Living The Underworld
Untuk yang memilih buku ini, terimakasih. Saya usahakan update setiap hari. Jangan lupa like, ya. Komentar juga boleh, tapi jangan ke aku. Komentari karakternya aja✌️🙏🖤
![](contribute/fiction/7872545/markdown/21004989/1701347326334.png)
Tanda tangani.
Cukup tanda tangani kertasnya!
"Ini sempurna, Millie. Aku bisa membayangkan lukisan ini menggantung di ruang makan rumahku." kata Mr. DeLuca, mengabaikan bolpen yang kusodorkan dan mengeluarkan bolpennya sendiri.
Cepat, tanda tangani!
Dari tempat dudukku, aku mencoba memerintah bolpennya melalui pikiran agar bergerak. Kesepakatan sudah dicapai, dan yang kubutuhkan hanya satu tanda tangan saja. Ini akan selesai seandainya dia mencoret kertas yang dia pegang.
Sejak memutuskan untuk mengembangkan bisnis dan membuka galeri, lukisan ini akan menjadi penjualan pertama dari hasil karyaku sendiri. Sejauh ini kami masih bertahan tanpa keuntungan, hanya bantuan para seniman dan fotografer yang kami sewa, tapi yang satu ini benar-benar milikku. Bagiku ini bukan hanya sekedar keberhasilan menjual karya, namun lebih kepada validasi bahwa aku sudah menentukan pilihan yang tepat. Bahwa melompat untuk mengejar mimpiku adalah hal yang benar, di luar protes dari orang-orang penting di hidupku. Ini membuktikan aku bisa, dan karyaku akan di terima. Dan mungkin... mungkin aku memang handal di bidang ini.
Lukisan yang akan di beli Mr. DeLuca menurutku agak kekanakan, dan meskipun aku menginginkan keberhasilan penjualan ini, tetap saja agak sulit bagiku melepaskannya. Aku bekerja selama berbulan-bulan untuk memoles dan memoles lagi. Namun, entah kenapa aku merasa lukisan itu tidak pernah selesai. Bahkan, walaupun saat ini dia menggantung indah di galeri, aku masih merasa ada yang janggal. Di tambah lagi, ini bukan karya terbaikku, dan itulah yang membuatku terkejut saat Mr. DeLuca mengatakan ingin membelinya seharga tiga belas ribu dolar.
Napasku tersekat saat dia menggerakkan tangan, menggores bagian bawah kertas, dan dengan begitu saja lukisan itu jatuh kepadanya.
Aku berhasil! Aku menjual karya pertamaku!
"Nah, Millie, aku yakin ini takkan menjadi kesepakatan terakhir kita. Aku tidak sabar menantikan apa yang bisa kau tawarkan berikutnya padaku. Siapa tahu aku akan menjadi langganan tetap untuk hasil karyamu yang lain." Dia mengedipkan mata, lalu mengulurkan cek padaku.
Tiga belas ribu dolar!
Tanganku nyaris gemetar saat aku menerima cek dari Mr. DeLuca. Belum pernah aku mendapatkan uang sebanyak ini sebelumnya. Bahkan ketika aku menyelesaikan program sarjana di bidang seni, baik ibuku maupun aku tak pernah mengira aku akan memiliki karir dengan pemasukan sebesar ini. Rasanya sungguh seperti mimpi, dan aku masih menunggu seseorang untuk menghambur lalu mengatakan ini hanya jebakan.
Mencoba bersikap profesional, aku memberi senyum percaya diri pada Mr. DeLuca sebelum berdiri dan merapikan gaun.
"Aku senang kau bisa membawanya pulang, Mr. DeLuca. Suatu kehormatan bisa bekerja sama denganmu."
Beberapa bulan belakangan hubunganku dengannya semakin akrab. Mr. DeLuca rutin mengunjungi galeri dan dengan serius mempelajari makna dari setiap lukisan yang terpajang. Dia mengapresiasi segala macam karya, tapi entah kenapa hanya lukisanku yang kerap menarik perhatiannya. Setiap kali Mr. DeLuca datang, dia selalu melihat apa yang sedang kukerjakan. Kebanyakan pembeli tak mau tahu kisah di balik sebuah karya, tapi sepertinya itulah yang paling disukai Mr. DeLuca. Dan sebagai kolektor seni, ketertarikannya pada karyaku membuatku sangat bangga.
"Aku juga senang bekerja sama denganmu, dan aku menghargai setiap waktu yang kau habiskan untukku." katanya. "Sekarang, kau boleh melanjutkan petualangan, Millie. Karena sepertinya aku bukan satu-satunya orang disini yang mengagumi lukisanmu."
Aku mengangguk, lalu menarik diri darinya.
Malam ini berbeda dari malam-malam biasanya karena kami mengeluarkan beberapa lukisan baru dan spesial yang menarik perhatian pengunjung di malam peresmian galeri. Suara piano mengalun lembut dari seorang pianis muda berbakat, para pelayan berkeliling membawa gelas-gelas berisi sampanye, wine, dan tequila di atas nampan, sementara beberapa seniman lokal berbincang dengan klien potensial, dan sejauh ini semuanya berjalan lancar.
Kegiatan semacam inilah yang muncul di benakku saat aku berniat untuk menyewa galeri, dan menyaksikannya secara langsung bahkan lebih memuaskan.
Sahabat sekaligus rekan kerjaku, Owen, sibuk berpindah dari satu ke kelompok ke lain, memberikan brosur sambil menjawab pertanyaan mereka. Energinya menular, dan Owen memiliki kemampuan untuk membuat siapapun tertarik dengan apa yang dia tawarkan. Bisnis kami berkembang pesat hanya dalam hitungan bulan, dan jika segalanya berjalan seperti yang direncanakan, kami akan menjadi salah satu pemilik galeri terbesar di New York. Owen dan aku memulai dari bawah, itulah kenapa aku sulit percaya pada apa yang terjadi malam ini.
Aku bertemu Owen saat kuliah di salah satu kampus di California. Secara penampilan maupun kepribadian, kami sangat jauh berbeda. Owen dengan rambut pirang dan mata biru, tingkahnya aneh dan unik, memilih jurusan seni karena tidak banyak mata kuliah sains disana. Dia hanya berpegangan pada apa yang dia sukai dan tidak akan paham soal konsep rencana sekalipun aku menghantam kepalanya dengan itu. Sementara di sisi lain, aku hidup dan mati penuh perencanaan, dan terobsesi pada kegiatan melukis sejak kecil. Owen yang impulsif dan aku yang senantiasa memikirkan konsekuensi. Kami tim yang bagus. Jadi, tidak ada kesulitan ketika membahas tentang pembukaan galeri di New York.
Namun, tidak ada juga yang mudah. New York kota besar, keras, dan tak bisa di tebak, terutama di bidang industri seni. Minggu-minggu awal pembukaan, bisa di bilang kami tidak memiliki pengunjung, dan dengan melonjaknya nilai sewa gedung, kami bahkan nyaris tak bisa membuka galeri. Beruntung kami bisa melewati masa-masa itu.
Aku tersentak saat tiba-tiba Owen datang entah dari mana, menghambur dan memelukku erat, hampir mematahkan leherku. "Ya Tuhan, Millie! Kau berhasil! Lukisan pertamamu terjual!"
"Bisakah kau percaya itu?" Aku tak dapat menahan senyum. Ini merupakan mimpiku seumur hidup. "Rasanya mustahil sekali. Kupikir aku akan terkena serangan jantung saat Mr. DeLuca menandatangani ceknya."
"Yah, ini baru permulaan. Sebaiknya kau bersiap untuk terbiasa." Owen menyeringai, meraih dua gelas kecil dari nampan dan memberikan segelas padaku.
"Apa ini sampanye?" tanyaku ketika mencium aroma yang lebih kuat.
"Astaga, tidak!" Dia mendengus. "Ini tequila. Tapi aku bisa membawakan sampanye khusus untukmu."
"Kurasa ini bukan ide bagus."
"Tequila tak pernah salah, Millie." Owen memutar mata.
Ketika pelayan lain lewat, aku mengganti tequila dengan segelas wine dari nampannya. "Aku ingin tetap sadar sampai acaranya selesai." kataku.
"Baiklah," dengus Owen pasrah. "Tapi setelah ini kita harus merayakan keberhasilanmu."
Owen menghilang secepat dia datang, sementara aku berdiri di bagian belakang galeri sembari memperhatikan kerumunan pengunjung. Ada beberapa wajah yang kukenal, tapi sebagian besar merupakan pengunjung baru. Kemudian, pintu depan terbuka dan udara kering musim gugur New York menerobos masuk. Aku menoleh, mendapati empat orang pria berjalan ke dalam.
Kedatangan mereka sontak menarik perhatian orang-orang, ada yang melirik sambil tersenyum genit, bahkan ada yang tanpa ragu meraung dan memuji ke empat pria itu. Segalanya tentang mereka terasa mengintimidasi, dari rambut hitam gelap, tato di leher dan tangan, sampai beratnya udara yang mereka bawa, bahkan jas yang melekat sempurna di tubuh mereka pun bisa dibilang terlalu mewah berada di tempat ini.
Salah satu dari pria itu tampak seperti pemimpin di antara mereka, berjalan penuh percaya diri. Dia menyadari orang memperhatikannya seakan itu hal biasa, dan tak membuatnya terganggu sama sekali. Faktanya, dia justru menikmatinya. Ketiga temannya terus mengekor sebelum pada akhirnya memilih jalan sendiri-sendiri.
Si pemimpin berdiri membelakangiku, fokus memperhatikan salah satu lukisanku selama beberapa menit. Sesaat kukira aku bisa menjawab pertanyaan untuknya, tapi mendadak Owen muncul lagi.
"Itu Orion Alano." Dia menunjuk dari balik bahuku ke arah si pria pemimpin. "Dia merupakan salah satu investor properti terbesar di New York. Lihat, penampilannya saja seperti Hercules."
"Maksudmu, film kartun itu?" gumamku menahan tawa, mengangkat gelas wine ke bibir. Owen terkesiap, menepuk keras pundakku. "Kenapa kau tidak kesana dan memberinya brosur?"
"Tepat sekali." Owen sudah menunggu kesempatan untuk berbicara dengan salah satu dari mereka dan aku baru saja memberikannya.
Aku meneguk wine lagi, menikmati pertunjukan selagi Owen memperkenalkan diri, mengulurkan brosur kepada si pemimpin sementara satu-persatu temannya berdatangan. Owen berbicara secepat kilat, menunjuk setiap lukisan di galeri sebelum mengarah padaku.
Mataku beradu pandang dengan si pemimpin. Ini pertama kali aku bisa melihatnya dengan jelas, dan seketika aku terpaku. Warna matanya sama gelap dengan rambutnya, dan tatapannya seakan menusukku. Bahkan dari seberang ruangan sekalipun aku aku bisa merasakan ketajamannya, sejenak pria itu membuatku tersipu. Kenapa dia terlihat seolah sedang marah padaku?
Mencoba lari dari momen menegangkan itu, aku berbalik ke arah sekumpulan wanita dan berbaur dengan mereka.
"Oh, Millie! Ini sangat luar biasa." kata seorang pengunjung setia galeri saat aku mendekat.
"Benarkah begitu, Mrs. Roy? Ini karya salah seorang pelukis baru kami. Dia sangat..." Aku berhenti ketika merasakan tepukan di pundak, dan mendapati Owen sudah berdiri di belakangku.
"Millie, lihat pria di sebelah sana. Mereka tertarik dengan lukisanmu." kata Owen dengan nada antusias. Dia berpindah di antara Mrs. Roy dan aku, tak memberiku pilihan sama sekali. "Dengan senang hati aku akan menjelaskan tentang lukisan ini padamu, Mrs. Roy."
Dengan ragu-ragu, perlahan aku melangkah ke arah pria yang di maksud Owen.
Orion Alano. Yang kutahu soal pria ini hanya informasi singkat dari Owen. Dan kenapa dia bisa tersesat di galeri kami sekaligus tertarik pada lukisanku, merupakan sebuah misteri besar.
Begitu tiba di dekatnya, dia masih berdiri dengan posisi yang sama, menghadap lukisan.
"Hai." sapaku, menyentuh pelan pundaknya untuk memberitahu kedatanganku.
Tapi ternyata aku salah. Dia berbalik dengan cepat, menjauhkan diri dan meletakkan sebelah tangan di pinggang. Apa itu pistol? Gerakannya yang tiba-tiba membuatku terlonjak, sehingga tanpa sengaja gelas wine di gengamanku terjatuh dan menciptakan genangan merah di antara kami.
"Sial!" Dia mendengus. Dia membuka jas sebelum percikan wine mengenai kemejanya.
"Orion?" kata seorang temannya.
"Aku baik-baik saja, Javer." jawabnya, mengangkat tangan, menghentikan apapun yang akan dilakukan temannya.
"Maaf, aku tidak bermaksud mengejutkanmu. Sini biar kubantu." Aku mencoba meraih jasnya.
"Sudah kubilang aku baik-baik saja!" Dia meletakkan jas itu di meja koktail di sampingnya. Sementara dia menggulung lengan kemeja, beberapa tato menarik mengintip dari balik sana.
Entah apa yang salah denganku malam ini, tapi aku tak bisa berhenti memperhatikan pria itu. Otot lengannya yang kokoh mengancam tampak siap merobek kemejanya yang tidak terkancing penuh. Rahangnya keras dan tajam mempesona. Aksen Italia tipis terdengar dari suaranya yang serak, berat, dan dalam.
Dia menyeringai, menangkapku sedang memandanginya. Ada keanehan dari senyumnya yang membuatku tak yakin apakah dia ingin mencium atau justru membunuhku.
"Apa kau pelukisnya?" tanyanya, menunjuk lukisan.
"Uh, aku.. mmm." Ada apa denganmu, Millie? Apa kau tidak bisa bicara?
"Lukisan ini, apa ini milikmu?" tanyanya sekali lagi, kali ini dengan nada tak sabar.
"Ya, aku pelukisnya." jawabku pada akhirnya. Pipiku terasa panas menahan malu. Ini benar-benar malapetaka. "Namaku Millie. Senang berjumpa..."
"Apa kau pernah kesana?" potongnya dengan tajam.
"Oh, tidak, itu bukan tempat nyata. Hanya muncul begitu saja di pikiranku."
Dia mengamatiku lekat-lekat, menilai apakah aku jujur atau tidak. "Aku mau lukisan ini." desisnya, beralih menghadap lukisan itu lagi.
"Kau apa?" Apakah ini nyata?
"Selesaikan urusan dengannya." gumamnya pada Javer. "Aku menunggu di mobil." Dia mulai melangkah ke pintu depan tanpa menolehku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments