"Bekas luka apa ini?" tanyaku pada Orion, meraba bekas luka di bahunya. Setelah kegiatan panas yang berakhir melelahkan dan sekaligus memuaskan, kami berbaring di ranjang. Menikmati kesempatan langka yang di tawarkan alam semesta.
"Luka waktu pertama kali aku tertembak." jawabnya santai.
"Pertama kali?"
Senyum tipis menghiasi sudut wajahnya. "Resiko pekerjaan."
"Berapa kali kau tertembak?" tanyaku, mengangkat tubuh. Tiba-tiba aku tertarik mendengar kisahnya. Walaupun aku tahu jenis bahaya yang mengancamnya, tapi aku tidak mengira Orion akan tertembak. Tentu, kesialan semacam itu tak bisa terelakkan karena hari-harinya penuh bahaya. Hatiku semakin terenyuh mendapati kenyataan ini.
"Apa?" Dia menaruh ponselnya di atas meja, memusatkan perhatian padaku. "Berapa kali aku tertembak? Tiga."
Dia meraih tanganku dan meletakkannya pada bekas luka di bahunya. "Pertama disini, ketika masa-masa awal aku resmi bergabung dengan mafia. Aku masih delapan belas tahun, bodoh dan ceroboh, dan seorang laki-laki dari kelompok musuh membuatku limpung."
Dia menekan ujung telunjukku ke kulitnya, mengarahkan ke bahunya yang lain. Aku gemetar melihat betapa dekat bekas luka itu dengan jantungnya. "Lalu, disini. Aku dan seorang teman dikirim dalam misi penyamaran untuk menghancurkan lingkaran perdagangan seks yang dilakukan kelompok Rusia di Manhattan. Penyamaran kami terbongkar, aku berhasil keluar sebelum situasi memburuk, tetapi mereka menangkap temanku. Jadi, aku terpaksa kembali."
"Apakah dia berhasil kabur?" tanyaku pelan.
"Hampir tidak. Yang aneh, lukanya bahkan lebih kecil dariku." Dia menyeringai, tahu aku mencerna setiap kata-katanya. Ini benar-benar gila. Dia masih remaja saat itu, dan aku bertanya-tanya sejak kapan dia menyadari takdirnya berada di lingkungan seperti itu? Kapan dia mulai bertanggungjawab? Atau bagaimana dia bisa terlibat? Banyak sekali yang ingin kutanyakan, namun aku tidak berani mengungkapkannya.
"Dan yang ini," Dia menurunkan tanganku melewati dadanya, ke perutnya, terus turun sampai ke bagian dalam paha kanannya, berhenti di atas bekas luka melingkar. "Hadiah dari seorang kekasih yang tidak puas."
"Apa?" Aku tertawa, dia pasti bercanda.
"Mantan kekasihku. Suatu malam kami sedang bersantai di rumahnya, dan dia ingin bercinta. Aku terlalu mabuk sampai tidak bisa bangun, dan kurasa itu membuatnya kesal. Dia mengambil pistol dari meja di samping tempat tidur dan membidik kejantananku. Beruntung, tembakannya meleset." Alisnya terangkat sebelah, dan raut serius tampak di wajahnya.
"Tidak mungkin. Kau pasti bercanda, kan?"
"Menurutmu aku serius?" Kelembutan mendalam pada nadanya membuat perutku bergejolak.
"Aku... entahlah."
"Kau harus belajar memperhatikan tanda-tanda kebohongan jika ingin bertahan di dunia ini, Millie." Dia menyeringai, menyelipkan anak rambutku ke balik telinga.
"Lantas, apa yang sebenarnya terjadi?" Lega karena dia hanya bergurau, aku kembali meringkuk di dadanya.
"Well, aku tidak bohong pada bagian mabuknya. Suatu malam Javer dan aku minum-minum sampai tak tahu arah, bermain-main dengan pistol dan tanpa sengaja dia menembakku."
"Ya Tuhan!" Aku menutup mulut. "Mengerikan sekali."
"Tidak juga. Aku balas menembak lengannya, lho." Dia mengangkat bahu.
"Kau bercanda lagi, kan?" tanyaku, tertawa geli.
"Tidak." jawabnya dengan ekspresi datar. "Minta dia menunjukkan lengan kanannya saat kalian bertemu." Kali ini aku percaya dia serius.
"Sekarang giliranmu," katanya, mengusap tato di bagian dalam sikuku dengan ibu jarinya, tato potongan garis-garis kecil.
Aku tidak serta merta menjawab, tenggelam ke dalam mengingatkanku akan tato yang hanya berupa tinta hitam acak, seringkali aku bahkan tidak sadar memilikinya, tapi bukan berarti itu hanya sembarang tato.
"Aku membuatnya ketika masih remaja, untuk mengenang kedua saudara laki-lakiku. Mereka tewas dalam sebuah kecelakaan mobil saat aku kecil. Ayahku juga."
Orion tampak bingung. "Kupikir saudaramu ada di Jamestown."
Aku memutar mata, tentu saja dia tahu. Orion mengetahui segalanya tentangku.
"Maaf," katanya. "Anggap saja kau baru memberitahuku dan aku tidak tahu apa-apa soal latar belakangmu."
"Adikku Elijah memang di Jamestown." sambungku. "Tapi aku punya dua kakak laki-laki. Ketika orangtuaku memutuskan berpisah, mereka tinggal bersama ayahku, hampir sepanjang waktu. Hanya sesekali datang menemui mom dan aku. Kemudian beberapa tahun setelahnya mereka mengalami kecelakaan tragis. Aku tidak pernah benar-benar mengenal mereka. Jadi, tato ini menjadi semacam simbol yang menghubungkanku dengan mereka."
Aku tidak suka membicarakan tentang masa lalu keluargaku. Awal-awal saat ayahku pergi membawa kedua kakakku, kami masih bisa bertemu secara rutin, tetapi tidak lama sampai akhirnya dia benar-benar memutus kontak dan membuat ibuku putus asa. Aku masih terlalu kecil untuk memahami situasi saat itu, dan jika melihat ke belakang, aku bisa merasakan betapa hancur perasaan ibuku. Dipaksa berpisah dengan dua putranya sekaligus harus mengurus seorang anak perempuan pada saat yang bersamaan. Kurasa ibuku melewatinya dengan cara yang benar menurutnya-memberikan semua perhatian dan cintanya padaku, dan memberiku kehidupan masa kecil terbaik yang bisa dia lakukan.
Orion terperangah mendengar penjelasanku.
"Kenapa? Kau melewatkan bagian itu?" seruku bergurau, mencoba mencerahkan suasana.
"Maafkan aku, Millie. Aku sungguh tidak tahu."
"Tidak apa-apa. Sejujurnya, waktu itu aku masih terlalu kecil, dan tak banyak yang bisa kuingat dari masa lalu." kataku.
"Apa kau ingat ayahmu?" tanya Orion, dengan lembut mengusap lenganku.
"Tidak." Aku mendengus. "Tapi, aku bersyukur. Dia manusia paling menjijikkan yang pernah kutemui. Dia berjuang mati-matian mendapatkan hak asuh atas kedua kakakku, namun sama sekali tidak peduli denganku. Dia terus berusaha menjauhkan mereka dari kami, sampai ibuku nyaris gila. Kurasa sudah seharusnya aku bersyukur dia pergi, karena kami memiliki Dave. Dia sosok ayah terbaik dan satu-satunya yang pernah kukenal."
Orion termenung beberapa saat sebelum mencium bibirku. "Aku yakin David orang baik. Jika tidak, mana mungkin kau begitu memujinya."
Aku mengangguk. Topik tentang keluarga selalu membuat emosiku berkecamuk. Aku belum siap menceritakan semua kisah masa kecilku padanya, sebagai gantinya, aku mengalihkan pembicaraan. "Sudah waktunya makan malam. Bagaimana kalau kita keluar mencari sesuatu?"
Orion mengerang, melingkarkan kedua tangannya di bahuku dan menarikku ke dadanya. "Atau kita tetap disini dan memakan apa yang ada. Atau pesan-antar kalau menginginkan makanan sungguhan." Seringai jahat nan rupawan di sudur mulutnya hampir membuatku berubah pikiran.
"Tidak." kataku, merengek seperti bayi, beringsut turun dari ranjang dan memungut pakaian dari lantai. "Ada restoran pizza enak tak jauh dari sini, tapi mereka tidak menerima pesan-antar. Ayolah, pasti menyenangkan."
Orion tampak tidak yakin, tapi dia tetap turun dan memakai kemejanya. "Baiklah. Tapi ingat, aku orang Italia. Sebaiknya pizza-mu itu benar-benar enak."
"Aku janji." seruku, menyeringai.
Kami bersih-bersih sebentar dan langsung menuju ke The Dino's.
"Inikah standar pizza enak menurutmu?" Orion menaikkan alis padaku begitu kami menginjakkan kaki di dalam restoran. Bukan tempat makan mewah, dan hanya beberapa orang di dalam.
"Percayalah." kataku, menuntunnya ke konter. "Hai, Josh! Aku pesan dua peperoni, ya?"
"Oh, hey, Millie... Senang melihatmu! Pesanan segera datang!"
"Aku punya banyak pertanyaan untuk tempat ini." Orion terkekeh saat kami di salah satu meja kosong. Dia mengambil selembar serbet, dengan jijik mengibaskan remah-remah dan sisa saus yang kering menempel. "Kau pasti sering kesini sampai akrab dengan kokinya."
"Aku suka pizza mereka, mau bagaimana lagi." kataku, meraih tangannya. "Josh mengambil giliran kerja malam hari. Sebenarnya dia bukan koki utama disini, tapi dia bertanggungjawab penuh menjalankan restoran. Josh dan istrinya berasal dari Meksiko, mereka pindah ke Amerika beberapa tahun yang lalu dan bekerja keras agar bisa membawa kedua orang tuanya kesini."
Orion melemparkan tatapan aneh padaku, tersenyum lebar. Dia tidak mengatakan apa-apa. Hanya menatapku dan terus tersenyum.
"Kenapa?" tanyaku, agak tersipu.
"Bukan apa-apa." Dia meremas tanganku. "Aku hanya... aku suka kau mengetahui kisahnya. Secara khusus meluangkan waktu untuk mengenal orang lain menunjukkan sifat aslimu, kau peduli."
"Aku juga ingin mengetahui lebih banyak tentang dirimu." gumamku, menguji keberuntungan. Orion sangat tertutup mengenai kehidupan pribadinya, dan diperlukan banyak waktu dan upaya agar dia mau membuka diri. Namun, itu tak menepis rasa penasaranku. Terutama jika sesuatu di antara kami akan berlanjut ke arah yang lebih serius. "Bagaimana dengan keluargamu?"
Sesaat dia tampak tegang, lalu berdeham. "Apa yang ingin kau ketahui?"
"Apa saja." Aku mengangkat bahu.
"Well," gumamnya memulai. "Aku anak tunggal. Lahir dan dibesarkan di Italia."
"Sungguh?" tanyaku terkejut. "Bagaimana rasanya hidup di sana?"
"Bagus, kurasa." katanya. "Aku tidak tahu banyak tempat sebagai perbandingan, tapi aku menyukai Italia. Mereka punya restoran pizza asli dan sungguhan. Bukan omong kosong New York seperti ini." Dia tergelak. "Damien, Javer, dan aku lahir besar disana."
"Lalu, Tom?"
"Tom keturunan asli Amerika. Kami bertemu tak lama setelah aku pindah kesini, dan dia bekerja denganku sejak saat itu."
"Bagaimana kau bisa terlibat dengan mafia?" tanyaku, menyesap segelas soda.
"Pizza sudah siap, Millie!" Panggil Josh dari belakang konter.
"Dia menyelamatkanku," Orion menyeringai. "Ayo pulang ke apartemenmu. Kita makan disana saja."
Orion berdiri, mengambil kotak pizza dari atas konter. Dia menyelipkan beberapa lembar uang seratus dolar kepada Josh. Aku tersenyum, senang menyaksikan sedikit kebaikan hati dari seorang bos mafia. Bisa kubilang dia tidak mau mengakuinya, tapi dia juga orang yang sangat peduli.
Perjalan pulang ke apartemen tak memakan waktu lama dan kami langsung naik ke lantai dua belas. Aku mendorong kunci ke gagang pintu, tetapi rupanya sudah terbuka.
"Hmm, aneh." Aku mengerutkan kening, memasukkan kunci ke dalam tas.
"Kenapa?" tanya Orion dengan nada was-was.
"Pintunya tidak terkunci."
Orion menarik pistol yang bahkan tidak kusadari ada di pinggang celananya. "Tetap di belakangku."
"Aku yakin tidak ada orang..."
"Hei, Mills." Jack keluar dari dapur dengan kedua tangan di saku celana dan tersenyum malu-malu.
Apa-apaan ini! Orion mengangkat pistolnya sebelum aku sempat mengatakan apapun dan menodong Jack.
"Woah!" Jack terkesiap, mengangkat kedua tangannya di udara. "Ya Tuhan, Millie. Siapa laki-laki ini?"
"Okay, cukup!" Aku menarik napas, membuka tanga di antara mereka. "Orion, tenang. Josh... dia hanya seorang teman." Orion memperhatikan Jack lekat-lekat, menurunkan pistol tetapi tetap menggenggamnya dengan erat.
"Hanya teman?" tanya Josh. "Jadi, sekarang itu julukan untuk kita?"
"Baiklah, Jack mantanku yang doyan selingkuh. Sudah lebih baik?" desisku kasar, meragukan keputusanku menahan Orion menembaknya. "Apa yang kau lakukan disini?"
"Kau tidak mengangkat teleponku." ucap Jack.
"Jadi, kau merasa berhak menyelinap ke apartemenku?"
"Aku tidak menyelinap. Aku punya kunci, ingat? Owen sangat cemas, dia bilang kau belum ke galeri beberapa hari belakangan."
"Aku agak sibuk." Aku tidak berhutang penjelasan padanya, dan sangat kesal bahkan untuk sekedar berbicara dengannya.
"Persis sekali! Sejak kapan kau mulai bergaul dengan seorang kriminal?" katanya, merujuk pada Orion.
"Apa masalahmu sebenarnya? Orion bukan penjahat, dia temanku." Aku melemparkan tangan ke udara.
"Oh, teman lagi. Menarik."
"Jaga mulutmu." Orion menggeram.
"Apa kau tahu siapa dia, Millie? Kau mengencani seorang prajurit mafia!"
"Tunggu, kalian saling kenal?" Aku menoleh Orion.
"Dia mencoba menjebloskanku ke dalam penjara selama bertahun-tahun, tapi tidak pernah ada bukti. Ya, kami bertemu beberapa kali." Orion menyeringai, bicara padaku tapi tatapannya terus menusuk Josh.
Tentu saja! Jack agen FBI, kenapa aku tidak mengira mereka mungkin akan bertemu?
"Apa yang kau lakukan disini, Alano?"
"Kau atau aku yang menjawabnya?" Orion terkekeh, menolehku.
"Jack, Orion dan aku..." Kami apa? Bagaimana cara menyelesaikan kata-kataku? Sampai malam ini, hubungan kami tidak bisa disebut manusiawi. Situasinya berubah terlalu cepat sehingga aku bahkan belum berhasil mencernanya.
"Aku kekasihnya."
Jawaban Orion membuatku terkejut, sekaligus bangga mendengar dia mengatakannya tanpa ragu, meskipun tujuannya untuk mengejek Josh.
Jack membelalakkan mata, wajahnya pucat. "Kau sungguh berkencan dengan Orion Alano?"
"Ya."
Jack tampak seolah akan mengalami serangan jantung. Dia berjalan bolak-balik di apartemenku yang mungil, sebelum melangkah keluar dan membanting pintu dengan keras.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments