"Aku tidak ikut." Javer meringis, membanting kartunya ke meja dan bersandar, lalu mengusap keningnya dengan frustasi. Setelah tiga jam duduk di meja poker, akhirnya dia kehabisan uang. Sebenarnya, dia kalah sekitar delapan ribu dolar pada putaran malam ini, tapi menilai ekspresinya, aku tahu dia tidak ingin di ingatkan.
"Kau masih lanjut?" Dia berdiri dan mengambil kunci hotel.
"Masih tersisa beberapa putaran lagi." jawabku. "Aku menyusul."
"Mau aku tunggu?" katanya, dengan baik hati menawarkan.
Aku menggelengkan kepala. "Tidak perlu. Aku bisa sendiri, kok."
Javer mengangguk, lalu meninggalkanku di meja poker bersama bandar dan dua pemain lainnya. Ini malam kedua kami di Las Vegas, dan sejauh ini lebih jinak dari malam sebelumnya. Tadi malam kami berpesta sampai jam enam pagi dan aku masih bisa merasakan sisa alkohol mengalir dalam darahku, sementara menenggak soda vodka pada saat yang bersamaan.
Kondisi Javer dan Damien lebih parah dariku. Mereka tidak tahu batas kemampuan diri mereka sendiri dan nyaris mati overdosis. Damien hampir tak bisa bangun dari tempat tidur, sementara Javer, aku harus meyakinkannya berulang kali agar mau menemaniku makan malam dan mampir ke kasino. Kemenangan yang kudapatkan bisa dibilang seimbang dengan pria di sebelahku, tapi aku lebih suka memegang kendali sepenuhnya. Aku harus memenangkan setiap pertandingan, khususnya di kota yang berlumur dosa seperti Las Vegas.
Sebelum babak berikutnya di mulai, seorang pria duduk menggantikan Javer, melempar beberapa chip ke tengah-tengah meja dan bergabung dalam permainan. Aku menolehnya dan mengangguk.
Menang atau kalah, ini akan menjadi putaran terakhirku. Kupikir sudah cukup uang untuk malam ini, dan aku juga sudah lelah. Besok kami ada janji temu dengan seorang penjual senjata, jadi aku ingin benar-benar istirahat karena itulah ini dari perjalanan ini.
Ketika bandar membagi kartu aku merasa sangat percaya diri. Tidak hanya itu, pemain lain juga sudah mulai lemah, dapat terlihat dari wajah dan ekspresi mereka. Satu alasan lain kenapa kau harus menjadi orang yang paling sadar di meja poker.
Setelah beberapa lemparan kartu, aku memegang kartu king, queen, dan sepuluh, lalu muncul jack dan sembilan di tengah meja. Straight. Bukan yang terbaik, bukan pula yang terburuk, dan jika aku bisa membaca ekspresi para idiot itu, mungkin kartuku sudah cukup untuk menambah kemenangan.
Bandar melempar kartu lain ke tengah meja, satu putaran terakhir. Jack lagi. Pria yang duduk berseberangan denganku memasang senyum masam, menahan kartunya persis di depan dada. Sial, aku mengerang. Mungkin kartu jack kedua itu yang dia butuhkan. Seandainya dia memiliki dua jack lagi di tangannya, aku pasti kalah.
Sepanjang malam dia terus mengoceh dan menyombongkan diri, dan aku sudah cukup mendengar omong kosongnya. Aku tidak akan membiarkannya menang.
"Dia cuma menggertak." kata pria di sebelahku.
Aku memutar kepala ke arahnya, menaikkan sebelah alis. Dia tampak sangat yakin dengan kartunya, tapi apakah aku rela mempertaruhkan sepuluh ribu dolar karena pendapat orang asing?
"Menurutmu begitu?"
Dia mengangguk. "Mustahil menurut perhitungan pasti."
"Kau punya satu jack." kataku. Jika tidak, mana mungkin dia seyakin itu. Tidak salah lagi. Lantas, kenapa dia mau membantu?
Dia menggelengkan kepala. "Tidak. Tapi, dia juga tidak punya."
Aku mengatupkan bibir, menarik napas panjang. Kenapa pria ini terlihat tertarik? Dan bagaimana jika dia berbohong? Sebagian dari diriku ingin mundur demi membuatnya kesal, tetapi aku terlalu sombong untuk melakukan itu. Aku akan menemukan cara menghajarnya jika dia mencoba mempermainkanku.
"Aku sudah selesai." katanya, menutup kartu di atas meja, mundur dari permainan.
Sekarang giliran pria berikutnya. Dia meletakkan tangan di atas meja, menunjukkan hanya satu kartu jack. Three of a kind. Tidak cukup untuk mengalahkan kartuku. Aku salah, dan insting teman baruku yang benar.
Aku mengumpulkan kemenangan dan berdiri, mendapatkan hampir tiga puluh ribu dolar hari ini. Saat kami akan meninggalkan meja, aku mengulurkan tangan ke si pria asing. "Aku berhutang mentraktirmu setelah kau membantuku. Aku Orion."
Dia terkekeh. "Tom. Dan, aku tidak mungkin menolak tawaran langka semacam itu."
Kami melangkah ke arah bar, duduk di kursi dan memesan wiski.
"Jadi, apa alasanmu membantuku?" tanyaku, penasaran dengan motifnya. Apakah dia tahu siapa aku dan mencoba menjebakku?
Tom mengangkat bahu. "Sejujurnya, aku hanya ingin melihat bajingan itu kalah. Dia selalu datang kesini dan mengira dirinya tampan. Terlalu sombong, jadi kurasa ada baiknya diberi sedikit pelajaran. Aku tahu kartuku tidak cukup bagus untuk mengalahkannya dan menyadari aku bergantung pada kartumu untuk membuat dompetnya menjerit."
Aku terbahak. "Well, aku tidak akan mendebat itu. Dia memang sangat sombong. Apa kau menghitung kartu atau semacamnya?"
Siapapun Tom, aku sudah menyukainya. Dia masih muda, namun tidak terlihat seperti laki-laki seusianya, dan aku mengapresiasi itu.
"Lebih kepada penggila angka." katanya. "Peluangnya nihil dan aku tahu dia tidak mungkin memegang dua kartu jack sekaligus."
Tidak hanya rendah hati, tapi Tom juga pintar sekaligus. Dia memperhitungkan teori peluang hampir secara spontan, dan keahlian semacam itu bisa sangat berguna untukku. Javer dan aku sedang mempertimbangkan membuka bisnis kasino kami sendiri. Seandainya kami memiliki orang seperti Tom yang bisa membaca peluang, bisnis ini pasti sangat menguntungkan.
"Aku tidak tahu cara kerja hal-hal semacam itu, tapi aku percaya padamu." Aku menyeringai. "Kau bilang kau sering melihat pria itu... Apa kau kerja disini?"
"Semacam itu." gumamnya. "Aku petugas IT, jadi secara tidak langsung, ya. Tapi tempat ini takkan berjalan jika aku tidak ada. Keamanan situs yang dibutuhkan sebuah kasino sungguh luar biasa, dan aku membangun sistem yang hampir tidak bisa ditembus."
"Wow." Aku menyesap wiski. Anak ini jenius. Jika ucapannya benar dan bisa dipertanggungjawabkan, maka dia sangat bernilai untukku. "Kau menyukai pekerjaanmu disini?"
Dia mengangkat bahu. "Tidak, tapi hidup butuh biaya, kan? Sebenarnya aku berasal dari New York, dan ibuku masih tinggal disana. Suatu hari aku akan kembali dan menetap disana, kehidupan di Las Vegas hanya untuk kesenangan sementara."
Aku mengangguk, berharap tidak menyesali hal yang kulakukan berikutnya. Kemampuanku menilai orang lain jarang meleset, dan aku merasa Tom bisa dipercaya. Jika tidak, itu urusan nanti.
"Sebenarnya aku menjalankan bisnis investasi di New York." gumamku. "Dan aku sedang mencari seseorang dengan keahlian sepertimu karena pekerjaanku membutuhkan kebebasan bergerak dan keamanan tingkat tinggi. Bahkan lebih tinggi dari sebuah kasino."
"Tidak ada syarat khusus?" Dia menaikkan alisnya.
Aku mengangguk. "Bagaimana kalau besok kau sarapan bersamaku dan timku agar kita bisa lebih leluasa mengobrol? Siapa tahu kau tertarik."
Aku memberikan kartu namaku pada Tom dan meletakkan beberapa ratus dolar di atas konter untuk si bartender. Aku mengeluarkan sejumlah uang lagi hasil kemenangan malam ini dan menyerahkannya pada Tom.
"Wow." Dia agak malu-malu menerimanya. "Terima kasih."
"Sama-sama." balasku tersenyum. "Kalau kemampuanmu memang sehebat yang kau katakan, kurasa ini akan menjadi awal hubungan yang baik di antara kita. Sampai jumpa besok pagi, Tom."
"Bagaimana, hm? Ada yang aneh?" Aku menyeringai, menyaksikan Javer memusatkan perhatian pada iPad-nya, mengabaikan sepiring makanan di depannya. Dia sudah melakukannya berjam-jam. Sejak aku menceritakan soal teman baruku padanya, dia sangat menggebu-gebu dan berusaha mencari kesalahan anak itu. Tapi, sampai saat ini usahanya sia-sia, dan aku tidak dapat menahan tawa karena sikap keras kepalanya.
"Tidak." Dia menggerutu, menyesap kopi dan meletakkan iPad. "Namun bukan berarti anak itu bersih. Kau sungguh percaya pada laki-laki asing-yang kebetulan memberimu keuntungan di meja judi-untuk bergabung dengan kita? Agaknya terlalu beresiko."
Kemampuan terbaik Javer adalah menganulir resiko yang tidak perlu, dan keputusan semacam ini sangat sulit untuknya, aku tahu itu. Tapi, ada sebagian dari diriku yang percaya pada Tom. Aku merasakannya, dan aku ingin memberinya kesempatan membuktikan ucapannya. Laki-laki seperti Tom punya banyak potensi dan jika aku benar-benar mengangkatnya dari atas lumpur, bukan hanya dia, kami pun akan mendapat manfaatnya.
"Percaya saja padaku, okay? Dia jujur. Aku ingin memberinya kesempatan." kataku mendesak Javer.
"Dengar, aku tidak setuju denganmu." katanya, memutar mata. "Tapi, kalau memang kau begitu yakin padanya, terserah saja. Yang penting, aku sudah mengingatkanmu."
"Bagus." Aku tergelak.
Beberapa menit kemudian, Javer, Damien, dan aku bergabung dengan Tom yang seketika membelalakkan mata seakan dia baru saja menyadari telah masuk ke kandang singa.
"Tom, perkenalkan, Javer dan Damien. Mereka tangan kanan dan kiriku." ucapku, menunjuk dua kurcaci itu.
"Hei, senang berjumpa dengan kalian." Tom terlihat gugup, tapi berniat datang saja sudah menunjukkan keberaniannya.
"Kami berkunjung ke Vegas untuk pertemuan bisnis. Aku seorang investor..."
"Aku tahu siapa kau." kata Tom, memotong ucapanku. "Yah, maaf... tadi malam aku mencari sedikit informasi tentangmu. Karena penasaran, kau tahu?"
Aku tersenyum senang. "Lalu, apa yang kau temukan?"
"Rahasia." Tom menyeringai, sedikit lebih santai. "Apa yang kau inginkan dari seseorang sepertiku? Aku hanya anak miskin dari Bronx, tidak pandai berkelahi, bahkan tidak sanggup memakan ikan yang aku pancing sendiri."
Javer terkekeh, meraba dagunya. "Dan kau terlalu jujur."
Tom mengangkat bahu. "Aku menghargai tawaranmu. Lagi pula, siapa yang tidak akan tertarik jika kau memberikan uang sebanyak itu?" katanya, merujuk pada uang yang kuberikan semalam. "Aku hanya penasaran."
"Aku tidak membutuhkan pria lain yang menyukai kekerasan, Damien sudah menguasai itu. Sementara Javer, meskipun lebih sering menyebalkan, otaknya cukup berguna untuk manajemen. Kau pintar, cepat tanggap, dan sepertinya loyal. Kurasa kau bisa berguna untuk tim kami."
"Dan pengetahuanku soal sistem keamanan..." Tom menyela.
"Tak perlu disebutkan lagi. Aku yakin penelitianmu semalam sudah memberimu cukup gambaran mengenai pekerjaan kami. Dan, ya, kemampuanmu bisa sangat berguna, karena menjaga keamanan informasi merupakan prioritas utama kami."
"Tapi, pertama-tama kau harus membuktikan dirimu." Javer menimpali. "Kau akan menduduki posisi penting, dan kau harus benar-benar tahu dunia seperti apa yang akan kau jalani. Tidak ada jalan keluar yang mudah begitu kau masuk. Terutama karena kau bertugas menjaga informasi sensitif, seperti data-data pengiriman barang."
"Tentu saja." Tom mengangguk. "Sistem keamanan tingkat tinggi sudah menjadi makananku sehari-hari."
"Jadi, bagaimana menurutmu?" Aku menyeringai. "Mau mencoba?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments