Kota New York.
Letaknya hanya di seberang jembatan, tapi selagi aku berdiri di dekat jendela memandangi langit yang berkabut, aku merasa sangat jauh. Disanalah tempat dimana Millie berada. Disana dia tinggal, bekerja, atau berjalan melintasi trotoar menuju kafe untuk minum-minum bersama temannya. Tempat dimana dia pergi berbelanja, duduk di bangku taman sambil memeriksa email dan menikmati kebisingan kota. Paling tidak itulah yang muncul di benakku saat membayangkannya. Aku menaruhnya di bawah pengawasanku sebagai bentuk perlindungan, aku ingin dia tetap aman tetapi di sisi lain aku juga ingin mengetahui lebih banyak tentangnya.
Lima minggu yang membosankan telah berlalu sejak dia keluar dari rumahku dan Ernesto tampaknya benar-benar sudah melupakannya, hal yang kuharap juga berlaku padaku.
Polisi mengijinkan galerinya di buka kembali hanya berselang sehari setelah kejadian penyerangan itu. Di hari Selasa dan Kamis dia akan mengikuti kelas yoga, hari Rabu tinggal tetap di galeri sampai mereka tutup. Pada hari Jumat biasanya dia minum-minum bersama beberapa temannya di bar lokal, menyesap margarita hingga pipinya berubah merah merona. Aku bahkan mengirim Tom ke Rhode Island ketika dia mengunjungi orang tuanya. Hampir tak terbayangkan bagiku betapa normal dan teratur kehidupannya, dan lebih tak terbayangkan lagi karena dia tampak sangat menikmatinya. Aku nyaris tidak mendengar kabar darinya sejak terakhir kami bertemu, meskipun agak mengesalkan, kurasa memang itu yang terbaik.
Kehidupan Millie berpusat di antara keramaian jalan dan bayangan gedung-gedung pencakar langit di kota. Disanalah dia menjalani hari-harinya dengan normal. Sementara disini aku hanya bisa menyaksikannya dari jauh. Seorang pria asing, kejam, dan kesepian.
Suara tulang yang retak di belakangku baru saja membuktikan itu. Inilah kehidupan normalku. Penuh bahaya, kekacauan, dan ancaman, itulah yang aku alami. Tidak ada yang biasa atau bisa di tebak dari keseharianku, dan itu pula persisnya yang kusukai. Millie dan aku hidup di tempat dimana seharusnya kami berada, hanya itu yang harus kuingat. Daya tarik yang dimilikinya perlahan-lahan mulai merasuki pikiran dan mengganggu konsentrasiku. Semakin aku memikirkan Millie Peterson, semakin lambat pula aku tiba di tujuan.
Tersadar akan posisiku saat ini, aku berbalik, menghadapi tantangan seperti yang biasa kulakukan. Dan hari ini tantangan itu datang dalam bentuk manusia bernama Rod. Rod merupakan seorang kontraktor yang terkadang kami bayar untuk pekerjaan bersih-bersih, dan dia tertangkap beberapa minggu lalu karena mengemudi dalam keadaan mabuk. Ini ketiga kalinya dia ditangkap untuk kasus yang sama, yang menurut peraturan hukum di New York, dia bisa dipenjara selama tujuh tahun.
Alih-alih menutup mulutnya yang cerewet, dia justru membocorkan lokasi salah satu fasilitas penyimpanan kami kepada polisi. Pengiriman suku cadang senjata bukan suatu kegiatan ilegal dan hampir tidak ada undang-undang yang mengaturnya, jadi kepolisian New York tidak bisa menuntutku dengan tuduhan ilegal. Sebagai gantinya mereka menyita barang-barang yang kami simpan disana, dan akibatnya aku harus mengalami kerugian senilai hampir lima juta dolar. Aku bisa menjual barang-barang itu dengan harga dua kali lipat dari pembelian, dan sekarang kesempatan itu sudah lenyap.
Pria ini hanya memiliki tabungan tidak sampai seratus dolar, dia takkan mampu mengganti kerugianku sekalipun dia bekerja seribu tahun lamanya. Jadi malang bagi Rod, karena ada cara lain untuk membayar kesalahannya.
Aku di didik dan di besarkan dalam sindikat kriminal Gasparo, dan salah satu pelajaran yang ditanamkan pada kami sejak kecil adalah membunuh mereka yang pantas untuk di bunuh. Dulunya kebanyakan pekerjaan kotor dilakukan oleh ayahku sebagai kaki tangan Alonzo karena dia tidak akan mau mengurusi hal semacam ini, tapi aku tidak begitu. Aku menangani semuanya, tidak satupun sisi bisnis berada di luar kendaliku. Aku tidak akan menyuruh anak buahku melakukan sesuatu yang aku sendiri tidak mau melakukannya. Termasuk yang satu ini.
Aku ingin wajahku-lah yang dia lihat terakhir kali menjelang detik-detik kematiannya. Aku ingin memperingatkan setiap orang yang berencana mengkhianati kami.
Gagang pisau terasa dingin di tanganku sementara aku mengeratkan genggaman. Aku memilih pisau bergerigi tua yang penuh karat. Ayahku mewariskannya padaku beberapa tahu lalu, itu satu-satunya benda yang menghubungkanku padanya. Well, kurasa dia tidak secara langsung memberikannya padaku. Dia menodongkan pisau ke leherku di hari saat aku menerima surat dari Universitas New York. Aku tidak tahu jalan pikirannya, tapi dia mengira aku hendak memilih masa depan di luar yang sudah dia rencanakan dan dia tidak suka itu. Terkadang, ketika aku ingin mengingat kembali asal-usulku, aku memejamkan mata dan masih bisa merasakan tekanan pisau ini di permukaan kulitku. Mungkin karena itulah aku masih menyimpannya.
Rod menaikkan kepala sedikit sementara aku mendekat, menahan dagunya, dan memaksanya menatapku. Aku berharap menemukan ketakutan dan kepasrahan disana, tapi tatapannya kosong. Dia tahu apa yang sedang dia hadapi, merengek pun percuma karena tidak akan ada jalan keluar.
Dalam situasi normal, aku akan mengulur waktu, menyiksanya selama beberapa hari dan mendeklarasikan kematiannya sebagai peringatan untuk yang lain. Namun, hari ini lain dari biasanya. Aku telah membiarkan diriku terseret ke lubang kelinci Millie Peterson, lalu, sebagai seseorang yang menyukai penderitaan, aku mengakhiri rasa frustasiku dengan kenangan bersama ayahku.
Aku mengangkat pisau tinggi-tinggi, menghujam dengan cepat, menancap tepat di dada Rod. Darah segar menyembur begitu pisauku memutus urat nadinya, dan perlahan-lahan menerbangkan jiwanya. Dia menarik napas panjang terakhir sebelum benar-benar diam tak bernyawa. Pisau di tanganku terjatuh, menciptakan suara berdenting di dalam ruangan sementara Javer dan Damien menatap bingung ke arahku.
"Siapkan mobil." perintahku pada Javer. "Aku mau ke kota."
"Kenapa?" Dia melemparkan tatapan tak setuju, sudah mengetahui kemana tujuanku. Bekerja dengan teman dekatmu bisa menjadi berkah atau kutukan sekaligus.
"Karena aku mau belanja. Apa kau keberatan?" balasku. Aku tidak perlu menjelaskan apapun padanya.
"Ya," dia menyeringai. "Belanja yang kau maksud tidak ada kaitannya dengan wanita, kan?"
Dia dan Damien tertawa.
"Suruh orang lain membersihkan kekacauan ini dan siapkan mobil, sialan!" Aku menyusuri rambut dengan jemariku sambil melangkah hati-hati melewati genangan darah.
Aku mengganti kemeja berlumur darah dengan yang baru dan menunggu Javer di pintu depan. Beberapa menit kemudian, dia keluar dari garasi mengendarai mobilku dan kami langsung melaju ke kota. Aku suka berkeliling sambil memperhatikan orang-orang yang melintas di jalan, dan perlahan rasa sesak di dadaku mulai berkurang.
"Ada tempat khusus yang ingin kau datangi?" tanya Javer, pura-pura tidak tahu.
"Aku hanya ingin memastikan Ernesto tidak mengganggunya lagi." jawabku mengerang, mencengkeram stir kuat-kuat. Hanya Javer yang berani berbicara seperti ini padaku.
"Orion, kau sudah mengawasinya selama beberapa minggu. Tidak ada pergerakan dari anak buah Ernesto. Lagi pula, mengapa kau peduli padanya?"
Mengapa aku peduli padanya? Gadis ini tidak ada hubungan denganku. Aku bahkan tidak mengenalnya, namun entah kenapa aku membiarkannya mengganggu pikiranku, hingga rela berkendara jauh-jauh ke kota untuk sekedar menemuinya. Apa yang begitu istimewa dari gadis ini?
"Aku tahu." bentakku pada Javer.
Aku mengulurkan tangan untuk memukulnya sebelum membuka sabuk pengaman dan turun dari mobil. Javer mengikuti dari belakang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments