Demi Tuhan, kumohon siapapun, bangunkan aku. Aku sudah mengotori jasnya dan sekarang dia mau membeli lukisanku?
Javer mengeluarkan kertas cek dan bolpen dari jasnya. "Miss?" katanya, menarik perhatianku, tapi aku belum bisa mengalihkan pandangan dari Orion. "Atas nama siapa ceknya?"
Aku mengerjap. "Uh, Millie Peterson."
Javer mencoret-coret cek sebelum menyerahkannya padaku. Kami bahkan belum membahas harganya, jadi aku meraih cek itu dengan bingung. Saat aku melihat nilai uang yang ditulis Javer, jantungku benar-benar lupa bekerja selama beberapa detik.
Tiga puluh ribu dolar!
Orang gila macam apa yang menyerahkan cek sebesar ini? Aku bisa merasakan darahku juga berhenti mengalir.
"Miss Peterson, apa ada yang salah? Apakah harga lukisannya lebih dari itu? Aku bisa menulis cek lain. Katakan berapa..." desak Javer bingung.
"Oh, tidak. Ini... ini terlalu banyak." gumamku, tersenyum gugup sambil mengembalikan cek itu padanya.
"Boss menyuruhku membayar segitu, Miss." Javer menggeleng.
"Aku paham, tapi... ini lebih dari dua kali lipat harga lukisanku."
"Kupikir kau terlalu meremehkan bakatmu, Miss Peterson." Javer tersenyum. "Simpan uangnya. Jikan Orion mengatakan itu harga yang pantas, berarti memang begitu. Kami akan kembali besok untuk mengambil lukisannya."
"Okay." Aku tersenyum, mencoba mencairkan suasana. "Kupastikan besok tidak ada wine."
"Kurasa itu ide yang bagus." Javer terkekeh, kemudian beranjak pergi.
Aku masih gamang dan bingung hingga sisa malam itu berakhir tanpa kejutan lain. Sepertinya lebih baik begitu karena aku takkan sanggup bertahan lebih lama.
"Malam ini benar-benar luar biasa!" kata Owen, sibuk mengumpul gelas-gelas kosong yang tertinggal di galeri.
"Ya." balasku setuju.
"Hei, apa kau keberatan menutup galeri sendiri? Aku ada janji minum-minum dengan Brad." Dia melihatku dengan tatapan memohon.
"Brad si pengacara? Tidak masalah." kataku, mengingat-ingat apakah sebelumnya dia pernah menyebutkan nama Brad padaku. Aku cukup yakin belum pernah. Owen berpindah dari satu pria ke pria lain lebih cepat dari laju pesawat tempur.
"Bukan, si pengacara itu Louis. Brad juru masak!" Owen menyeringai, meraih tas dan jaketnya. "Kau yang terbaik, Millie. Dan ingat, besok kita akan merayakan DUA penjualan hari ini. Eh, tapi omong-omong, berapa harga lukisan kedua?"
"Oh, aku memberi mereka harga yang bagus." kataku berbohong. Entah kenapa aku tak bisa jujur pada Owen soal Orion, aku merasa ada yang aneh sehingga tidak berani mengucapkannya dengan lantang.
"Mantap. Well, sampai jumpa besok." cetus Owen, mencium pipiku. "Kabari aku kalau sudah sampai di rumah."
"Hati-hati." Aku berteriak padanya lalu pintu depan tertutup.
Aku melanjutkan sisa pekerjaan Owen dan baru akan pulang ketika tiba-tiba terdengar suara berisik dari ruang belakang galeri.
"Helo?" panggilku, berpikir mungkin itu salah satu pengunjung yang tak kusadari masih berada di toilet.
Tak ada jawaban. Dengan ragu-ragu aku mendekati sumber suara. Lorong ke arah belakang sudah gelap, dan dentum hak sepatuku menggema dengan keras. Aku sudah pasti gagal kalau ingin mengendap-endap.
Aku terkejut setengah mati saat ada tangan membekap mulutku dan menarikku mundur sampai punggungku menghantam sesuatu. Atau seseorang.
"Mmm..." Aku berusaha menjerit, tapi sia-sia karena mulutku tertutup rapat. Siapapun orang ini, tenagaku tidak sebanding dengannya. Kemudian mendadak tubuhku seolah melayang menghantam dinding dan dia mencekikku.
"Hello, Millie." katanya, menggeram kasar. Dari mana dia tahu namaku?
"Apa yang kau inginkan?" Aku gemetar, berusaha menarik napas. "Kami tidak memiliki uang tunai..."
Senyum sinis mengembang di sudut bibir si pria asing. "Oh, sayang, aku sudah mendapatkan apa yang kucari." dengusnya. "Kau, Millie."
Aku mengayunkan lutut, menendang dengan keras tepat di antara kedua pahanya. Dia meringis, kehilangan kendali selama beberapa saat, memberiku waktu untuk lari secepat mungkin ke depan galeri.
Derap langkahnya berdentum di belakang sementara aku hampir terguling karena hak tinggi yang kukenakan. Dasar sepatu sialan! Tak mau menyerah, aku melepaskan dan melemparkannya ke belakang berharap salah satu atau bahkan keduanya mengenai mata pria itu.
Aku hampir mencapai pintu saat sepasang tangan menarikku kembali, dan mendorongku ke belakang. Seorang pria lain muncul lalu membantingku ke lantai dengan keras. Aku mengerang. "Wanita sialan!" Desisnya, memukul pipiku dengan pistol. Pistol?
Aku masih belum menyadari apa-apa karena menahan sakit sampai terdengar suara robekan kain yang ternyata adalah gaunku. Dia menahan kedua tanganku di atas kepala.
"Hei, apa kau sudah gila? Dia ingin kita membawanya dalam keadaan baik." kata pria yang muncul berikutnya. Aku tidak mengenali satupun dari mereka dan jelas tidak tahu apa yang mereka inginkan dariku.
"Aku janji tidak meninggalkan bekas." Pria di atasku menyeringai sementara air mataku mulai mengalir. Aku yakin inilah saatnya. Aku akan mati disini, di lantai galeri yang dingin, dan yang bisa kulakukan hanya menutup mata rapat-rapat, berharap semoga ini tidak lama.
"Lepaskan dia!" Sial, berapa jumlah mereka sebenarnya?
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya pria di atasku.
"Kubilang lepaskan dia!" Tunggu, dimana aku mendengar suaranya?
"Dengar, bung..." Pertama hanya satu, tapi kemudian muncul dua suara tembakan berikutnya. Oh, Tuhan. Hidupku benar-benar berakhir disini.
Setelah beberapa detik tidak merasakan sakit, aku menyadari bukan aku yang tertembak melainkan pria yang menyerangku. Dia tumbang ke belakang sementara aku langsung beringsut menjauhinya, dan mulai memandang ke sekitar.
Javer? Apa yang dia lakukan disini?
"Sialan kau, Tom!" Javer menunjuk ke arah pintu, satu pria lain yang menyerangku tadi berdiri disana. "Aku bisa mengurus ini!"
"Kelihatannya tidak begitu." Tom menyeringai, masuk ke dalam galeri.
Isak tangisku semakin keras dan mereka berpaling kepadaku, baru sadar aku masih berada di dalam. Sekujur tubuhku membeku karena takut.
"Sial." Javer buru-buru menghampiri.
"Apa yang kau..." desisku gemetar. Apakah dia juga ingin membunuhku? Aku bersyukur Javer dan Tom baru saja membunuh pria yang menyerangku, tapi apakah aku aman bersama mereka?
"Dengarkan aku," kata Javer, menyentak lenganku. "Sembunyi di balik sofa. Jangan kemana-mana. Komplotan pria ini masih ada di belakang. Jadi, jangan beranjak dari sini sampai aku datang. Kau paham?"
Memangnya aku punya pilihan?
Javer dan Tom menghilang ke bagian belakang galeri dan tak lama suara tembakan kembali memantul di dinding. Aku tidak mau menunggu dan memilih berlari menuju pintu depan. Siapa yang mau mati di tertembak? Tentu bukan aku.
Kakiku bergerak secepat kilat sampai akhirnya aku berhasil keluar dari galeri dan baru hendak berbelok ke lapangan parkir ketika aku menabrak seseorang.
Dia menangkap tubuhku sebelum terjatuh dan lagi-lagi aku di bekap. Oh, tidak, tidak, tidak. Ini tidak boleh terjadi.
Rasa sakit mulai menjalar dari hidung, tenggorokan, tenggorokan sampai ke paru-paruku. Aku merasa perlahan tubuhku melemas, dan selama beberapa detik aku menahan mata untuk melihat siapa yang kali ini berhasil mendapatkanku. Entah ini keberuntungan atau kesialan, tapi aku mengenali orang ini. Dia salah satu pria yang datang ke galeri bersama Orion.
"Seharusnya kau mendengarkan Javer." katanya, menggelengkan kepala.
Dialah yang terakhir kulihat sebelum semuanya berubah hitam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments