Pagi harinya, hal yang selalu menjadi aktivitas gadis berdarah minang itu memasak sarapan untuk semua orang yang berada di rumah. Tidak hanya itu dia juga harus membersihkan setiap sudut rumah walaupun Hasna selalu melarangnya bekerja tapi sejak kecil sang ibu selalu mengajarinya.
“Rai, ayo sarapan nanti keburu dingin,” teriak Hasna yang masih menyajikan makana untuk sang suami.
“Baik Tek,” ujarnya seraya berjalan mendekati meja makan, di sana Hanan sudah duduk dan tersenyum manis ke arah kirai.
“Sejak kau tinggal di sini setiap hari aku merasakan masakan terlezat di dunia,” kekehan Hanan membuat kirai dan Hasna tertawa kecil.
“Itu artinya selama ini kau terpaksa memakan masakan ku da?” Tanya Hasna seolah- olah sedang merajuk karena ucapan sang suami.
“Bukan begitu Hasna, masakan mu jauh lebih enak,” ungkap Hanan membuat kirai terkekeh. “Dan masakan keponakan ku yang menjadi juaranya,” ucap Pelan Hanan membuat kirai tertawa pelan.
Tidak membutuhkan waktu yang lama, sekarang sepasang suami istri itu duduk di ruang tv selepas sarapan, sedangkan kirai selalu di kamar menyulam atau hanya bersenandung kecil.
“Raii…” panggil Hanan dengan lembut membuat kirai yang berada di dalam kamar langsung menyaingi panggilan sang mama.
Gadis itu langsung meraih selendang sutera milik peninggalan sang ibu, dengan anggun lemah gemulai menghampiri Hanan dan Hasna yang duduk di ruang tv.
“Mamak memanggilku?” Tanya Kirai berdiri di samping Hanan yang duduk di kursi kayu.
“Kemari nak,” ajak Hasna sembari menepuk tempat duduk di sampingnya.
Tidak ada jawaban gadis itu duduk dan menatap sepasang suami yang juga menatapnya.
“Tidak perlu tegang nak, aku hanya ingin bertanya setelah ini apa yang akan kau lakukan?” Tanya hanan membuat Hasna langsung menatap kirai.
Mendengar pertanyaan Hanan membuat kirai langsung tersenyum tipis.
“Aku berniat bekerja di kota Mak, aku akan melanjutkan pendidikanku S2,” ujar kirai membuat perubahan wajah dari Hanan.
“Kau akan pergi ke kota lagi nak?” selidik Hasna menatap lekat ke arah kirai yang langsung mengangguk pelan.
Terlihat perubahan wajah Hanan dan Hasna membuat kirai menunduk, perubahan wajah ini akan mendatangkan masalah untuk gadis itu.
“Apa kau sudah memikirkan semuanya?” Tanya datar Hanan yang langsung berubah.
“sudah Mak,” sahut kirai seraya mengangguk dengan penuh keyakinan.
“apa kau lupa dengan adat kita nak?" Tanya Hasna membuat Kirai terdiam.
Gadis itu mengerti dengan ucapan Hasna dan yakin jika keputusan nya tidak akan didukung Oleh Hasna dan Hanan.
"Tapi aku harus mengambil keputusan ini Tek, aku tidak bisa berlama- lama di sini, aku ingin membantu kalian seperti aku membantu ibu dan ayah," ucap Kirai mencoba untuk mengutarakan pendapatnya.
“Apa aku pernah meminta bantuan untuk semuanya?” Tanya Hasna menatap lekat manik hitam kirai.
“Tapi Tek, aku ingin sekali bekerja. Ayah dan ibu sudah mengijinkanku, lalu..?”
“Tidak ada yang bisa pergi dari rumah ini tanpa izin ku, kau tau bagi orang tua di minang tidak bisa melepaskan putrinya untuk pergi merantau sendiri berbeda dengan laki- laki,” potong Hanan menatap ke arah kirai.
“Tapi aku sudah berbicara kepada ayah dan ibuku, mereka mengizinkanku untuk kembali pergi ke kota. Aku ingin bekerja layaknya seperti seorang laki-laki yang pergi merantau mengadu nasib mereka di kota orang,” ucap Kirai menatap Hanan yang juga menatapnya.
“Jika kau ingin pergi bekerja kenapa harus ke rantau orang? apa di sini tidak ada pekerjaan yang bisa kau lakukan?” Hanan mulai terpancing emosi matanya membulat menentang segala ucapan Kirai.
“dan jangan menyebut nama ibu dan ayahmu mereka juga tidak akan setuju dengan keputusan ini. Indak paralu tarang Bana, nan pantiang indah padam, indak terlalu juo gadang Bana, nan pantiang lai ma ilia, (maknanya tidak perlu terlalu banyak asalkan kita bersyukur memiliki sesuatu hal yang kita miliki)" ucap Hanan seraya menatap kirai yang langsung menunduk. “Jangan membandingkan dirimu dengan laki-laki, perempuan di Minang adalah Bundo kanduang, limpapeh rumah Nan gadang, sumarak anjuang nan tinggi (perempuan di Minang adalah penghuni rumah)” tukas Hanan menatap Kirai.
“Sudah Da, kirai…”
Belum selesai Hasna melanjutkan ucapannya Hanan langsung mengangkat satu tangannya pertanda Hasna tidak boleh ikut campur.
“kok dapek anak padusi ibarek cincin di jari Manis, Bungo setangkai di halaman pamenan ayah Bundonyo, ubek jariah palarai damam sidingin tampa di Kapalo, (artinya perempuan di Minang mempunyai tempat istimewa di rumah mereka, harus di jaga dan akan menjadi perhiasan di rumah miliknya)" Ungkap Hanan membuat kirai langsung diam seribu bahasa. “Pikirkan keputusanmu dan aku tidak akan menyetujui nya, aku masih bisa menghidupimu, tidak perlu bekerja,” sambung Hanan yang langsung berdiri karena suara motor terdengar di halaman rumah.
“Bersiaplah, Da Ferdi sudah menunggumu,” ujar Hasna mengusap pelan punggung Kirai.
Tidak ada jawaban kirai hanya mengangguk pelan, matanya masih tertuju pada sang mamak yang berjalan keluar dari rumah itu untuk menemui Da Ferdi.
Gadis berdarah Minang itu berjalan masuk ke dalam kamar mengambil tas kecil miliknya.
“Aku akan bicara dengan mamamu semoga dia akan berubah pikiran,” ucap Hasna membuat Kirai mengangguk pelan dan menyalami tangan wanita paruh baya itu.
Langkah kaki yang gemulai anggun dan tatapan mata yang penuh pertanyaan itu kini telah berdiri di samping hanan yang masih terbawa suasana di ruang tv.
“Saya akan pergi ke rumah ibu mak, saya pamit. assalamualaikum,” ucap Kirai seraya mencium tangan sang mamak.
“Hati-hati, jangan pulang terlalu sore, waalaikumsalam,” sahut Hanan menatap kepergian Kirai bersama da Ferdi orang kepercayaan pria paruh baya itu.
Kendaraan roda dua membawa Kirai perlahan meninggalkan rumah sederhana milik Hanan dan Hasna. Sementara gadis itu hanya diam dan merenungkan setiap ucapan yang Hanan katakan kepadanya.
“Aku dengar kau akan pergi ke kota, apa itu benar Rai?” ucap dah Ferdi membuka suara.
“Iya da.” Kirain mengangguk pelan seraya merapikan selendang sutra yang melekat di kepalanya.
“Apa kau sudah mendapatkan izin dari mamakmu?” tanya Ferdi membuat Kirai terdiam. “Aku mengerti di posisimu bahkan walaupun kita tinggal bersama kerabat family kita, tidak akan sebahagia tinggal bersama kedua orang tua, tapi posisinya sekarang sudah berubah Rai, ayah dan ibumu sudah tiada, Hasna dan Hanan yang akan menjadi orang tua sambung untukmu, dia tidak akan keberatan untuk menghidupimu,” ucap Ferdi seraya melirik Kirai dari kaca spion kendaraan roda dua miliknya.
“Iya Da, Saya mengerti,” jawab Kirai dengan pelan.
“Satu hal yang paling penting dan harus selalu kau ingat, kita tinggal di tanah Minang, darah Minang mengalir di tubuh kita, adat akan selalu diutamakan di mana kau sebagai keponakan harus mengerti cara berbicara kepada mamakmu. Urang Minang nan sabana Minang, paham Ereang jo gendeang, tantu kieh Jo kurenah raso Jo pareso, tantu Jo kato nan ampek, paham dek rantiang nan ka manyucuak, tau dek dahan nan ka manimpo, (artinya orang Minang harus paham dengan cara berbicara kepada siapapun, dan selalu menjaga perasaan orang lain,)" ungkap Ferdi sembari memberhentikan kendaraan roda dua di depan rumah kayu milik orang tua Kirai.
“Baik da, saya akan mengingat semuanya. Terima kasih da, saya akan menelpon jika saya ingin pulang,” ujar Kirai sembari menatap da Ferdi yang tersenyum ke arahnya.
“Aku akan menunggu di warung, hati-hati ingat pesanku dan aku mengerti bagaimana rasanya di posisi mu rai.” Ferdi kembali melajukan kendaraannya.
“Terimakasih Da,” jawab pelan Kirai menghela nafas dalam menatap rumah kayu yang kini tidak berpenghuni.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments