, kau tau sinyal di desa seperti apa kan,” sahut Fatih yang langsung di anguki oleh kirai.
“Eum.. da,” panggil kirai kali ini terdengar sangat serius membuat pria langsung menatap kirai.
“Ada apa? Apa terjadi sesuatu?”
Helaan nafas kirai menandakan ada sesuatu yang sedang ia pikirkan.
“aku ingin pergi merantau,” ungkap kirai sembari menunduk membuat Fatih terdiam.
“Tapi kenapa Rai?”
“aku ingin suasana baru tapi itu terasa mustahil bagi ku da,” jelas kirai membuat Fatih mengerutkan dahinya.
“Mustahil? Kenapa?” Tanya Fatih menatap kirai.
“Aku akan perempuan, sebatang kara bagaimana mungkin mamak dan etek melepaskanmu untuk pergi merantau sendirian, berbeda dengan kedua orang tuaku yang mempercayaiku sepenuhnya mereka tidak akan menolak jika aku menginginkan ini,” jawab kirai dengan segala keraguannya.
“Aku di sini bersama mu. Rai, aku mendukung semua yang kau lakukan selagi itu baik, aku akan bersama mu sampai kapan pun.”
“Tapi bagaimana dengan mamak?”
“Aku akan mencoba mencari cara untuk membujuk hati mamak mu, Rai apa aku boleh jujur padamu?” Tanya Fatih menatap kirai yang mengangguk tapi manik hitamnya masih menatap lekat ke arah depan.
“Berjanjilah kau tidak akan marah padaku dan aku tidak bisa menahannya sendirian.” Fatih menunduk tak berani menatap wajah kirai yang masih terlihat tenang. “Aku menyukaimu Rai,” ucap Fatih dengan pelan namun masih bisa di dengar oleh gadis itu.
Sontak kalimat yang baru saja keluar dari mulut Fatih membuat kirai langsung menatap pria yang berada di sampingnya. Manik hitam mereka beradu dengan segala pertanyaan di benaknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments