Aku bergegas pergi sebelum Millie bangun, pelan-pelan beringsut dari ranjang agar tidak mengganggu istirahatnya. Dia baru tidur beberapa jam, dan aku tahu tubuhnya sangat membutuhkan itu.
Sementara aku, di sisi lain, tak punya banyak waktu untuk bersantai. Aku yakin pasti menemukan sesuatu yang penting dalam masalah ini jika terus berusaha. Dan sampai itu terjadi, baik Millie maupun aku belum bisa dikatakan aman.
Aku merasa seperti bermimpi ketika dia terlelap dalam dekapanku, semacam mimpi yang tak pernah hadir dalam hidupku. Aku terlalu mendedikasikan hidup kepada pekerjaan sehingga tak sempat memikirkan hubungan jangka panjang dengan seorang wanita, apalagi menikah.
Secara tradisional, wanita memiliki peran spesifik dalam dunia mafia, dan peran itu adalah melahirkan anak sebanyak-banyaknya demi menjaga warisan keluarga yang sudah ada sejak dulu bahkan jauh sebelum mereka lahir. Wanita merupakan penawar, umpan, dan objek yang bisa kau gunakan sampai usang dan kemudian diganti dengan yang lebih muda, lebih segar. Aku melihat hal semacam itu terjadi pada ibuku, dan bersumpah tidak akan pernah menjadi bagian dari golongan pria yang merendahkan wanita. Ayahku menduduki posisi yang sangat dihormati dalam mafia, tapi di rumah dia hanya seorang bajingan kasar dan menjijikkan. Aku tidak mau mengikuti jejaknya dan tersungkur di lubang yang sama. Itulah kenapa aku nyaris tidak pernah memikirkan kehidupan pribadi dengan wanita, terutama jika berujung pada kelahiran seorang anak.
Aku cukup puas menyaksikan para wanita berkeliaran di klubku, dengan sukarela dan tergesa-gesa menyerahkan diri padaku. Sifatku lebih cenderung bebas, tanpa ikatan, makanya aku terkejut begitu menemukan kenyamanan ketika berbaring di sebelah Millie semalam. Aroma buah dari rambutnya menempel di bantalku, dan kasurku menekuk mengikuti lekuk tubuhnya. Dia yang kecil namun terasa sangat pas di pelukanku seolah kami memang diciptakan untuk saling melengkapi. Dan aku hampir terjaga sepanjang malam karena mengagumi perasaan yang begitu baru untukku.
Aku sangat sadar bahwa semakin banyak waktu yang kuhabiskan bersama Millie, semakin jauh pula aku terjebak dalam jeratan kecantikan dan auranya. Situasi terlalu bahaya bagi Millie jika aku membiarkannya, dan lebih berbahaya bagiku jika aku menahannya. Dia memantik api asmara yang tak kusadari ada dalam diriku selama ini, sisi yang menginginkan kehidupan normalnya. Kehidupan yang lurus dan membosankan. Sisi yang tidak keberatan bekerja di siang hari agar bisa pulang dan melalui malam bersamanya.
Tetapi, aku bukan tipikal pria semacam itu. Kami memiliki garis hidup masing-masing, dan lebih baik tetap seperti itu. Demi Tuhan, aku paham betapa banyak perbedaan di antara kami, namun itu tidak cukup untuk menepis hasrat membara yang kurasakan terkait Millie. Mungkin inilah arti dari pepatah 'kau tak bisa memiliki semua yang kau inginkan.'
Beruntung, banyaknya pekerjaan yang menunggu saat ini bisa kujadikan pengalihan, dan aku memulainya dengan melangkah ke kantor. Tom dan Javer sudah berada di dalam, melempar panahan ke papan yang menempel pada daun pintu, hampir mengenai mataku ketika aku membukanya.
"Apa kalian tidak tahu cara tidur?" Aku mengerang, mencabut panahan dari papan dan melemparkannya ke arah Tom. "Omong-omong, bidikanmu sangat buruk."
"Aku baru saja ingin bertanya padamu," kata Javer. "Tom bilang ada sedikit masalah kemarin, kenapa kau tidak meneleponku?" Jam bahkan belum menunjukkan angka delapan dan Javer sudah memulai ceramahnya.
"Tidak ada masalah, kok." Aku duduk di kursi, menarik napas berat. "Millie mengalami mimpi buruk dan aku menemaninya tidur."
Javer memandangku dengan tatapan usil. "Sebelum atau sesudah menidurinya?"
"Aku tidak menidurinya! Kami sama-sama lelah, terima kasih banyak."
"Kau mengira aku percaya pada seorang Orion Alano, yang tidak menginginkan romantisme, hanya tidur bersebelahan dengan seorang wanita tanpa menidurinya?" Javer sungguh memancing amarahku.
"Kau pikir aku tidak bisa menahan diri?" Aku menggeram, tidak terima dengan tuduhannya. "Dia mengalami kejadian yang buruk dan sangat ketakutan. Dan kau mengira aku mau mengambil kesempatan menggodanya ketika dia berada dalam posisi terpuruk?"
Javer menyeringai, mengabaikanku. "Aku hanya ingin membuktikan pendapatku, Orion. Dan kau baru saja menyetujuinya. Ini bukan sekedar upaya melindungi, kau sungguh peduli padanya." Aku tidak bisa mendebat yang satu ini.
"Dan kenapa kalau memang benar itu alasannya?" Apakah itu buruk? Aku selalu mengutamakan pekerjaan, apakah salah jika sekali saja pikiranku berbelok arah?
"Hei, aku pikir itu hal yang bagus." Tom menimpali.
"Diamlah, Tom!" bentak Javer dan aku bersamaan.
"Kalau kalian sudah puas meledekku, bisakah kita lanjutkan pekerjaan?" Aku menggigit roti lapis yang sudah termakan setengah. "Kuharap ada sesuatu yang kalian dapatkan semalaman ini."
"Aku sudah menunggumu bertanya." kata Javer. "Kita berhutang banyak pada Tom dalam penemuan ini. Dia membantuku menggabungkan kepingan misteri yang..."
"Bisakah langsung ke intinya saja?" gerutuku kesal.
"Yah, aku menemukan beberapa hal penting." Tom melanjutkan. "Saat aku meninggalkan kalian tadi malam, aku memeriksa ponselnya siapa tahu ada sesuatu yang kita lewatkan. Ponsel baru yang kau berikan padanya setelah..." Aku menggoyangkan tangan, menyuruhnya lebih cepat. "Well, aku menemukan penyadap di ponselnya. Dua sekaligus."
Aku membelalakkan mata. "Dua?"
Dia mengangguk. "Satu mengarah pada Ernesto, yang menjelaskan dari mana mereka tahu dia sedang berada restoran."
"Dan satu lagi?"
"Inilah yang menarik." Javer tersenyum. "Yang satunya di pasang oleh seseorang dari grup kita. Orang ini menyadap ponsel Millie selama dua belas tahun. Sejak pertama kali dia membuat akun pribadi."
Semua yang baru dijelaskan Javer dan Tom tersusun rapi di kertas yang terbentang di atas mejaku. Aku memperhatikan nomornya dengan seksama, mencoba mencerna informasi aneh ini. Pasti ada kesalahpahaman. Bukankah seharusnya aku tahu jika salah satu orang kami mengincarnya? Bahkan selama dua belas tahun? "Bagaimana bisa?"
"Kami pun sama terkejutnya denganmu. Aku pikir sepertinya orang itu bukan anak buahmu karena kita melakukan pemeriksaan data rutin setiap minggu, dan bisa dipastikan sumbernya berada di luar Amerika."
"Berarti di Italia?" tanyaku. Ini hanya menimbulkan lebih banyak pertanyaan.
"Yep, persis sekali." Javer mengangguk.
Aku mencengkeram rambut, merasa putus asa. "Apakah Alonzo tahu soal ini?"
"Orion... Alonzo-lah yang menaruh penyadap di ponsel Millie." kata Javer ragu-ragu.
Alonzo Gasparo merupakan Don yang memimpin keseluruhan organisasi kami. Selama berpuluh-puluh tahun dia mendominasi dunia kriminal, membawa organisasi kami ke posisi tertinggi dalam sejarah mafia Italia. Dia tak kenal ampun dan penuh perhitungan, dan tidak seorang pun di dunia ini bisa memanipulasi orang lain seperti Alonzo. Setiap keputusan yang dia ambil harus memberinya keuntungan secara pribadi. Dia pemimpin yang kuat, disegani, tapi masanya berakhir ketika kita-kira lima tahun yang lalu dia mendadak memutuskan pensiun dan menyerahkan posisinya padaku, mengacuhkan kedua putranya.
Javer dan aku tumbuh besar bersama kedua putra Alonzo di Italia, tempat dimana kami dilahirkan dan dilatih menjadi pemimpin organisasi di masa depan. Alonzo dan ayahku membutuhkan waktu bertahun-tahun melatih dan menggembleng sampai kami menemukan posisi masing-masing dalam hirarki. Kurasa mereka berpikir aku yang paling menjanjikan, karena mereka mendidikku lebih keras dibanding yang lain, sejak awal memilihku sebagai pemegang masa depan keluarga.
Untuk sekarang, Alonzo masih bertanggungjawab mengurus bisnis di Italia, tapi tidak akan lama lagi sebelum aku mendapatkan seluruhnya.
"Demi Tuhan!" kataku, memukul meja. "Kenapa lebih banyak pertanyaan dari pada jawaban terkait gadis ini? Apakah Alonzo juga mengejarnya?"
"Entahlah." jawab Javer, mengangkat bahu. "Anggap saja begitu, lantas kenapa dia harus mengawasinya selama dua belas tahun? Bukankah banyak kesempatan jika dia ingin mencelakai Millie?"
Seandainya Alonzo menginginkan Millie, dia pasti sudah mendapatkannya sejak dulu. Dan jika Alonzo mengawasi Millie selama dua belas tahun, berarti saat itu usianya juga dua belas tahun. Apa yang dia cari dari seorang gadis kecil Amerika?
Jutaan pertanyaan memenuhi kepalaku, tapi aku tidak tahu bagaimana menyuarakannya. Fakta Ernesto dan Alonzo tertarik pada orang yang sama agak masuk akal, terutama mengingat sejarah bahwa Ernesto telah membunuh istri dan putri kandung Alonzo bertahun-tahun lalu. Kata dendam tidaklah cukup menggambarkan permusuhan di antara keduanya. Kebencian Alonzo terhadap Ernesto sudah mendarah daging, dan anehnya dia masih membiarkan Ernesto hidup bebas sampai hari ini. Mungkin Ernesto tahu Alonzo menginginkan Millie karena suatu alasan, dan dia sengaja menyelinap di antara mereka. Apapun penyebabnya, aku harus bicara langsung dengan Alonzo.
"Kupikir aku harus ke Italia."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments