Tak ada pengalaman yang lebih menyenangkan di dunia jika di bandingkan dengan jalan-jalan sore di sekitar taman Ave pada hari Jumat. Hari kerja terakhir setiap minggu. Trotoar penuh dengan pejalan kaki yang akan pulang ke rumah. Tidak seorang pun tersenyum atau saling bertegur sapa. Kebanyakan dari mereka memakai earphone, berjalan sambil menunduk, menyusup di antara kerumunan, berharap bisa secepatnya sampai di rumah. Mereka baru akan menyadari keberadaan orang lain ketika tanpa sengaja tertabrak atau menabrak, lalu meminta maaf sebagai formalitas. Itu pun jarang.
Sore ini, akulah salah satu dari orang-orang itu. Berjalan santai menuju sebuah restoran yang di pilih Orion. Namun, saat aku menengadah, alih-alih melihat restoran, aku justru berhadapan dengan hotel. Lebih tepatnya, hotel The Alonia. Salah satu hotel paling terkenal di seluruh dunia. Aku pasti salah, apakah alamatnya sudah benar? Aku bergeser ke samping untuk melihat pesan dari Orion, tapi seseorang menabrak bahuku.
"Oh, maaf." kataku, terkejut.
Aku mengangkat kepala dan berhadapan dengan sorot mata dingin yang membuatku merinding. Untuk sesaat pria itu memandangku lalu menyeringai sinis. Kemudian dia berbalik masuk ke dalam hotel dan menghilang. Kami hanya berpapasan beberapa detik, namun ada perasaan ngeri yang tak mampu kutepis. Belakangan aku sering merasa seperti itu semenjak kejadian di galeri. Sedikit saja suara berisik terdengar di malam hari, aku akan mengira mereka datang lagi untuk menyelesaikan tugas yang tertunda. Aku selalu ketakutan dan cemas.
Aku memeriksa alamat yang diberikan Orion sekali lagi, dan ternyata sudah benar. Ada tiga restoran di dalam hotel, tapi aku tidak tahu restoran mana yang dia maksud. Gedung ini sendiri terdiri dari delapan belas lantai dengan lampu menyala hampir di setiap kamar. Selama tinggal disini, The Alonia sudah masuk dalam daftar target kunjunganku. Tidak mungkin aku bisa menginap di hotel semewah ini dan aku yakin biaya satu kali makan malam di restoran ini cukup untuk membayar tiga bulan tagihan kredit mobilku. Atau bahkan lebih.
Melangkah ke lobi, aku mencoba menelepon Orion tapi terhubung ke pesan suara. Sambil duduk menunggu, aku bertanya-tanya kenapa aku mau makan malam dengannya? Seandainya ini memang hanya pertemuan bisnis biasa seperti yang dikatakan Orion, apakah harus di restoran semewah The Alonia? Makan siang terdengar lebih wajar. Atau bahkan duduk di kantorku seperti yang dilakukan klien pada umumnya. Namun, tidak ada kenormalan jika membahas Orion atau situasi di antara kami. Ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa aku abaikan, dan walaupun berat mengakuinya, beberapa minggu ini dia terus muncul dalam benakku.
Sering kali aku memikirkannya meski dia begitu asing, dan yang kutahu hanyalah dia sangat berbahaya. Dan apapun yang dia inginkan dariku mungkin berbahaya juga. Orion terlalu dewasa dan berpengalaman sehingga membuatku sulit mengimbanginya. Aku tidak kekurangan rasa percaya diri, tapi saat berhadapan dengan Orion, aku langsung merasa lemah tak berdaya. Belum lagi jika dia menatapku dengan cara yang membuat lututku lemas, oh Tuhan... Pilihan teraman untuk mengatasi daya tariknya adalah memutus kerja sama kami, tapi rasanya aku tidak sanggup.
Ponselku berbunyi saat mendapat pesan dari Orion.
'Aku masih meeting. Beritahu namamu ke resepsionis dan dia akan mengantarmu ke atas. Sebentar lagi aku selesai.'
Ke atas? Apa maksudnya kamar hotel? Pertemuan bisnis macam apa ini?
Dengan ragu-ragu aku melangkah ke meja resepsionis.
"Ada yang bisa kubantu, Miss?" katanya ramah.
"Ya, namaku Millie. Orion Alano memintaku datang kesini... untuk membicarakan pekerjaan." Pipiku panas menahan malu. Orion tampak seperti tipikal pria yang sering menghabiskan waktu bersama para gadis.
"Tentu saja." Ekspresinya langsung semangat. "Mr. Alano memang agak terlambat. Mari aku antar ke atas, kau bisa menunggunya disana."
"Terima kasih."
Aku mengikutinya berjalan ke lift, menunggunya bersuara untuk memecah keheningan, tapi dia tetap diam sampai lift berhenti, dan saat kami keluar, dia melambaikan tangan pada seorang pria lain yang membalasnya dengan anggukan.
"Ini restoran Cove." katanya menjelaskan. "Restoran makanan laut kelas dunia milik kami. Kau akan menemukan bar-bar penuh hidangan laut. Silahkan memesan apapun yang kau inginkan selagi menunggu Mr. Alano."
Si resepsionis bahkan tidak menunggu responku sebelum berbalik dan kembali lagi ke dalam lift.
Teman si resepsionis menuntunku ke pintu masuk restoran dan begitu kami melewati pintu, napasku tersedot oleh pemandangan yang sangat mengagumkan. Tempat ini sangat menakjubkan, tidak seperti restoran yang pernah kudatangi sebelumnya. Terdapat beberapa meja, tapi sebagian besar merupakan sesi kecil dengan perabotan kayu mahal yang dihiasi bantal warna-warni dan mewah yang pasti membuatmu merasa seperti di awan saat kau mendudukinya. Serangkaian lampu teras digantung membentuk semacam langit-langit terbuka, sementara penerangan lainnya bersumber dari nyala perapian dan lilin di atas meja. Pengunjung malam ini cukup ramai tapi tidak padat.
Aku mendekati pagar pembatas sembari memandang ke kejauhan. Rasanya seperti sedang berdiri di atas awan, di antara bintang-bintang. Indonesia
the city stretched out beneath, and it was almost surreal to see the chaos below in virtual silence. Penampakan kota terbentang di bawah, dan hampir seperti mimpi bisa melihat kekacauan disana dalam keadaan hening.
"Indah, kan?" Seorang pria berdiri di sebelahku, menyandar ke pagar dengan mata memandang ke depan. "Jika cuaca cerah, kau bisa melihat kelima simbol kota New York."
Aku meliriknya, samar-samar mengingat wajahnya. Dimana aku pernah melihat pria ini? "Apa aku mengenalmu?"
"Kita pernah bertemu." Dia menyeringai, berputar menghadapku. "Yah, semacam itu. Aku Tom, orang yang menembak pria yang menyerangmu di galeri."
Aku menarik napas dalam-dalam saat teringat kejadian itu. "Oh. Terima kasih."
"Sama-sama." katanya, mengedipkan mata. "Jadi, apa kau suka makanan laut? Restoran ini menyajikan lobster raksasa."
"Lobster sepertinya enak." jawabku tersenyum. "Apakah kau kesini untuk membicarakan soal lukisan dengan Orion dan aku?"
Jika Tom ikut, itu berarti mungkin pertemuan ini murni urusan bisnis, bukan motif tersembunyi dari Orion. Tapi aku mulai heran, apakah dia tidak bisa melakukan apapun tanpa temannya?
"Oh, tidak. Jam meeting Orion sedikit meleset dari jadwal, jadi dia memintaku menemanimu sementara menunggu."
"Maksudmu menjaga?" Ini kedua kalinya dia menyuruh orang lain mengawasiku saat menunggunya.
Tom mengangkat bahu. "Aku datang untuk mengusir kebosanan. Bagaimana kalau kita memesan minum, dan aku akan membocorkan skandal pria-pria kaya yang ada di restoran ini?"
Tom mengajakku ke bar, memesan segelas wiski untuknya dan wine untukku. Tanpa menunggu lama pesanan kami langsung datang dan Tom berbalik menghadap ke depan. Aku selalu suka memperhatikan orang lain, melihat gerak-gerik mereka, bagaimana ekspresi mereka sesekali berubah, atau tersenyum ketika menemukan sesuatu yang lucu. Restoran ini dipenuhi oleh pengusaha dan orang-orang terkenal. Politisi, selebritas, dan CEO dari berbagai penjuru dunia dikelilingi wanita-wanita muda dan cantik yang hanya ingin menumpuk tabungan mereka. Pelayan bergaun hitam ketat berpindah dari satu meja ke meja lainnya, membawa nampan penuh gelas-gelas berisi minuman, melihat banyaknya uang yang dihamburkan di tempat ini benar-benar menjijikkan. Sungguh berbeda dari kehidupan masyarakat di bawah sana.
"Kau lihat pria itu?" Tom menunjuk seorang pria yang bersandar ke sofa, dua wanita duduk masing-masing di sebelah kanan dan kirinya. "Dia penjabat gubernur di musim gugur. Selama hampir empat tahun belakangan, dia selalu datang ke restoran ini pada hari Jumat."
"Dan istrinya tidak tahu?"
"Oh, istrinya tahu. Tapi seperti yang kubilang, mereka berkuasa. Istri-istri mereka lebih memilih menutup mata demi mempertahankan gaya hidup hedonis. Tempat ini menjanjikan kebebasan, itulah kenapa orang-orang seperti mereka senang kesini." Tom menyeringai lagi, menenggak wiski lalu meletakkan gelas di atas meja. "Dan pria yang disana? Dia pengawas salah satu yayasan sekolah khusus anak orang kaya. Sementara wanita berambut merah yang menempel padanya adalah guru TK di yayasannya."
Tom sungguh orang yang tepat jika membutuhkan teman bergosip karena aku tidak punya kisah menarik untuk di ceritakan, sementara dia tahu semuanya. Dan keseringan kisah kehidupan nyata lebih sedap di dengar.
Tanpa sengaja aku beradu pandang dengan seorang pria di seberang bar. Wajahnya memang tidak terlalu jelas, tapi aku yakin dia pria yang tadi menabrakku di depan hotel. Aku menunduk, mengabaikannya sambil berpikir bagaimana mungkin dia bisa masuk kesini. Penampilannya sama sekali tidak cocok dengan pria-pria yang dijelaskan Tom.
"Bagaimana dengan yang itu?" tanyaku, mendorong dagu tanpa menoleh ke arah pria di seberang bar.
Tom berbalik untuk melihatnya. "Yang mana?"
Ketika aku menengadah, dia sudah menghilang. "Lupakan." kataku, menyesap wine. Apakah aku hanya mengkhayal?
Seorang pria lain muncul mendekati Tom dan membisikkan sesuatu ke telinganya. Menilai kerutan di wajah Tom, sepertinya dia tidak senang dengan berita yang dia dengar. "Sayang sekali, aku tidak bisa berlama-lama. Tetap disini dan pesan apapun yang kau mau, Orion akan segera datang. Senang berjumpa lagi denganmu, Millie."
Dia pergi, meninggalkanku sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments