Nadia sampai di rumah keluarganya sekitar jam enam pagi. Setelah memarkirkan mobilnya di halaman, ia masuk ke rumahnya.
Rumah utama keluarga Nadia berdiri di atas tanah seluas tiga ratus meter. Bangunan bergaya eropa berwarna putih dan megah dengan tinggi dua lantai dikelilingi oleh taman buatan yang cantik. Terdapat 7 kamar, aula yang bisa menampung 200 orang, kolam renang, sauna, tempat gym, dan bioskop di dalamnya. Berkat ayahnya yang seorang pemilik agensi hiburan besar, Nadia dapat hidup nyaman dan mewah.
Tapi itu sebelum ayahnya menikahi istri barunya, ibu kandung Clara.
Nadia tau keduanya merasa terancam karena ia putri kandung ayahnya. Sejak kecil Ibu tirinya hanya memanjakan dan melimpahinya uang untuk bersenang-senang. Membuatnya tumbuh menjadi gadis bodoh yang hanya tau bersenang-senang dan menghamburkan uang. Di sisi lain Clara tumbuh menjadi pribadi yang pintar dan sopan. Menjadi kebanggan keluarga.
Seiring mereka tumbuh dewasa keduanya tumbuh dengan perilaku yang berbanding terbalik. Yang satu seperti peri sedangkan satunya lagi seperti nenek sihir. Merasa selalu dibeda-bedakan dan dibandingkan, Nadia mulai membenci Clara dan selalu memusuhinya. Di rumah ia selalu melecehkan adiknya hingga sering menyulut amarah ayah dan Neneknya. Seiring amarah itu kian besar, Clara dan Ibunya mulai membuat ayah dan neneknya membela dan berpihak pada mereka. Meninggalkan Nadia seorang diri.
Nadia asli terlalu bodoh untuk melihat skema yang dibuat oleh kedua orang munafik itu. Di akhir hidupnya ia diusir dan bahkan tak mendapatkan warisan sepeserpun. Perusahaan hiburan itu jatuh ke tangan Clara dan ibunya. Menyisakannya yang bermandikan debu berbaring di jalanan tanpa nyawa.
Nadia mengepalkan jarinya. Ia tak akan membiarkan mereka mengambil haknya. Bila ia tak dapat mewarisi kekayaan keluarganya, Nadia dengan senang hati lebih memilih menghancurkannya.
Ia tersenyum kejam.
"Nadia, darimana saja kamu!" Suara melengking wanita tua terdengar. Nadia melihat Nenek dan Rini, ibu tirinya duduk di ruang tamu menunggunya.
"Nadia, Nenekmu sepanjang malam gelisah menunggu kepulanganmu. Wanita baik-baik tak akan berkeliaran di malam hari. Berhenti merusak reputasi ayahmu dan mencemaskannya." Ibu tirinya menegurnya.
"Ibu, kamu bilang wanita baik tak akan berkeliaran di malam hari. Bukankah putrimu juga selalu berkeliaran bahkan tak pulang malam ini? Apakah maksudmu anakmu bukan wanita baik-baik?"
"Kamu! Anakku berbeda! Ia tak pernah melakukan hal aneh sepertimu" Ibu tirinya melotot.
"Ibu. Kau sangat tak adil. Kami berdua melakukan hal yang sama tapi kau hanya membela Clara dan hanya memarahiku. Meskipun aku anak tirimu bukankah kau terlalu bias? Aku juga anakmu!" Nadia mengeluarkan ekpresi tersakiti.
Nenek dan ibu tirinya terdiam.
"Aku ditinggal pergi oleh ibuku tapi kau malah memperlakukanku berbeda. Sejak kecil kau memberikan pendidikan terbaik untuk Clara tapi aku hanya ditinggalkan di pinggir dengan mainan. Setelah besar kau sering membawa nenek untuk memarahiku dan malah memanjakan Clara." Mata Nadia mulai berlinang.
Bagaimanapun Neneknya saat ini belumlah terlalu membencinya. Melihat gadis kecil yang menangis dipelukannya wajahnya berubah luluh. Ia mulai mengingat hari-hari dimana kedua cucunya sering diperlakukan berbeda. Wanita itu mulai mengerutkan wajahnya tak senang.
"Mana mungkin aku membeda-bedakanmu! Dulu kau bilang tak menyukai belajar jadi Ibu memberimu mainan. Jangan berbicara sembarangan." Ibu tirinya berusaha menepisnya.
"Benarkah ibu tak pernah membeda-bedakan kami?" Nadia memandangnya.
Setelah melihat ibu tirinya mengangguk, Nadia segera masuk ke pelukan neneknya dan terisak. "Nenek, Ibu bilang tak membedakan kami tapi uang bulanan yang kuterima tak pernah sebesar Clara. Ia menerima 500 sedangkan aku hanya 200. Nenek katakan. Apakah aku bukan cucumu? Apakah kalian tak menyukaiku?"Mata berlinangnya menatap wajah nenek. Membuat wanita tua itu berpaling pada menantunya.
"Benarkah? uang bulanan mereka dibedakan?" Nenek yang selalu menjunjung keadilan untuk cucu-cucunya merasa tak senang.
"Itu... Aku tak tau." Ibu tirinya tampak ragu.
Nadia mencibir. Padahal wanita rubah itulah yang sudah memotong uang bulanannya. "Nenek, aku akan menelepon ayah dan menanyakan jatah bulanan kami." dengan cepat Nadia mengeluarkan handphonenya.
"Jangan!" Ibu tirinya sontak berteriak. Membuat Nadia dan Neneknya menoleh.
Ia memang memotong jatah bulanan Nadia karena merasa anak itu tak layak. Bila suaminya tau ia melakukan hal itu tanpa sepengetahuannya, lelaki itu akan marah. Bagaimanapun Rini selalu tampil menjadi ibu penuh kasih yang adil di depan suaminya. Ia tak ingin membuat lelaki itu meragukannya.
"Ibu, ada apa?" Nadia bertanya polos. Ia menyeringai dalam hati.
Ibu tirinya pura-pura teringat sesuatu. "Ibu lupa bahwa uang bulananmu ibu simpan di rekening ibu. Ibu akan mengirimkan sisanya."
"Ibu tunggu. Setauku jatah bulanan kami telah berubah sejak dua bulan lalu. Artinya ibu masih menyimpan uangku sebesar 600 juta. Kirimkan padaku sekarang."
Nenek mengangguk. "Ya. Kirimkan padanya. Jangan menahan uang anak-anak."
Wanita rubah di depannya mulai membuka handphone. Nadia dapat melihat bahwa sebelah tangannya mengepal menahan amarah. Gadis itu tersenyum menghina. Ingin menjebakku? Aku akan menunjukan bagaimana rasanya masuk perangkap sendiri!
Ping
Suara yang merdu terdengar.
Nadia segera melihat handhonenya dan melihat dana masuk ke rekeningnya. Ia menyeringai senang. Masalah kebutuhan dananya untuk investasi awal pada game temannya menemukan solusi. Ia ingin menangis. Menjadi orang kaya benar-benar menyenangkan!.
Nadia melompat dan mencium pipi neneknya. "Terima kasih nenek. Aku akan mandi sebentar dan akan membuatkanmu masakan enak." ia segera berlari ke tangga menuju kamarnya. Nadia merasakan pandangan panas di punggungnya. Ia segera berbalik dan melemparkan senyuman sinis yang menawan pada ibu tirinya.
Wanita itu tercekat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Widi Widurai
bener. biar ga ada yg dapet skalian wjejejejehe
2023-12-12
1