Tandu yang tertutup kain hitam bertulis kalimat yang aku sendiri tidak mau membacanya. Semua yang di dunia akan kembali kepada sang penciptanya. Perlahan Etek Hasna kembali memapahku berjalan ke belakang rumah kayu yang kini tengah berduka. Aku hanya bisa diam menatap dua lubang liang yang kini telah di masuki oleh beberapa orang termasuk Fatih, Hanan dan masih banyak lagi yang membantu proses pemakaman orang tuaku.
"Rai," suara itu berhasil membuat Kirai sedikit terkejut.
Tatapan mata kosong itu menatap ke arah dua gundukan tanah itu, kini berada di depan matanya, batu nisan pun sudah tertancap di atas tanah merah yang merenggut kebahagiaan gadis itu.
"Bunganya nak," sahut Hasna memberikan bunga yang akan di tabur di atas dua gundukan tanah merah itu.
"..." Tidak ada jawaban Kirai hanya diam dan menatap dua gundukan tanah itu. Perlahan tangannya mulai menaburkan bunga untuk kedua orang tuanya.
Semakin ditahan semakin terasa begitu sesak ketika menatap dua pusaran itu.
Kehidupan adalah sebuah untaian peristiwa dimana semuanya di susun rapi untuk seorang manusia, apa ini ujian dan cobaan yang harus aku hadapi, hidup tanpa dua orang yang aku sayangi. Aku yang terbiasa hidup bersama mereka, merengek bahkan bercerita tentang apa saja. Apa mungkin sang pencipta menjemput mereka begitu cepat. Tangan ku perlahan menaburkan bunga di dua gundukan tanah yang merenggut kebahagiaan hidupku.
"Aku berharap aku memiliki kekuatan untuk mengambil kembali setiap rasa sakit, kekhawatiran, dan sakit hati yang pernah aku berikan kepadamu. Aku berharap bisa membatalkan, semua momen yang membuatmu sedih," gumam Kirai menatap sendu ke arah dua tanah merah itu.
***
Sore hari, rumah kayu tua itu terasa sangat hening hanya ada kirai, Hanan dan Hasna. Sejak dari pemakaman itu suara lembut gadis itu tidak lagi terdengar.
"Nak," panggil Hasna yang terdengar sangat lembut.
Sepasang suami istri menatap ke arah kirai yang sedari tadi duduk di depan pintu dengan selendang sutra putih peninggalan sang ibu.
"..." Tidak ada jawaban Kirai hanya diam menatap kosong ke arah tempat duduk di mana mereka setiap pagi.
"Nak," panggil Hanan yang berhasil membuat gadis itu menoleh ke arah Hana dan Hasna yang duduk di ruang tamu.
"Saya Mak," sahut Kirai yang langsung berdiri berjalan sendu ke arah sepasang suami istri itu.
Hasna langsung merangkul Kirai dengan senyum tipis seolah memberi semangat untuk gadis malang itu.
"Ayah dan ibu sudah di panggil yang kuasa, hidup sebatang kara di rumah kayu ini tidak baik nak, ada baiknya jika kau ikut bersama Mamak dan Etekmu, setidaknya biarkan kami merawatmu, aku akan bertanggung jawab dengan hidupmu nak," jelas Hanan yang membuat Kirai terdiam dan menunduk.
"Bukan, saya menolak niat baik dari mamak dan Etek, jika saya pergi bersama Mamak dan Etek, lalu bagaimana dengan rumah ini, ayah dan ibu tidak mungkin saya tinggal kan Mak," sahut Sopan kirai menatap ke arah Hanan dan Hasna yang duduk di sampingnya.
"Kenapa nak, semua akan tetap berlangsung, aku pernah berjanji pada orang tuamu, jika mereka tidak lagi ada maka kau akan menjadi tangung jawab kami, izinkan aku melaksanakan dan membayar janji itu kepada orang tuamu," jelas Hasna menatap lekat ke arah Kirai yang masih menunduk, sangat terlihat jelas jika gadis itu belum bisa menerima kepergian kedua orang tuanya.
Mendengar ucapan Hasna membuat kirain terdiam dan menatap Hanan yang mengangguk kecil.
"Bagaimana dengan Ayah dan ibu, bagaimana dengan rumah ini, di dalam adat Minangkabau, anak perempuan menjadi penjaga rumah, siapa yang akan menjaga rumah jika aku ikut bersama kalian, lagi pula aku tidak mau meninggalkan ayah dan ibu di sini," jelas Kirai yang menunduk menahan rasa sesak di dadanya.
"Kehidupan tidak akan berhenti nak, apa pun itu akan tetap berjalan baik atau buruknya, kau ingat nak, aku telah berjanji dengan kedua orang tuamu," jelas Hasna yang lagi lagi ingin membujuk sang keponakan.
"Aku mengerti dengan Suasana hatimu Nak, rumah ini akan di jaga oleh anak perempuan, aku tau itu tapi ingat nak, semua akan berjalan seperti biasanya nak, ayah dan ibu akan tenang ketika kau tinggal bersama kami, aku akan mengantarmu ke rumah ini untuk berkunjung ke makam ayah dan ibu sambil membersihkan rumah peninggalan kedua orang tuamu," jelas Hanan yang membuat kirai terdiam dan masih tetap menunduk. Matanya nya tak henti mengeluarkan buliran bening yang tanpa izin jatuh dari manik hitam gadis itu
"apa mungkin untuk aku meninggalkan kedua orang tuaku Mak, Tek, walau sudah tidak lagi bernyawa, tapi aroma tubuhnya masih begitu terasa," ungkap Kirai yang membuat Hasna menatap Hanan.
"Nak, aku mengerti dengan situasimu, keadaan hatimu, mengikhlaskan orang yang paling di sayangi itu sangat sulit, hal yang paling menyakitkan adalah mengikhlaskan, tapi percaya lah ke padaku nak, mereka yang selalu ada saat di sini akan selalu ada untukmu dimanapun walaupun tidak bisa berwujud lagi," jelas Hanan yang membuat Kirai menunduk dan sedikit mengangguk. "Apa kau tidak kasihan dengan kedua orang tuamu nak? Mereka pasti akan merasa sangat sedih ketika melihatmu tertutup dan selalu menangis atas kepergiannya, untuk tiga hari ini kita akan tidur di sini, setelah itu tinggal lah bersama kami, itu akan membuat aku dan etek mu merasa senang, setiap hari aku akan menyuruh Da Ferdi mengantarmu ke rumah ini," jelas Hanan yang mengusap puncak kepala sang keponakan dan berdiri duduk di luar menatap hamparan sawah nan hijau.
Sebenarnya ia juga tidak kuat untuk menghadapi ini semua, bagaimana tidak Tan Malaka dan Arifin adalah orang yang paling ia sayangi, apa lagi tan Malaka si bungsu yang dari dulu menjadi kesayangan keluarga kini pergi meninggalkan dirinya untuk selamanya.
Tanpa sadar Air mata pria paruh baya yang terkenal dengan wibawa dan bijaksana itu mengalir pada pipi yang mulai keriput itu.
"Tidak perlu bersembunyi untuk berduka Da, aku mengerti dengan apa yang kau rasakan tapi apa mungkin kau juga menunjukan rasa kesedihan itu di depan Kirai?" Sahut Hasna yang tiba-tiba datang dan duduk di samping sang suami yang tengah mengelap air matanya.
"Dimana Kirai?" Tanya Hanan menatap ke dalam rumah kayu itu dan beralih menatap Hasna yang juga menatapnya.
"Kirai tidur di pembaringan kedua orang tuanya, aku yakin dia masih tidak menerima jika kedua orang tuanya telah tiada," jelas Hasna yang membuat Hanan mengangguk dan memalingkan wajahnya. Setiap sudut rumah itu terlihat dan terdengar suara Tan malaka yang selalu senang menyambut kedatangan dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments