Setelah selesai menemui Javer, aku kembali ke dapur. Suka atau tidak aku harus menyelesaikan percakapan dengan Millie dan melepasnya pulang ke rumah. Lagi pula, masih ada pekerjaan yang membutuhkan perhatianku.
Banyak sekali hal yang perlu di upayakan agar semua pekerjaan berjalan dengan lancar, tidak boleh ada kesalahan sedikitpun. Aku sudah di tempa seumur hidup untuk menempati posisi ini, namun rasa ingin membuktikan kemampuan selalu melekat erat dalam diriku. Alonzo Gasparo, pemegang tampuk tertinggi di grup kami telah memilihku menjadi penerusnya. Dulu sebenarnya ayahku bekerja sebagai tangan kanan Alonzo, dan ketika bisnis kami meluas ke Amerika, ayahku yang bertanggung jawab mengurus segala sesuatunya disini. Saat dia meninggal, otomatis aku yang harus menggantikannya dan Alonzo sangat senang dengan pekerjaanku sehingga dia harus melewatkan kedua putranya dan lebih memilihku.
Suatu hari nanti, seluruh bisnis Alonzo akan berada di bawah kepemimpinanku.
Aku tahu kemampuanku sangat baik di bisnis ini, terbukti dari keuntungan yang meningkat pesat setelah aku mengambil alih bagian Amerika, tapi entah kenapa aku merasa belum cukup. Itulah satu-satunya warisan yang ditinggalkan ayahku, di matanya, aku tidak pernah baik dan aku terjebak dalam pola pikir yang sama. Pekerjaan yang tidak sempurna berarti kegagalan, secara tidak langsung menjadikanku Don yang sekarang. Tidak terhentikan.
Dalam waktu singkat aku membiarkan Millie mengalihkan perhatianku tapi aku tidak boleh terlena berkepanjangan karena masalah ini. Tidak disaat aku hampir mendapatkan semua yang kuinginkan.
Gelak tawa Millie memantul di dinding ketika aku mendekati dapur. Mereka masih duduk di meja makan, tenggelam dalam percakapan dan dia tertawa menanggapi ucapan Damien. Aku agak cemburu karena Damien mendapat kesempatan langka menghabiskan waktu dengannya, dan perasaan itu sudah cukup untuk memulangkannya ke rumah.
"Terima kasih atas waktumu, Damien. Sekarang, kami harus melanjutkan urusan." Aku menjejalkan tangan ke saku celana, melangkah memasuki dapur.
Tubuh Millie menegang begitu melihatku seolah dia sedang takut, dan aku tidak menyukainya. Aku penasaran apa yang sudah dikatakan Damien padanya saat aku tidak ada.
"Tidak masalah, boss." kata Damien, berdiri dan menaruh piring kotor ke wastafel. "Sampai jumpa lagi, Mill."
Mill? Sekarang dia punya nama panggilan untuk Millie?
"Daa, Damien." Millie tersenyum, melambaikan tangan.
Aku menuang segelas air dan menempati kursi bekas Damien.
"Apakah kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu?" tanya Millie dengan nada bergetar, melirikku sekilas.
Aku mengangguk. "Tapi sekarang kita harus bicara."
"Aku tidak kenal Ernesto." katanya tiba-tiba, menggigit bagian dalam pipinya.
Responnya yang mendadak membuatku terkejut. Apakah itu yang mereka bicarakan sepanjang pagi ini? Apakah Damien sudah mengatakan tentang kecurigaanku? Aku ingin melihat reaksi Millie yang sesungguhnya saat aku menyebut soal Ernesto, tapi sekarang sudah percuma. Kecuali mereka belum membahas apapun dan dia ingin mengatakan yang sebenarnya.
"Dari mana kau mendengar nama itu?"
"Damien mengatakan kau mengira aku melarikan diri darinya, atau semacam itu... Apakah dia yang menyerangku?"
Aku mengusap dahi. Damien bodoh! "Bukan Ernesto yang menyerangmu, tapi orang-orangnya. Kau yakin tidak pernah mendengar namanya?"
"Sangat yakin."
"Apa kau pernah bekerja sebagai wanita panggilan? Atau pekerjaan lain yang berkaitan dengan itu? Jangan tersinggung, aku hanya bertanya."
Wajah Millie berubah kesal. "Tidak pernah. Aku bahkan tidak tinggal di New York sampai beberapa bulan lalu. Dan lagi pula, aku tidak mengerti kenapa ini penting bagimu. Dengar, aku sangat bersyukur kau dan anak buahmu menyelamatkanku semalam, tapi aku harus segera pergi."
"Ini penting karena anak buahku sudah membunuh orang yang menyerangmu. Dia bekerja untuk Ernesto, dan sekarang muncul masalah di antara kami. Jadi, aku perlu mengetahui informasi sekecil apapun untuk menyelesaikan masalah ini, termasuk bagaimana kau bisa terhubung dengan Ernesto."
"Aku tidak ada hubungan apapun dengannya! Aku tidak mengenal orang itu dan tidak mengerti kenapa kau terus menanyakan hal yang sama. Aku paham kau mungkin mengira mereka sudah menargetkan penyerangan kemarin, tapi meskipun begitu bukan berarti akulah targetnya. Bisa jadi mereka mengira aku sebagai orang lain."
Sejujurnya aku mulai memikirkan hal yang sama dengan Millie. Dia dengan gigih membantah mengenal Ernesto, dan aku percaya padanya. Aku tahu persis bagaimana ekspresi seseorang ketika berbohong, dan sorot mata Millie hanya menunjukkan rasa takut. Dia tidak kenal Ernesto, dan aku yakin itu, tapi tidak menutup kemungkinan Ernesto mengenalnya.
"Apa dia semacam ketua gangster?" tanya Millie, aku menahan tawa. Caranya mengatakan itu seakan gangster adalah organisasi paling berbahaya, faktanya mereka bukan apa-apa dibandingkan mafia. Gangster bertindak ceroboh dan amatir sementara kami melakukan hal-hal yang tidak akan pernah melintas dalam mimpi mereka sekalipun. Namun, Millie tidak mengetahui itu dan sia-sia saja menakuti gadis yang sudah ketakutan begitu.
"Intinya dia sangat berbahaya. Kau tidak seharusnya berurusan dengan orang semacam Ernesto."
"Seperti kau?" Dia mengangkat alis.
Ya, persis seperti aku, tesoro. Alih-alih, aku mengatakan, "Javer tidak sengaja merusak ponselmu semalam." Aku mengeluarkan kotak dari dalam kantong dan meletakkannya di atas meja. "Ini ponsel baru, semua datamu telah dipindahkan. Aku berharap Ernesto tidak mengganggumu lagi, tapi jika itu terjadi, langsung hubungin aku. Javer sudah menyimpan nomorku disini."
"Oh, ini tidak perlu." kata Millie, mencoba mengembalikan ponselnya padaku.
"Ini bagian dari tanggung jawab. Kami merusak ponselmu, maka kami harus menggantinya." balasku tegas. "Aku juga menyuruh beberapa orangku untuk memasang sistem keamanan baru di sekitar apartemenmu."
"Ini terlalu berlebihan, Orion. Sungguh. Aku tidak butuh sistem keamanan, aku tidak butuh..."
"Aku tahu kau berpikir ini hanya kebetulan, tapi aku ingin melakukannya untuk berjaga-jaga." gumamku memotong ucapan Millie. Aku senang mendengar dia tidak berbohong soal Ernesto, namun bukan berarti ancaman sudah tiada. Dia masih berada di bawah pengawasan sampai aku benar-benar yakin Ernesto tidak mengincarnya.
"Baiklah, tapi kita tidak saling kenal." balas Millie beralasan. "Kenapa kau rela melakukan ini untukku?"
Pertanyaan bagus. Itu juga yang ditanyakan Javer saat aku memintanya memasang kamera pengawas di kompleks apartemen Millie. "Karena seperti yang kukatakan, aku sudah terlibat ketika anak buahku membunuh salah satu orang suruhan Ernesto. Tak ada kaitannya denganmu." Atau ada?
"Telepon aku jika terjadi sesuatu, atau jika kau mengingat sesuatu yang menurutmu penting." Aku berdiri. "Ada sopir yang menunggu di depan, dia akan mengantarmu kemanapun. Dan omong-omong, jangan bilang pada siapapun kalau kau di serang semalam. Katakan saja pada polisi bahwa kau tidak tahu siapa saja yang berada di galeri semalam, sisanya akan aku urus dari sini."
"Baiklah, aku mengerti." Millie mengatupkan bibir. "Sampai jumpa, Orion."
Tidak mau memberi kesempatan pada diriku berpikir ulang dan menahan Millie disini, aku langsung melangkah ke kantor untuk kembali menemui Javer.
"Sudah bicara dengannya?"
Aku mengangguk, menghempaskan bokong di kursi dan menahan kepala dengan kedua tangan. Kepalaku berdenyut-denyut memikirkan masalah ini. "Aku sangat yakin Millie tidak mengenal Ernesto."
"Tapi Ernesto mungkin mengenalnya... dan akan membiarkannya begitu saja?"
Aku mengeluarkan tawa getir. "Tentu saja tidak, kau tahu aku lebih baik dari itu. Ayo kita kunjungi dia."
Javer dan aku mendatangi salah satu restoran miliknya dimana aku tahu Ernesto akan berada. Restoran itu seperti sampah, dan makanannya bahkan lebih buruk, tapi dia akan kesini setidaknya seminggu sekali untuk menagih hutang. Sejak bisnis kami beralih kesini, bisnis Ernesto hampir seluruhnya di tarik kembali ke Italia dan aku tidak tahu kenapa dia masih bertahan disini.
Nyaris semua area di New York berada dalam kendaliku, namun Ernesto mengakuisisi sebagian area tepat di seberang perbatasan New Jersey. Dia sangat berusaha keras untuk menghalangi jalanku dengan sebidang tanah kecil miliknya. Pada titik ini, dia ingin aku tahu bahwa dia masih ada di sekitarku.
Seakan aku bisa lupa saja.
Javer menunggu di mobil sementara aku masuk ke dalam restoran. Aku hanya perlu bicara padanya dan kedatanganku mungkin bisa menciptakan interpretasi yang keliru. Aku harus berhati-hati, terutama jika menginginkan Ernesto membuka rahasianya soal Millie. Sayangnya, bermain aman bukan gayaku.
Dia duduk di salah satu meja paling belakang dan menunggu dengan sabar saat seorang pelayan menyajikan pesanan roti lapisnya. Demi Tuhan, aku tidak mau masuk ke tempat ini, tapi jika Millie tidak bisa memberi jawaban yang aku butuhkan, mungkin Ernesto bisa. Begitu si pelayan menghilang, aku mendekatinya dan langsung duduk tanpa di minta.
Ernesto menengadah sekilas. "Aku sudah bertanya-tanya kapan kita akan bicara. Namun, yang kuharapkan hanya sambungan telepon, bukan kunjungan langsung. Tapi tidak apa-apa, silahkan duduk. Mau aku pesankan roti lapis?"
"Aku tidak memiliki waktu untuk formalitas, Ernesto. Siapa gadis itu?"
"Gadis? Aku khawatir aku tidak paham apa yang kau bicarakan, Orion." Dia menggigit roti lapisnya, mengunyah pelan dengan mulut terbuka. Oh, aku ingin mencolok mulutnya yang menjijikkan itu dengan pistol dan meledakkan kepalanya. Alih-alih, aku menarik napas panjang, merebut roti lapis dari tangannya dan melemparnya ke dinding. Salah satu kacungnya dari meja sebelah berdiri, menodong pistol ke arahku dan beberapa orang lain mulai bergabung. Ernesto mengangkat tangan, menyuruh mereka mundur.
"Lanjutkan." katanya, begitu anak buahnya satu-persatu mulai duduk.
"Gadis dari galeri seni." Aku mendengus, tidak takut dengan ancaman orang-orangnya yang payah. Dia jelas tahu siapa yang aku maksud.
"Ah, ya. Aku baru ingat sekarang."
"Apakah dia salah satu peliharaanmu?" tanyaku tanpa basa-basi.
Ernesto diam selama beberapa detik, kemudian senyum iblis mengembang di sudut bibirnya. "Millie bukan orangku. Aku belum pernah bertatap muka dengannya. Sampai beberapa minggu lalu, aku berpikir dia sudah mati. Anggap saja dia kenal salah satu teman lamaku."
"Lantas, kenapa tiba-tiba kau tertarik padanya?" Amarah mulai membara di nadiku. Dalam beberapa kesempatan aku ingin Millie berbohong karena itu akan menjelaskan alasan Ernesto mengincarnya, tapi ternyata tidak begitu.
"Kau tahu, dia seorang seniman. Seniman yang sangat berbakat di bidangnya." Dia menjejalkan sisa roti lapis ke mulutnya.
"Aku tahu, dan aku sudah melihat karyanya." jawabku, mengencangkan rahang. Entah kenapa, mendengar Ernesto mengatakan hal lain soal Millie membuatku darahku semakin mendidih.
"Kalau begitu katakan padaku, Orion, kenapa tiba-tiba kau tertarik padanya?" Dia melipat tangan di atas meja.
"Aku tidak tertarik sampai orang suruhanmu mencoba memperkosanya dan anak buahku harus menghentikan mereka." balasku geram, merasa cukup berurusan dengan manusia ini. Aku membayangkan hari dimana aku bisa membunuhnya, merasakan darahnya mengalir di antara jemariku, mendengar tarikan napasnya saat udara perlahan-lahan berhenti mengisi rongga dadanya.
Dia menggeleng santai. "Orang-orangku bertidak bodoh. Aku mengirim mereka bukan untuk menyerang Miss Peterson, dan mereka melawan perintahku."
"Alasan lain apa yang mungkin membuatmu mengirim mereka ke galeri seni di pusat kota New York?"
"Aku bisa menanyakan hal yang sama padamu." gumamnya menantang. "Kita berada disana untuk alasan yang sama pula, Orion. Semacam investasi, kan? Tapi sudah jelas, prosesnya tidak berjalan sesuai rencana, dan kita akan melupakan masalah ini."
"Sesederhana itu?" Aku memperhatikan perubahan wajahnya. Apakah ini hanya waktu yang tidak tepat? Ernesto tidak tampak marah tentang kematian anak buahnya, mungkin mereka memang menentang perintahnya. Hal-hal semacam itu sering terjadi di dunia mafia. Nyawa seseorang hampir tidak ada harganya.
"Sesederhana itu. Pegang kata-kataku." Ucapannya tak pernah benar. Bajingan ini selalu penuh kebohongan.
"Seandainya aku melihat orangmu masih berkeliaran di sekitar Millie..."
"Aku yang akan mengurus mereka. Gadis itu aman. Oh, lagi pula bisnis kami mulai berkembang ke arah lain, dan kurasa bidang seni lebih cocok untukmu." Seringai jahat terlihat di ujung bibirnya seakan dia sedang menghinaku.
"Jadi, kau sedang memperluas jaringan bisnismu?" desakku.
Ernesto mengangkat bahu. "Pasar disini masih cukup menguntungkan, paling tidak sampai ke arah selatan Jersey Shore. Tapi, kita sama-sama tahu betapa kota New York sangat menjanjikan. Percayalah, apapun yang aku kerjakan tidak akan mengganggu bisnismu. Faktanya, itulah kenapa aku menyerah soal galeri itu. Aku tahu mereka berada di dalam garis wilayahmu, dan aku menghormatinya." Ini sungguh layak di tertawakan. Ernesto tidak pernah menghormati apapun.
"Apakah dia mengetahui alasanmu kesana?"
"Oh, tidak. Tentu saja tidak. Seperti yang kusampaikan, ini bukan tentang Millie. Salah satu langgananku yang juga berlangganan dengannya menyarankan agar aku melihat-lihat koleksinya. Penyerangan semalam tidak ada dalam daftar perintahku, namun harus kuakui dia cukup tangguh. Bukan begitu, Orion?"
Aku memutar mata, muak mendengar omong-kosongnya.
"Kita akan bertemu lagi." kataku, menoleh ke balik bahu sambil berjalan ke pintu restoran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments