Manik hitam nya tertuju pada setiap detail rumah kayu yang tak lagi berpenghuni. Kedua kaki itu membawa Kirai masuk ke dalam rumah peninggalan kedua orang tuanya. Helaan nafas terasa begitu berat di saat pintu belakang rumah itu di buka terpampang dua batu nisan seolah menyapa gadis itu.
“Assalamualaikum ayah ibu, adik datang. Adik sangat merindukan kalian, aku rindu masakan ibu, ayah. aku rindu ayah mengusap kepala adik dengan kasih sayang, harapan ku hilang ketika kalian tidak bersama ku lagi, ayah ibu bisa kah kalian kembali untuk bersama ku?” Ucap kirai yang mulai mengeluarkan butiran bening di sudut matanya.
“Air mata hanya sebuah ungkapan rasa rindu atau perasaan seseorang Rai, tidak baik meminta mereka untuk kembali bersamamu karna setiap tetes air matamu yang keluar akan membuat mereka tidak tenang, kemari duduklah, aku yakin hari ini banyak yang terjadi dan ceritakan semuanya padaku,” suara itu membuat kirai langsung mencari sumber suara yang tak lain adalah Fatih.
“Da Fatih?” Gumam kirai sembari berdiri mendekat ke arah Fatih yang duduk menatap hamparan hijau sawah.
“Kalimat yang selalu keluar ketika kau melihatku,” kekehan Fatih menatap kirai yang kini duduk di sampingnya.
Senyum manis terukir indah pada bibir gadis itu. “Hari ini terasa sangat berat da, di tambah dengan ucapan mamak.”
Mendengar ucapan kirai membuat Fatih mengerutkan dahinya.
“Kau boleh bercerita padaku.”
“Apa pantas aku menceritakannya kepadamu…”
“Aku tidak akan memaksamu untuk bercerita Rai, itu artinya kau belum sepenuhnya percaya padaku. Piliah- piliah- tampek mangandu, caliak- caliak tampek bacarito, Jan sampai salah urang, kalau batamu urang nan dak dapek sudah manolong Indak hanyo di jadian bahan galak, karano banyak kawan nan sarupo biawak, sanang mancaliak awak susah, susah mancaliak awak sanang,” ungkap Fatih menatap hamparan sawah nan hijau.
Ucapan Fatih membuat kirai sejenak terdiam menghela nafas panjang.
“Malang Bana nasib badan da, Indak ba ayah Indak ba Amak, induik diatur urang Sajo, malawan raso Ndak mungkin iduik masih bagantuang Jo urang lain, (nasibku malang Da, tidak punya ayah, tidak punya ibu hidup masih bergantung dengan orang lain)” gumam kirai dengan mata yang mulai berkaca- kaca. “Indak di danga raso ka salah, alah di danga batin Ndak manarimo baitu Bana nasib si yatim piatu, ayah dulu pernah bapasan iduik mandiri harus bisa tagak Jo kaki surang, Amak ba Pasan siap Ndak siap harus siap tarimo kanyataan.” Kirai mengusap pelan air mata yang membasahi pipinya. Matanya menatap gundukan tanah yang baru saja di taburi bunga mawar.
“...” Tidak ada jawaban Fatih hanya diam menatap sendu ke arah gadis itu.
“Impianku, semuanya hancur terkubur bersama ayah dan ibu, mamak tidak memberi izinku untuk pergi dari rumah mereka bahkan mereka tidak mengijinkan ku untuk bekerja ke kota,” sambung Kirai menatap Fatih.
“Hapus air matamu Rai, aku tidak suka melihat air mata di pipimu. Sekarang aku tidak berpihak kepada siapa pun, aku tidak akan berpihak ke mamak mu atau pun kau sendiri. Kekhawatiran mamak dan etek mu untuk melepaskan anak gadisnya pergi merantau adalah keputusan yang berat, kita tinggal di tanah Minang, sulit untuk anak gadis mereka untuk pergi merantau dan untukmu Rai kau tidak salah untuk mengejar mimpimu, kau ingin bekerja dan melanjutkan pendidikan S2 mu, aku mendukung itu, Tapi Rai tagak di nan lereang basanda, tagak di nan data batungkek, tagak di nan tinggi basipacik, (dimana pun kita berada cara untuk bertahan pasti berbeda-beda)” ungkap Fatih menatap kirai yang juga menatapnya.
“Aku harus apa da? Di satu sisi ayah dan ibu mengijinkanku untuk melanjutkan pendidikan ku, sedang mamak dan etek tidak mengijinkan nya.”
“Ikuti kata hatimu Rai, tela’ah setiap ucapan mamak dan etekmu, ingat sekarang kau tinggal bersama mereka bukan dengan orang tuamu, apa kau masih ingat ada pepatah yang mengatakan walaupun harimau dalam paruik kambiang Juo nan bakalua kan, balain di dalam balain di lua.”
“Bukan kah itu namanya munafik da?”
“Bukan Rai, maksud dari pepatah itu bagaimana pun rasa kebencian, rasa tidak suka, bahkan dendam kepada seseorang jangan di perlihatkan dari ekspresi wajah atau pun dengan sikap mu, tetap ramah dan seakan- akan tidak terjadi sesuatu diantara kau dan orang itu.”
“Tapi itu sama saja membohongi diri sendiri, itu termasuk ketidakjujuran da, aku akan tetap mengatakan ini adalah sebuah kemunafikan.”
“Jangan terlalu terpaku kepada lahir dan batin, antara otak dan pikiranmu Rai, tapi ambil yang positifnya, pepatah itu mengajarkan kepada kita pesan moral untuk dapat mengendalikan emosi, emosi mu mungkin meledak- ledak seperti keganasan harimau tapi jangan sampai sikapmu berubah menjadi tidak sopan harus di netralisi dengan sikap damai,” jelas Fatih membuat kirai terdiam. “Perbaiki selendang mu,” ujar Fatih seraya tersenyum memasangkan selendang sutera yang terlepas di kepalanya gadis itu.
“terimakasih da,” gumam kirai dengan pelan menyeka air matanya.
“untuk?”
“Sudah mendengarkan semuanya.”
“kau sudah percaya padaku?” Kirai mengangguk menatap Fatih yang tersenyum ke arahnya. “Tenangkan dirimu, jangan menangis aku tidak suka, aku juga akan berbicara pada Etek Hasna, mana tau dia akan berubah pikiran dan membujuk mamak untuk memberikan izin kepadamu.”
“Tapi…”
“Jan dikatoan nan tapikia, tapi pikian a yang kadikatoan (jangan katakan yang terpikirkan tapi pikirkan apa yang akan di katakan)” potong Fatih membuat kirai terdiam. “Aku mencintaimu Rai, aku akan datang bersama kakak ku, maaf jika ini terlalu cepat untukmu, aku akan datang untuk meminangmu, setelah itu kau bisa melanjutkan pendidikanmu di kota bersamaku, aku yang akan menjagamu Rai, aku berjanji kepada orang tua mu,” ungkap Fatih membuat kirai tertegun menatap lekat manik hitamnya.
“D-Da…”
“Jika kau tidak keberatan aku akan datang dalam waktu yang dekat, Kirai Chania Arifin mau kah kau menjadi istriku?” Tanya Fatih seraya meraih kedua tangan kirai.
Deg…
Entah perasaan apa bahkan saat ini gadis itu tidak mengerti antara senang dan terharu tapi air matanya mengalir begitu deras. Manik hitam mereka beradu detak jantung yang saling berpacu lebih cepat dari biasanya.
“Aku menunggu kedatanganmu bersama kakak mu da, datang lah ke rumah mamak.” Kirai mengatakan semua kalimat itu dengan suara yang bergetar menatap Fatih dan melirik ke arah dua gundukan tanah yang menjadi saksi bisu.
****
Malam hari ditemani suara jangkrik khas pedesaan, rumah sederhana milik Hanan terlihat tenang, di meja makan tersaji makan malam untuk si pemilik rumah dengan Hasna dan kirai yang kini telah duduk di meja makan.
Tidak ada pembicaraan di meja makan, mereka sibuk dengan makanan yang berada di depannya dan berperang dengan pikirannya masing- masing.
Sekarang makan malam telah usai, kirai dan Hasna langsung membersihkan meja makan itu sedangkan Hanan langsung duduk di depan televisi walaupun hanya radio yang menyala.
“Kirai…” panggil Hanan membuat gadis itu langsung berhenti bekerja dan menatap Hasna yang mengangguk.
“Pergilah,” Ujar Hasna menatap kirai yang mengangguk.
“Saya Mak,” sahut kirai berjalan mendekati Hanan dan duduk di depannya.
“Aku ingin berbicara denganmu.” Hanan menatap kirai yang juga menatapnya.
“Aku juga ingin berbicara dengan mamak,” ungkap kirai membuat Hasna yang berada di dapur langsung menghentikan aktivitas berjalan mendekati mereka.
“Kirai atau mamak dulu yang bicara?” Tanya Hanan menatap kirai.
“Mamak saja terlebih dulu, Rai belakangan saja,” jawab kirai dengan sopan.
“Aku telah menjodohkanmu dengan keluarga Haji Marawi atas izin ayah dan ibumu, pernikahan akan berlangsung dalam Minggu ini,” ucap Hanan tanpa keraguan sedikitpun.
Sontak ucapan Hanan membuat kirai langsung membulatkan matanya menatap lekat manik hitam Hanan, gadis itu seolah menunggu Hanan mengatakan jika ini hanya sebuah candaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments