Ini palu Thor! Tidak salah lagi.
Pasti palu Thor yang menghantam kepalaku saat ini. Tak ada alasan masuk akal mengapa kepalaku bisa sesakit ini, atau telingaku terus-menerus berdengung. Aku mencoba bergerak dan seketika langsung menyesalinya. Rasa sakitnya tidak hanya di kepala, tapi menjalar dengan cepat ke sekujur tubuhku.
Berapa botol wine yang aku minum semalam? Tak banyak yang bisa kuingat soal kejadian di galeri dan setahuku aku hanya meminum tiga gelas wine. Hal terakhir yang muncul di benakku adalah cek pembayaran lukisan dengan nominal fantastis dari seorang pria misterius. Oh, dan wajah tampan pria lain yang merupakan bosnya. Dan aku ingat berencana menelepon orangtuaku setelah pameran selesai, yang akhirnya tidak jadi.
Orangtuaku. Hm, secara teknis Dave bukan ayah kandungku, namun aku tak pernah menganggapnya seperti itu. Aku baru berumur lima tahun ketika dia pindah ke kota kami, enam tahun saat dia melamar ibuku, lalu mereka menikah di tahun berikutnya dan sejak saat itu Dave selalu bersama kami. Aku bersyukur mom bertemu dengan Dave, dan sangat beruntung bisa memiliki ayah tiri sepertinya.
Dave membesarkan dan menjagaku seperti anak kandungnya sendiri dan kami memiliki hubungan ayah-anak yang sempurna. Dia menghadiri setiap pertemuan orang tua di sekolahku, memeriksa monster di bawah tempat tidurku, tak pernah lelah membacakan dongeng, dan tetap memberi pujian meski aku mencoret-coret dinding dengan krayon. Aku tidak akan meminta sosok ayah yang lain selain Gabe.
Aku membuka mata pelan-pelan, mengerang karena rasa sakit yang tak biasa. Penglihatanku kabur dan pancaran cahaya samar mengirimkan rasa sakit yang membakar di kepalaku. Tubuhku terasa berat, aku bahkan harus mengeluarkan seluruh energi untuk memfokuskan pandangan dan melihat kipas angin berputar di langit-langit kamar. Atau ruangan?
Aku tidak menyadari bergerak merupakan tindakan mematikan sampai detik ini dimana perutku terasa seolah tercabik-cabik. Tunggu, ini bukan kamarku, bukan pula rumahku, dan aku tidak tahu dimana aku berada. Apa ini hotel? Karena penampakannya seperti itu.
Tidak ada foto atau barang-barang pribadi yang merujuk pada seseorang. Semuanya tertata rapi, dan jika ada orang yang tinggal disini sudah pasti dia manusia paling bersih yang pernah ada di muka bumi. Gelapnya ruangan karena tertutup tirai membuatku kesulitan menebak waktu, tapi pada saat yang bersamaan sangat membantu mengurangi rasa sakit di kepalaku.
Aku melihat ranjang besar di tengah-tengah ruangan, masih rapi seolah belum tersentuh sama sekali. Dindingnya berwarna abu-abu dihiasi beberapa lukisan abstrak, lantainya terbuat dari kayu mahoni dan beberapa bagian tertutup karpet bulu putih. Aku melihat segelas air di atas meja di samping sofa dan aku tak mau menunggu untuk langsung menghabiskannya.
Apa yang sebenarnya terjadi semalam sampai tubuhku bisa remuk begini?
Belajar dari kesalahan sebelumnya, aku mencoba berjalan dengan pelan menuju pintu yang sepertinya kamar mandi. Wow, bahkan kamar mandinya pun sangat mewah dengan bak dan bilik mandi berukuran jumbo.
Saat aku mengira semua hal buruk telah terlewati, disitulah aku baru sadar malapetaka yang sebenarnya baru saja muncul. Aku nyaris tidak mengenali pantulan diriku di cermin. Dahiku luka dan beberapa bagian wajahku membiru. Tapi yang membuat jantungku berhenti berdetak adalah kemeja yang kukenakan.
"Ya Tuhan, aku pasti tidur dengan seseorang!" kataku mengerang, menutup mata dengan kedua tangan. "Okay, Millie, berpikirlah. Apa yang terjadi setelah pameran semalam?"
Aku berjalan sambil mengingat-ingat rentetan kejadian di galeri. Bagaimana mungkin ingatan beberapa jam dalam hidupku lenyap begitu saja? Pameran berjalan lancar tanpa kendala dan dua lukisanku terjual dengan harga fantastis, lalu Owen pamit pulang, kemudian aku membersihkan galeri dan...
"Oh, itu dia! Aku mendengar suara berisik di ruangan belakang lalu kesana untuk memeriksanya." Ya, tidak salah lagi.
"Apa kau punya kebiasaan berbicara dengan pantulan dirimu di cermin kamar mandi?"
Aku tersentak dan berbalik, berhadapan dengan seorang pria asing. Yah, tidak terlalu asing karena aku melihatnya di galeri semalam. Orion Alano. Pria yang membayar lukisanku seharga tiga puluh ribu dolar dan menghilang begitu saja. Dan sekarang dia berdiri di hadapanku dengan setelah jas sambil menyeringai genit.
Mulutku seolah lupa cara berbicara saat tatapannya menusuk mataku, satu tatapan yang membuatku merinding. Dia bahkan lebih tampan di pagi hari, meski auranya masih menakutkan. Apa dia yang membawaku kesini?
"Nah, sekarang lanjutkan." Orion masuk ke kamar mandi, melipat kedua tangan di dada lalu bersandar pada dinding. "Aku ingin mendengar ceritaku soal kejadian tadi malam."
Kami berdiri dalam keheningan sementara aku berusaha mengendalikan diri, dan tatapannya sama sekali tidak membantu. Tiba-tiba aku menangkap dia sedang memandangi pahaku yang hanya tertutup sebagian. Aku menelan ludah.
"Apa ini... kemejamu?" tanyaku, menarik bagian bawah kemeja yang kukenakan.
Dia memutar mata. "Tentu saja, punya siapa lagi?"
"Kenapa bisa... maksudku, dimana... apa kita..." Sungguh, Millie? Jangan membuat dirimu seperti orang tolol. Kenapa susah sekali berbicara dengannya?
Kedua sudut bibir Orion terangkat tinggi menyaksikan pertunjukan spesial di depannya. Dia berderap beberapa langkah ke arahku sebelum menyentuh pipiku. Perutku terasa bergejolak saat dia menyapu rambutku ke balik telinga dan memperhatikan luka di wajahku.
"Maksudmu, apakah kita bercinta semalam?" Napasnya yang panas menggoda leherku dan aku bisa mencium aroma cedar krim cukur yang kuat. Dia berbalik ke pintu, menarik tangannya dari wajahku. "Maaf, tapi tidak. Aku punya aturan untuk tidak meniduri wanita pingsan. Lagi pula," Dia menolehku. "Kau bukan tipeku."
"Kenapa kepalaku bisa terluka?" kataku, menunjuk dahi. Mom bisa gila kalau aku tidak bisa menjelaskan kenapa dahiku robek.
Orion berbalik agar berhadapan denganku, ekspresinya khawatir. "Kau benar-benar tidak ingat kejadian semalam?"
"Well, aku ingat kami mengadakan pameran di galeri. Kau datang..."
"Ya, aku datang." desisnya ketus.
"Dan kurasa setelah itu... entahlah, aku lupa."
"Kau lupa?" Orion tertawa. "Begini saja, ada pakaian di atas ranjang yang bisa kau kenakan. Kenapa tidak mengganti baju dan kita lanjutkan obrolan ini di dapur? Kurasa segelas kopi akan sedikit membantu."
"Bukankah pria sepertimu seharusnya beradab?" balasku ketus.
"Pria sepertiku?" Orion tertawa lagi. "Seperti apa tepatnya, Millie?" katanya menantang. Tak diragukan lagi, dia pasti tahu sesuatu terjadi di galeri semalam, dan yang kubutuhkan hanya jawaban singkat.
"Pria kaya nan angkuh. Hidup mewah dari uang negara dan semacamnya?"
"Bukan begitu caraku mendapatkan uang, cantik." Dia menyeringai puas. "Sampai jumpa di dapur sepuluh menit lagi. Jangan membuatku menunggu, Millie."
Jangan membuatnya menunggu? Dia pikir dia siapa? Kemarin mungkin aku terlalu mabuk sehingga terpukau pada ketampanannya, tapi hari ini, yang kulihat hanya keangkuhan. Aku harus cepat-cepat keluar dari sini.
Seperti yang dia katakan, ada sepasang celana jins dan sweater menungguku di atas ranjang. Aku bahkan tak mau memikirkan dari mana dia mengetahui ukuranku karena pakaian itu melekat dengan pas di tubuhku. Selesai berpakaian, aku merapikan rambut sampai setidaknya layak dipandang, lalu membilas wajah dan menyikat gigi.
Berderap keluar kamar, aku melihat gaunku yang sudah hancur lebur tergeletak di lantai. Gaun yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama, bahkan aku harus menunggu berminggu-minggu agar bisa membelinya dengan harga diskon. Dan sekarang dia tinggal kenangan. Orion benar-benar ingin mati rupanya.
"Yah, berapa dosis yang kau berikan padanya?" bentaknya pada seseorang di telepon. "Tidak, dia bahkan tidak tahu kenapa dia..." Dia berhenti ketika melihat kedatanganku. "Nanti kita lanjutkan." katanya, memutus sambungan. "Nah, begitu kan lebih baik."
Orion mengulurkan segelas kopi sementara aku duduk di meja makan, matanya terus menatapku.
"Jadi, soal semalam..." Aku memulai, tidak nyaman dengan gerak-geriknya.
"Ya, soal itu, kau ingat pameran semalam kan?" Dia duduk di seberangku, dan aku tak punya pilihan selain menghadapinya. Jika sifatnya buruk, paling tidak dia memiliki keunggulan dari segi paras. Penampilan Orion persis seperti model sampul majalah GQ dengan sorot mata tajam dan senyum menawan. Aku tidak pernah melihat pria mengenakan pakaian dengan sempurna seperti Orion seakan mereka dibuat khusus untuknya. Tentu saja, itu bukan hal mustahil jika dia memiliki rumah sebesar ini. Janggut tipis yang kulihat malam tadi sekarang sudah tercukur rapi, memamerkan ketegasan garis rahangnya. Dan kelembutan suaranya berhasil membangunkan sesuatu dalam diriku. Seandainya dia bisa sedikit lebih ramah, mungkin aku akan tergoda padanya.
"Ya, kupikir aku ingat sesuatu. Kami... di rampok?"
Dia hanya menatapku dengan ekspresi yang sama.
"Apa?" Aku mengangkat bahu, agak tersinggung. Dia terlalu menikmati momen ini sementara aku terlalu lelah untuk mengikuti permainannya.
"Aku bertemu denganmu di galeri, ya. Aku membeli salah satu lukisanmu. Dan aku harus mengakui karyamu lumayan bagus."
"Terima kasih." Aku memperhatikan kepulan asap dari gelas kopiku.
"Kemudian, aku meninggalkan jas disana dan menyuruh anak buahku mengambilnya."
"Okay, terus?"
"Ketika mereka tiba, mereka melihat seseorang menyerangmu. Salah satu anak buahku..." Dia berhenti, ragu-ragu. "Menembaknya. Dalam keadaan seperti itu mereka khawatir kau menyakiti diri sendiri, jadi mau tidak mau mereka harus menenangkan dan membawamu kesini untuk menolongmu. Kelompok yang menyerangmu bukan orang biasa, apa kau tahu apa yang mereka inginkan darimu?"
"Tunggu, kau membiusku?" dengusku gusar, otot-otot di tubuhku mulai gemetar.
"Tidak secara langsung, anak buahku yang melakukannya dan itupun karena terpaksa." balas Orion membela diri. "Lagi pula, dari semua hal mengerikan yang terjadi kemarin, itukah yang paling kau khawatirkan?"
Aku belum sempat menjawab saat tiba-tiba ponsel Orion berdering, dia melirik ponselnya sekilas dan ekspresinya berubah cemas. "Dengar, mereka membawamu kesini untuk menyelamatkanmu. Kau hampir diperkosa, dan luka-luka di tubuhmu karena ulah kelompok lain, kami bahkan menjahit lukamu..."
"Kau menjahit lukaku?" Tidak heran kenapa kepalaku terasa mau pecah. Aku dibius dan dijahit oleh sekumpulan pria yang sedang bermain dokter-dokteran. Siapa yang tahu virus apa yang masuk ke tubuhku saat itu?
"Intinya bukan itu." Dia mengabaikan protesku. "Maksudku adalah kau aman di tempat ini. Aku ingin kau tetap tinggal sampai kami mengetahui motif mereka menyerangmu."
Ponsel Orion kembali berdering.
"Kau mau aku tetap tinggal? Kau sudah gila, ya?" Aku berdiri. "Aku bahkan tidak mengenalmu. Aku terbangun di rumahmu, mendengarkan kau mengatakan omong kosong, membiusku, dan membawaku kesini. Lalu, gaunku robek..." Aku terus mengoceh sampai Orion memegang bahuku.
"Cukup!" bentaknya, aku langsung menciut. "Kau tahu siapa aku, dan suka atau tidak aku sudah terlibat dalam masalahmu. Kejadian semalam bukan kebetulan, orang-orang itu menginginkanmu, dan mungkin sekarang kami bisa menghentikan mereka, tapi percayalah mereka pasti kembali. Anak buahku rela menempatkan diri mereka dalam bahaya demi menyelamatkanmu dan sekarang kau justru marah pada kami?"
Jawaban apa yang ingin dia dengar dariku agar semua ini terdengar masuk akal? Dia salah. Ini hanya kejahatan acak, dan siapapun orang-orang itu menurut Orion, aku yakin mereka tidak akan berani mencoba mendekatiku lagi.
"Ada sesuatu yang harus aku kerjakan dan kita akan melanjutkan obrolan ini setelah aku selesai. Aku janji tidak akan lama. Kau boleh mandi, melihat-lihat sekeliling, atau menonton. Lakukan apapun yang kau inginkan. Dan itu," Orion menunjuk pintu dimana seorang pria lain berdiri. Aku tidak menyadari kami punya penonton. "Itu temanku, Damien. Minta apa saja yang kau butuhkan padanya."
Aku melirik Damien sekilas dan kembali menatap Orion. Orion yang tadinya terlihat seksi sekarang berubah menakutkan, dan tak diragukan sangat berbahaya. Apa yang mungkin terjadi jika aku tak bisa memberinya jawaban yang memuaskan? Aku yakin ini hanya kesalahpahaman. Meskipun aku bersyukur mereka menyelamatkanku semalam, yang kuinginkan saat ini hanya pergi sejauh-jauhnya dari tempat ini.
Tapi, bagaimana jika Orion benar? Bagaimana jika orang-orang itu kembali lagi? Bagaimana jika mereka sedang menungguku pulang ke rumah? Aku tidak mau percaya itu, tapi sejujurnya, tak ada satupun yang ingin kupercaya. Dan seandainya aku keluar dari tempat ini sekarang, mungkin aku tidak akan pernah tahu situasi yang sebenarnya.
"Tetap disini, Millie. Aku harus memastikan posisimu aman begitu kau keluar dari rumahku."
"Kenapa kau peduli? Kau bahkan tidak tahu siapa aku."
"Oh, aku mengenalmu dengan baik, Millie. Aku akan kembali dalam waktu satu jam." katanya tegas, berpaling kepada Damien. "Jaga dia baik-baik."
Damien mengangguk patuh seperti anjing peliharaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments