Apakah aku sudah gila?
Begitu Orion melangkah dari dapur, sebagian dari diriku ingin mengikutinya agar bisa pulang ke apartemenku dimana aku bisa berbaring dengan nyaman dan berpura-pura seolah dua belas jam terakhir tidak pernah terjadi. Tapi aku harus sabar paling tidak sampai obrolan kami selesai.
Bagaimana mungkin aku memberinya jawaban tentang sesuatu yang bahkan tidak kusadari sedang terjadi? Dan apa maksudnya saat dia bilang mengenalku dengan baik? Manusia itu sungguh tidak waras, dan mungkin aku lebih tidak waras lagi karena mendengarkannya. Namun, aku tidak berani mengesampingkan kemungkinan bahwa dia benar, itu sebabnya aku memutuskan untuk tetap menunggu.
Menyadari aku belum melihat ponselku sejak pagi, buru-buru aku memeriksa tas. Owen pasti khawatir jika mendengar kabar perampokan atau penyerangan di galeri. Pasti ada beberapa barang yang rusak, dan kuharap bukan barang mahal. Owen dan tim marketing tidak mungkin mampu menyelesaikannya sendiri.
Aku mendapat gelar sarjana di bidang seni dan bisnis berkat dorongan kuat dari ibuku, makanya aku rela berkorban mati-matian demi membuka galeri. Pengetahuan Owen tentang seni hanya sekedar dua semester mempelajari sketsa di SMA, itupun bukan karena keingintahuannya, tapi karena guru seni yang tampan. Begitu lulus kuliah, Owen dan aku menghabiskan enam bulan pertama untuk jalan-jalan dan memantau peluang di bisnis seni, dari situlah kecintaannya terhadap lukisan mulai tumbuh. Owen tidak punya lukisannya sendiri, tapi caranya berkomunikasi dengan pelanggan layak diperhitungkan. Bersama-sama kami membentuk tim yang hebat dan kuharap perampokan di galeri tidak akan mengacaukan seluruh rencana masa depan kami.
Aku harus keluar dari tempat ini secepatnya. Jika Orion mengira aku akan bersantai dan menunggunya dengan tenang, maka dia salah besar. Ya, aku memang setuju menunggunya tapi kesabaranku mulai menipis. Kalau masalah ini sebegitu penting untuknya, kenapa dia malah pergi mengurus hal lain?
"Apakah kau tahu dimana ponselku?" kataku mengeluh, menyadari Damien tidak akan mengatakannya meskipun dia tahu, tapi tak ada salahnya mencoba.
"Aku tidak yakin, tapi kurasa Orion menyimpannya. Kau mau sarapan apa?" katanya menawarkan.
Aku memandang Damien dari atas sampai bawah, mempertimbangkan apakah kira-kira aku bisa mengelabuinya. Tubuhnya lebih besar dariku, di tambah otot-otot yang mengancam di balik lengan kaosnya.
"Oh, jangan coba-coba." tegurnya riang sambil menyeringai menyadari perubahan ekspresiku. "Kau bahkan tidak akan sampai ke pintu. Tempat ini dipenuhi penjaga yang dengan senang hati menembak sebelum bertanya. Dan, mereka tidak mungkin menawarkan sarapan untukmu. Nah, sekarang, bagaimana dengan telur orak-arik?" Dia berbalik, membuka kulkas.
Penjaga? Menembak sebelum bertanya? Sial, siapa mereka ini sebenarnya?
Aku tak punya pilihan selain menurut paling tidak untuk saat ini. Lagi pula, perutku sudah protes dan di tembak sama sekali tidak ada dalam daftar keinginanku. Aku menghempaskan diri di sofa. "Okay, telur orak-arik."
Pikiran berkelana selagi mencicipi kopi buatan Damien dan menyaksikannya memasak. Dia tampak sangat menikmati dunianya, bergerak dengan terampil menyiapkan semuanya. Damien mengetahui persis dimana letak peralatan makan, entah dia memang tinggal disini atau Orion mempekerjakannya sebagai juru masak.
"Selamat makan." katanya, mengulurkan sepiring telur orak-arik, roti panggang, dan bacon.
"Terima kasih." balasku, memperhatikan parasnya. Dia terlihat familiar untukku. Apakah aku pernah bertemu dengannya? "Jadi, kau ditugaskan untuk mengurus setiap wanita yang dia culik?"
Damien mendengus. "Kau yang pertama."
"Bagus sekali." Aku mulai menyantap makanan. Harus kuakui Damien cukup pintar memasak.
"Yang pertama aku urus. Biasanya kami membawa gadis yang kami culik ke tempat lain." Dia memberiku seringai iblis, bahagia melihatku ketakutan. "Hanya kau yang masuk ke rumah ini."
Aku menjatuhkan roti panggang ke piring dan menatapnya dengan tajam.
"Hei, aku bercanda." Bercanda? Damien mengisi piringnya dengan porsi dua kali lipat dari milikku, lalu duduk bersebelahan denganku. "Omong-omong, kau terlihat lebih baik pagi ini. Bagaimana perasaanmu?"
"Lebih baik, kurasa. Aku tidak terlalu ingat kejadian semalam. Apa kau juga berada di galeri?"
"Ya, dua kali." jawanya, menyuap sesendok penuh telur ke mulut.
Tiba-tiba aku ingat dimana melihatnya. "Oh, kau yang meracuniku, kan?" Mataku terbelalak menatap makanan, apakah makanan itu aman?
"Meracun?" tanyanya bingung. "Maksudmu memberimu klorofom?"
"Umm, ya."
"Manis, dengarkan ya... aku tidak meracunimu. Kau berada dalam bahaya, sementara aku tidak punya cukup waktu untuk menjelaskan situasinya padamu." gumamnya membela diri, kemudian lanjut makan.
Aku menjauhkan piring, mendadak kehilangan selera makan. "Kalau begitu jelaskan sekarang."
Damien menghela napas, menyapu mulut dengan serbet dan berputar menghadapku. "Bagaimana kau bisa terlibat dengan Ernesto?"
"Dengan siapa?" Aku belum pernah mendengar nama itu seumur hidupku.
"Apakah kau salah satu wanita yang kabur darinya?" desak Damien, mengabaikan pertanyaanku.
"Apa yang kau bicarakan? Aku tidak kabur dari siapapun..."
"Yah, kau pasti membuatnya murka." gumamnya, menaikkan alis.
"Siapa?" Aku benar-benar sudah muak. Aku sama sekali tidak tahu siapa orang yang di maksud Damien, dan tidak tahu kenapa mereka mengejarku.
"Ernesto." Damien memperhatikanku dengan lekat.
Sakit kepalaku mendadak datang lagi dan aku meringis.
"Hei, kau kenapa? Mau kubawakan obat sakit kepala?"
"Tidak! Aku tidak butuh racun lain darimu."
"Oh, ayolah, jangan begitu." katanya, tampak kecewa.
Aku memutar mata. "Lagi pula, siapa Ernesto itu? Kenapa menurutmu aku mengenalnya?"
"Kau sungguh tidak tahu siapa dia?" Ya Tuhan, kuharap aku bisa menghentikan percakapan ini.
"Tidak. Sama sekali tidak tahu." gumamku, mengangkat tangan menyerah. Damien melunak, percaya pada jawabanku. "Dan begitu Orion kembali aku akan mengatakan hal yang sama padanya. Dia bilang ada sesuatu yang harus di kerjakan, boleh aku tahu lebih tepatnya?"
"Dia... bisa di bilang pengusaha. Bukan hanya satu, tapi beberapa bidang sekaligus."
"Dan dia tinggal disini?"
"Kadang-kadang. Ada beberapa rumah lain di Los Angeles dan Miami."
Keluargaku hidup serba berkecukupan, namun ini level baru dari kehidupan orang kaya yang tak kukira nyata. Rumah Orion yang megah ini hanya satu dari sekian banyak yang dia miliki, dan mengingat kembali malam kemarin dia bahkan tidak berkedip saat mengeluarkan puluhan ribu dolar demi sebuah lukisan sederhana, tabungannya pasti lebih banyak dari yang bisa kubayangkan.
"Dan, apakah kau pengawalnya?"
Dia menatapku sambil terkekeh. "Bisa dibilang begitu."

"Apapun," kataku, melangkah ke ruangan dan menutup pintu rapat-rapat. Javer sudah duduk di kursi meja kerja kerjaku, menunggu kedatanganku. Dia bekerja sepanjang malam mengumpulkan semua infomasi tentang Millie, dan mencoba mencari garis yang menghubungkannya dengan Ernesto. Aku membutuhkan sedikit petunjuk sebelum berbicara dengan Millie agar bisa menilai apakah dia jujur atau tidak.
"Aku tidak menemukan petunjuk apapun soal keterikatannya dengan Ernesto, dan tidak ada kegiatan yang mencurigakan." Nada Javer terdengar agak kecewa. "Millie dan temannya membuka galeri beberapa bulan yang lalu. Dia mendapatkan gelar master bidang seni dari Universitas New York, sementara gelar sarjananya dari Universitas California, dan beberapa lukisannya telah laku terjual di Los Angeles sebelum dia pindah kesini. Dia dan adiknya, Elijah, dibesarkan di Jamestown, Rhode Island, oleh kedua orang tua mereka. Susan dan David Peterson. Alergi almond, atlet lari sewaktu SMA, nilai rapor cukup bagus..."
Javer terus berbicara, dan aku menghentikannya. Millie Peterson terlihat normal di atas kertas, tapi berbeda dengan kehidupan nyatanya. Dia penuh semangat dan misterius, dan saat melihatnya berjalan mondar-mandir di kamar mandi pagi ini, aku lupa dia berada di sana karena suatu alasan yang lebih penting lebih dari yang kuinginkan. Dan sialnya, aku memang menginginkannya.
Dia menantangku setiap kali dia membuka mulut, tanpa mengetahui dunia macam apa yang kujalani. Aku sudah membunuh puluhan orang yang mencoba mendebatku, sementara Millie membuatku ingin memberinya pelajaran dengan cara yang lain, sehingga dia mendesah dan menjerit puas. Aku ingin dia melilitku dengan kakinya sementara aku mencium bibirnya dengan keras. Bibir yang bisa digunakan untuk sesuatu yang lebih berguna selain membantah perkataanku.
Millie sangat menarik, mungkin ceritanya akan berbeda jika kami bertemu di tempat dan situasi yang berbeda pula, namun sekarang dia sudah terlibat dalam duniaku. Membawa masalah tepat setelah aku bertemu dengannya.
"Orion, apakah kau mendengarku?" kata Javer, bersandar ke meja.
"Maaf, kau bilang apa tadi?"
"Kubilang semuanya sudah kuperiksa, kecuali satu hal. Aku tidak bisa menemukan informasi sejak dia lahir sampai berusia lima tahun."
"Hah? Kenapa?" tanyaku heran.
"Aku tidak tahu. Dari data kelahirannya Susan Green memang tercatat sebagai ibunya, tapi tidak ada nama ayahnya sampai mereka melakukan pemeriksaan kesehatan rutin tahunan pada saat dia berusia lima tahun, disitulah dia resmi menyandang nama Peterson. Tom sudah melacak semua sumber data untuk melengkapi teka-teki ini, tapi dia juga tidak menemukan apa-apa. Siapapun yang menyimpan informasi Millie, mereka benar-benar melakukannya dengan sangat baik."
"Demi seorang anak kecil? Kenapa mereka mau melakukan itu?" Ini tidak masuk akal. Lima tahun pertama di hidupnya hilang tanpa jejak. Tidak ada data ayah sama sekali.
"Entahlah. Tapi, apa ini penting? Dia berkata jujur soal Ernesto dan kurasa mereka benar-benar tidak ada ikatan."
Kelihatannya memang begitu, namun aku yakin bukan itu cerita sesungguhnya. Millie mungkin tidak terhubung dengan Ernesto, tapi Ernesto menyerangnya. Jadi, apakah itu merupakan serangan acak? Akankah mereka kembali untuk menyelesaikan tugas mereka? Aku tidak mau melepaskannya tanpa mengetahui motif Ernesto, tapi apakah aku punya pilihan lain? Aku bisa saja menahannya sampai kami mengetahui dengan pasti akar dari masalah ini, tapi masalah lain pasti akan bermunculan.
Keberadaan Ernesto tidak pernah mengancam organisasiku, tapi tak berarti aku lantas mau memulai perselisihan tanpa alasan yang jelas. Organisasi kami tidak pernah sepaham selama bertahun-tahun lamanya, dan aku tidak akan mengambil langkah keliru yang berpotensi memperkeruh suasana. Mungkin agar lebih yakin, aku perlu mengunjunginya dan memastikan keamanan Millie.
Namun, meskipun begitu, demi kebaikan bersama Millie harus pulang ke rumahnya. Apapun yang terjadi di antara dia dan Ernesto sama sekali tak ada hubungannya denganku, dan semakin lama dia berkeliaran di rumahku, semakin sulit pula bagiku menjauhinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments