Perintahku hanya satu, yaitu membawa jasku pulang dengan selamat.
Setelah si pelukis menumpahkan wine di jasku, aku meletakkannya di atas meja koktail dan lupa mengambilnya saat kami pulang. Sebenarnya aku bisa membiarkannya disana, tapi itu jas kesayanganku. Jadi, aku menyuruh Javer, Tom, dan Damien kembali ke galeri untuk mengambilnya, dan alih-alih mendapatkan jasku, mereka justru membawa pulang seorang wanita pingsan dan babak belur. Di tambah bonus perkelahian dengan salah satu grup musuh kami.
Astaga, seharusnya kubiarkan saja jas itu hilang.
Meskipun wajahnya terluka dan lebam, aku masih bisa mengenali wanita pingsan itu. Dia pelukis yang karyanya kubeli di galeri tadi. Dia mendapat luka yang cukup parah di dahinya dan aku bisa menilai luka itu di akibatkan oleh pukulan gagang pistol. Rambut cokelat gelapnya menyatu dengan darah yang mengering sementara gaun berenda yang dia pakai robek di beberapa bagian.
Tepat sekali anak buahku datang saat orang suruhan Ernesto hendak melecehkan dan menculiknya. Seandainya Javer, Tom, dan Damien terlambat sedikit saja, mereka pasti berhasil membawa si pelukis.
Jujur aku tertarik saat melihatnya tadi, tapi lebih tertarik lagi setelah memperhatikannya terbaring di sofaku sambil memulihkan diri dari serangan mafia, dan aku sama sekali tidak tahu siapa dia atau bagaimana dia bisa terjerat dalam lingkaran Ernesto. Satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah dia bekerja untuk Ernesto. Hanya itu kemungkinannya. Dia pasti satu dari puluhan wanita bayaran Ernesto. Mungkin itulah alasan Ernesto menyuruh orang untuk menyerang dan menculiknya karena dia sudah mengetahui kami akan menggunakan galerinya sebagai pusat pengiriman.
Aku mengusap kening, berpaling dari gadis itu kepada tiga serangkai yang berdiri di hadapanku. Sebagian dari diriku kesal karena mereka ikut campur urusan orang lain, tapi jika membayangkan situasi wanita itu, mereka tidak punya pilihan. Penampilan mereka hanya sedikit lebih kusut dibanding sebelumnya, yang berarti perkelahian di galeri berlalu dengan sangat membosankan.
Javer mendapat luka lebam di bawah mata sebelah kanan, sementara Tom terluka di bibir, tapi mereka lebih terkejut dari apapun. Intinya mereka baik-baik saja, yang artinya kali ini keberuntungan berada di pihak Ernesto. Jika salah satu anak buahku terluka parah, pasti sekarang situasinya akan berbeda.
Ernesto merupakan pemimpin keluarga Haze, dan apa yang dia cari dari wanita pemilik galeri kecil di Manhattan ini benar-benar di luar pengetahuanku. Dia memegang kendali selama bertahun-tahun, dan kemampuannya cukup baik. Kekuatan sindikatnya tak sebanding dengan kami, tapi dia selalu menjadi duri di sisiku. Keberadaan mereka bukan ancaman yang berarti, tapi terkadang cukup mengganggu.
Bisnis Ernesto berputar di lingkaran perdagangan manusia, suatu kategori yang tidak ada dalam garis perputaran uangku dan selama beberapa bulan belakangan aku sangat menantikan waktu yang tepat untuk memberantasnya.
Aku berjalan bolak-balik sambil memikirkan langkah berikutnya. Sidik jari mereka jelas ada dimana-mana, belum lagi timah peluru Tom yang tertinggal di tubuh salah satu penyerang itu. Aku yakin mereka tidak bisa melacaknya, apalagi polisi disini bekerja seperti siput, tapi kami tetap harus hati-hati.
"Aku ingin mendengarkan penjelasan kalian."
Javer, tangan kananku, berbicara lebih dulu. "Kami kembali untuk mengambil jasmu. Saat kami tiba disana pintu depan galeri tidak terkunci dan tiba-tiba terdengar suara teriakan wanita. Ketika aku masuk salah satu orang Ernesto sedang membungkuk di atas wanita itu. Dia berusaha melawan, namun tenaganya tentu tidak sebanding dengan si pria." Javer melirik si pelukis sekilas. "Kemudian pria itu merobek pakaiannya dan memukulnya gagang pistol yang membuat kepalanya terluka. Aku sudah menyuruhnya melepaskan wanita ini tapi dia tidak mau. Aku yakin dia mengenal kami dan sengaja ingin membunuh wanita ini untuk memancing kita."
Pandanganku beralih ke si pelukis yang masih berbaring lemas di sofa. Penampilannya tidak tampak seperti wanita malam, tidak ada bekas luka atau tanda pengikat. Yang lebih mengejutkan, dia tidak memiliki tato unik yang ada pada setiap wanita yang berada di bawah kekuasaan Ernesto. Apakah mungkin Ernesto baru merekrutnya khusus untuk pekerjaan ini? Aku memutar kepala menghadap Javer yang kini duduk di pinggir sofa.
"Dia tidak mau mundur, jadi aku menembaknya." Tom menyambar dengan bangga. Dia yang terakhir bergabung dengan tiga serangkai ini, selalu berhasrat untuk membuktikan kemampuannya. Dalam pikiran Tom, membunuh seorang musuh adalah salah satu caranya.
Namun, jika aku yang di hadapkan dalam posisi seperti itu, aku tidak akan menembaknya karena itu terlalu mudah. Aku lebih memilih membawanya ke ruang bawah tanah untuk disiksa selama berhari-hari. Mencabut giginya satu-persatu dan membuatnya menelan gigi-gigi itu. Menyulut kulitnya dengan rokok lalu memotong tubuhnya sedikit demi sedikit menjadi seukuran umpan ikan. Setelah itu, aku akan melemparnya ke kandang anjing yang sengaja kubiarkan kelaparan.
Dalam kamusku, kekerasan terhadap wanita tidak bisa di toleransi. Para wanita yang bekerja untukku selalu diperlakukan dengan baik, tidak ada paksaan. Mereka boleh keluar-masuk sesuka hati karena kami tidak pernah mengikat mereka.
"Dimana kau ketika kekacauan ini terjadi?" tanyaku pada Damien.
"Aku menunggu di mobil, namun begitu mendengar suara tembakan aku langsung bergegas ke galeri dan berpapasan dengan si putri tidur." Damien mendorong dagu ke arah si pelukis.
Ah, dia memang putri tidur. Wanita itu sama sekali belum bergerak sejak mereka membaringkannya di sofa. Aku bahkan harus memeriksa apakah dia masih bernapas atau tidak. "Dan kau memberinya obat bius dengan dosis yang sama untuk menumbangkan seekor gajah?"
"Itu satu-satunya jalan agar dia tenang atau mau mendengarkan kami." balas Damien membela diri. "Dia melihat langsung Tom membunuh seseorang, aku tidak mau mengambil resiko melepaskannya dan melapor ke polisi."
Damien punya alasan yang kuat. Jika si putri tidur berkeliaran di luar sana, kami tidak akan memiliki kesempatan untuk menutupi kasus ini dan tidak pula ada petunjuk kenapa Ernesto mengincarnya.
Aku melipat tangan di dada, berpikir keras. "Apakah pembersihan sudah dilakukan?"
Javer mengangguk. "Kami mengambil beberapa lukisan agar kejadian ini terlihat seperti kasus perampokan biasa, meninggalkan dua mayat untuk membuat polisi mengira mereka bertengkar karena salah satunya terlalu serakah."
Javer yang memiliki ide untuk menjadikan galeri sebagai kedok untuk mengimpor produk kami. Setiap minggu ada ribuan suku cadang senjata yang kami kirim, dan bisa dipastikan bisnis akan berkembang pesat jika kami bisa mendistribusikannya ke pasar yang sudah ada. Produk seni keluar-masuk dengan bebas di amerika, dan akan sangat memudahkan seandainya produk kami juga bisa menyusup di garis itu. Aman, bebas, tanpa ada kecurigaan.
Aku menarik napas panjang, mengusap rahang. "Apakah ada informasi dari mana Ernesto tahu soal kehadiran kita di galeri malam ini?"
Javer melirik Tom, menjawab dengan ragu. "Kupikir ini tidak ada hubungannya dengan kita, Orion."
Tom bahkan belum sempat mengutarakan pendapatnya ketika aku tertawa keras. "Maksudmu dua kelompok mafia bertemu di tempat yang sama dan pada waktu yang sama pula hanyalah sebuah kebetulan?"
Sepanjang karirku bekerja di industri ini, tidak satupun kejadian yang membuatku percaya pada 'kebetulan'.
"Tidak. Kupikir mereka memang mengincarnya."
Tentu saja, tetapi mengapa mereka rela bertindak bodoh demi gadis ini? Ernesto punya lusinan gadis di penangkarannya, dan meskipun salah satu dari mereka kabur, dia tidak akan repot-repot mencarinya. Aku mengenal Ernesto dengan sangat baik, dia ceroboh namun dia tidak akan melakukan kesalahan dengan mengirim orang-orang amatir untuk membuat keributan semacam ini.
"Siapa namanya?" tanyaku, menunjuk si putri tidur.
"Millie." jawab Javer. "Millie Peterson."
Dengan rambut dan mata berwarna cokelat, dia jauh dari kategori yang disukai Ernesto. Ernesto menggilai wanita berambut pirang dan mata sebiru lautan. Kebanyakan dari wanita itu di kurung sampai tak berdaya karena terlalu lama dalam kendali Ernesto. Lelah dan nyaris mati.
Millie tidak tampak seperti itu saat aku melihatnya di galeri. Riang, penuh semangat, dan agak pemalu. Ada seberkas kecerahan memancar dari matanya yang belum tergores oleh dunia mafia. Dia berbeda, dan pasti sangat istimewa bagi Ernesto. "Apa yang dia inginkan darimu, tesoro?" bisikku sambil membungkuk.
Bercak darah yang sudah kering menempel di pipinya, dan luka di keningnya harus segera dibersihkan dan diobati. Gaunnya yang robek nyaris mempertontonkan seluruh tubuhnya, dan tatapanku turun ke bagian rusuknya yang juga ternyata lebam. Namun meski keadaannya sangat berantakan, dia tetap terlihat mempesona.
Aku duduk di tepi sofa, membuka kancing kemejaku sambil membayangkan ekspresinya yang menggemaskan ketika berbicara denganku di galeri. Kemudian, pelan-pelan aku membuka gaunnya.
"Orion, apa yang kau lakukan..." tanya Javer, bingung melihat tindakanku.
Aku tak mengatakan apapun selama beberapa menit, terpana pada gadis di hadapanku. Tidak hanya sekedar cantik, dia juga membuatku penasaran setengah mati. Apapun yang dia sembunyikan, dari manapun dia berasal, aku harus mengetahuinya. Aku tidak suka teka-teki tak terpecahkan, dan begitulah Millie bagiku.
"Aku ingin menutupi tubuhnya, dia berbaring nyaris tanpa busana. Ada yang salah dengan itu?" kataku menghardik Javer.
Aku mengangkat Millie dengan pelan, memasukkan lengannya ke lengan kemejaku satu persatu sampai bagian atas tubuh hingga ke pahanya tertutup dengan baik. Seolah berterima kasih, dia mendesah sebelum tertidur pulas lagi.
Javer berderap dan kembali membawa handuk basah, membersihkan luka dan bercak darah di pipi Millie dengan lembut. Dia menarik napas dalam-dalam. "Mereka benar-benar membuatnya babak belur."
Aku mengangguk setuju. Para bajingan itu tidak tahu apa yang sedang mereka hadapi. Sungguh suatu kesenangan besar bagi kami untuk melayani tantangan Ernesto.
"Lukanya harus di jahit." gumam Javer. "Aku akan melakukannya selagi dia tidur."
Javer berdiri, memberi isyarat kepada Tom dan Damien yang langsung mengikutunya.
"Javer." kataku sebelum mereka menghilang. "Kumpul semua infomasi tentangnya, apapun itu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments