Kain hitam yang berkibar basah akibat air hujan yang turun di malam ini membuat detak jantung kirai semakin cepat. Gadis itu berjalan cepat menatap rumah kayu yang sudah di penuhi oleh warga setempat. Beberapa motor dan mobil sudah terparkir di depan rumah kayu itu.
"Adik…" ucap seorang wanita yang membuat Kirai langsung menatapnya.
Dia adalah istri dari mamak Hanan, Etek Hasna. Kehadiran Hasna membuat Kirai mengerutkan dahinya kenapa hujan dan sudah larut malam begini Hasna dan Hanan datang ke rumahnya mengunakan mobil.
"Mamak, Etek?" Tanya Kirai yang bingung akan kehadiran mereka.
Baju basah kuyup akibat hujan yang turun cukup deras, Hasna langsung memeluk tubuh kecil kirai.
"Kau akan tinggal bersamaku nak, kau tidak sendiri," ucapan itu semakan membuat kirai merasa bingung menatap Fatih yang baru saja datang dengan baju yang basah juga.
"Apa yang Etek katakan?" Tanya kirai yang langsung melepaskan pelukan Etek Hasna.
Gadis berdarah minang itu berlari masuk ke dalam rumah kayu yang kini di penuhi oleh warga setempat.
Tubuhnya membeku, tangan bergetar, tatapan mata kosong ke arah ruang tamu yang membuat gadis itu terjatuh dengan mata yang masih menatap lekat ke arah ruang tamu itu. Suara orang membaca Yasin sayu- sayu terdengar.
Dua orang yang dia sayang terbujur kaku di tutup kain panjang batik tergeletak di atas kasur berselimut songket lengkap dengan beberapa kitab suci yang berada di kepalanya, beberapa warga yang membaca surah yasin.
"Ayah….. Ibu…." Pekik Gadis itu yang merangkak ke jasad kedua orang tuanya membuat para warga tak kuasa melihatnya.
"Adikk…" ucap Hasna yang langsung memeluk gadis itu membuat semua orang menahan air matanya.
Siapa yang tidak kenal Kirai, gadis yang selalu keluar bersama orang tuanya, terkenal santun dan lembut kepada Tan Malaka dan Arifin.
"Ayah ibu, ayo bangun Adik sudah datang kenapa kalian seperti ini, Etek tolong beritahu ayah dan ibuku, jika aku akan menuruti semua ucapan mereka, tolong bangunkan ayah dan ibuku," Isak Kirai yang terdengar begitu pilu membuat semua orang yang berada di sana meneteskan air matanya.
"Ayah ibu bangunlah, aku akan menikah dengan pria pilihan mu, ayo bangunlah," sahut Kirai sembari berusaha membangun tubuh kedua orang tuanya.
"Nak," sahut Hasna memeluk tubuh kecil keponakannya.
"Ganti bajunya, nanti dia masuk angin," gumam pelan Hanan yang diangguki oleh Hasna.
"Apa yang terjadi Pak?" Tanya Fatih yang baru saja sampai dengan baju yang basah akibat hujan yang sangat deras itu. Manik hitamnya menangkap Kirai yang di bawa ke dalam kamar bersama Hasna.
"Kecelakaan, Arifin dan adikku mengalami kecelakaan saat perjalanan pulang dari rumahnya, kau tau jalan di desa kita belum begitu bagus," sahut Hanan yang mencoba terlihat tegar.
"..." Tidak ada jawaban Fatih hanya diam, ia sangat terkejut dengan kepergian suami istri itu.
"Turut berduka cita pak, semoga beliau di tempatkan di tempat yang terbaik," ujar Fatih menatap Hanan yang berusaha menahan rasa sesak di dadanya.
Tan Malaka dan Arifin adalah adik kesayangan bahkan tidak pernah keluar kalimat yang membuat hatinya terluka, malam ini selepas pulang dari rumah Hanan merasa bersalah akibat ucapan nya sendiri merendahkan Arifin.
"Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri, ucapanku membuatmu seperti ini, aku tau ajal sudah ada yang mengatur, takdir tidak ada yang bisa melawan, tapi ucapanku mengesan dalam di hati mu," gumam Hanan menatap lekat ke arah jasad sang adik dan adik iparnya yang sudah tidak bernyawa.
***
Sementara kirai dan Hasna berjalan masuk ke dalam kamar milik gadis itu. Hasna langsung mencari pakaian untuk keponakannya itu, dengan air mata yang tak henti-hentinya mengeluarkan air matanya Hasna menatap foto kirai dan kedua adik-adiknya. Bagaimana tidak kirai adalah kesayangan mereka. Berbeda dengan kirai yang terhenti ketika melihat meja makan terdapat sepucuk surat.
Baju yang basah, kaki bergetar tubuh yang tak kuat untuk berjalan itu kini terhenti tepat di meja makan.
Perlahan tangannya meraih secarik kertas itu, buliran bening itu langsung mengalir begitu deras saat membaca isi kerta itu. Tangannya mulai membuka tudung saji itu. Suara Isak tangis kembali terdengar begitu pilu. Tangan itu kembali bergetar menyeret kursi dan langsung memakan lauk yang berada di atas meja makan itu. Isak tangis yang terdengar begitu pilu membuat Hasna mendengar suara itu langsung keluar menatap Kirai yang memaksa semua makanan itu masuk ke dalam mulutnya.
"Nak, apa yang kau lakukan," cegah Hasna menatap Kirai yang makan sambil menangis dengan mulut yang penuh dengan masakan sang ibu.
"Sudah nak," ujar Hasna yang langsung memeluk sang keponakan.
Isak tangis yang begitu pilu makanan yang telah bercampur dengan air mata membuat kirai tidak sadarkan diri.
"Astaghfirullah," pekik Hasna yang membuat Hanan dan Fatih langsung berlari ke arah Hasna yang tengah memeluk tubuh lemas Kirai.
****
Pagi hari di rumah kayu masih terasa dan terdengar suara sayu- sayu yasinan yang bercampur isak tangis membuat Al Qur'an itu sedikit basah akibat air mata gadis itu yang sesekali melihat dua orang yang dia sayang terbujur kaku tertutup kain panjang.
Beberapa pria dan wanita mulai membopong tubuh kaku kedua orang orang tuanya untuk melakukan pemandian. Tubuh lunglainya kembari berdiri di papah oleh Hasna, tidak ada ucapan maupun kalimat yang harus disampaikan matanya menatap kosong ke arah sang orang tua yang dimandikan untuk terakhir kalinya.
Tidak membutuhkan waktu yang lama kedua orang tuanya kini sudah berbalut kain putih yang tak bertepi. Tidak ada lagi Isak tangis hanya buliran bening yang jatuh membasahi pipi gadis itu, selendang sutra yang biasa digunakan sang ibu kini melekat di kepalanya.
"Adik kemari, lihat wajah ayah dan ibu untuk terakhir kalinya," ujar Hasna merangkul kirai yang kini tidak berdaya.
Kalimat itu terdengar seperti petir di siang hari.
Perlahan tubuh lemahku berjalan menatap kedua orang tuaku yang kini telah berbalut dengan kain putih yang tak bertepi, akhir dari segala kehidupan akhir dari kebahagiaan hidupku juga. Mataku tertuju pada wajah tampan ayah dan wajah cantik ibuku yang kini sudah terbalut kain putih itu. Air mataku kembali terdengar suaraku bergetar memanggil ibu dan ayah yang kita tidak menyatu lagi. Duniaku telah pergi meninggalkan ku untuk selamanya. Maaf, kalimat itu yang hanya bisa aku katakan dari mulutku yang bergetar ini. Kain putih yang tadi terbuka sedikit kini ditutup habis sehingga aku tidak bisa lagi di wajah kedua orang tua. Tandu yang tertutup kain hitam bertulis kalimat yang aku sendiri tidak mau membacanya. Semua yang di dunia akan kembali kepada sang penciptanya. Perlahan Etek Hasna kembali memapahku berjalan ke belakang rumah kayu yang kini tengah berduka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments