Begitu sopir Orion mengantarku dengan selamat sampai ke apartemen, aku berjalan menaiki tangga seperti zombie. Tubuhku lelah dan remuk, dan satu-satunya kegiatan yang terdengar menyenangkan hanya berbaring di ranjang, meratapi diri dengan sebotol wine murah, dan menonton film komedi romantis. Situasi dalam dua puluh empat jam terakhir membuatku bertanya-tanya ada apa dengan hidupku? Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang kuharap segera hilang jika aku tidur cukup lama.
Lobby apartemen tampak sangat sepi, tidak seperti biasanya selalu ramai pada jam-jam orang pulang kantor. Ada sekitar tiga ratus unit di satu gedung apartemen ini, milikku berada di lantai dua belas. Menghindari kemungkinan berpapasan dengan seseorang dan bertegur-sapa, aku memutuskan naik melewati tangga. Aku sangat lelah dan siap tumbang begitu sampai di lantai unitku.
Sementara merogoh tas untuk mencari kunci, ponsel baruku berdering. Nama ibuku tertulis di layar. Aku tahu dia pasti cemas, jadi alih-alih menolak seperti yang kuinginkan, aku menjawab panggilannya.
"Hai, mom." kataku, melangkah ke dalam apartemen yang kini tampak sangat kecil setelah menghabiskan waktu di mansion Orion. Sulit kupercaya semua ruangan masih terlihat persis seperti ketika aku meninggalkannya, karena aku merasa seakan hidup di keabadian seharian ini.
"Millie! Oh, terima kasih, Tuhan! Kami mencoba menghubungimu sejak pagi. Aku ketakutan setengah mati begitu melihat berita tentang perampokan di galerimu, semua stasiun tv menyiarkannya. Kau tidak berada disana, kan?" Suaranya terdengar lelah, dia pasti tak berhenti meneleponku. Aku merasa bersalah karena tidak menduga berita kasus galeri akan tersebar dengan cepat.
"Tidak, aku tidak disana, mom." jawabku berbohong. "Aku menginap di rumah temanku semalam. Maaf aku tidak sempat menelepon. Aku tidak tahu stasiun tv langsung menyiarkannya, dan ponselku kehabisan baterai." Lebih tepatnya dihancurkan, oleh komplotan orang yang membius dan menculikku.
"Yah, tentu saja mereka langsung menyiarkannya! Beberapa lukisan dicuri dan dua orang pria tak dikenal... ditemukan tewas! Aku bersyukur kau tidak disana, sayang, siapa yang tahu apa yang akan terjadi?" Oh, aku tahu, mom.
"Ya, aku juga bersyukur, mom."
"Bagaimana pembukaan galerinya?" tanya mom, berbisik menyuruh Elijah dan dad diam. Sudah hampir dua bulan sejak terakhir kali aku pulang ke Jamestown, dan mengingat kejadian semalam, mungkin yang aku butuhkan saat ini adalah mereka.
"Semuanya lancar, mom. Aku berhasil menjual lukisan pertamaku, dua sekaligus." Aku mengambil sebotol wine dari kulkas dan menuangnya ke gelas. Hari-hari semacam inilah saat dimana aku sangat menginginkan wine. Pikiranku benar-benar berkecamuk.
"Oh, bagus sekali, sayang. Kami sangat bangga padamu. Dave, dia menjual dua lukisan tadi malam. Ya, dua! Dad bilang dia bangga padamu, Mills." Keriangan nada mom membuatku tersenyum.
"Terima kasih, mom. Apa kalian di rumah akhir pekan ini? Aku ingin pulang." Dalam hati aku sudah merencanakan perjalanan ke rumah. Aku membutuhkan sedikit dorongan mental dan mom orang yang tepat mengisi bagian itu. Aku belum menelepon Owen, tapi jika galeri menjadi tempat kejadian perkara, aku yakin kami masih harus tutup hingga beberapa hari ke depan.
"Tentu saja, sayang. Kami sudah tidak sabar ingin berkumpul denganmu. Belum ada rencana untuk minggu ini selain pertandingan bola Elijah di hari Jumat. Apa kau bisa ikut?"
"Bisa sekali, mom. Aku harus menelepon Owen, ada beberapa hal yang perlu kami bahas soal galeri. Aku beritahu nanti kapan aku berangkat, ya." gumamku, merasa lebih baik.
"Baiklah, Mills. Kami sangat menyayangimu. Sekali lagi selamat atas pembukaan galerinya, Nak. Aku menunggumu."
"Sampai jumpa, mom. Sampaikan pada Eli dan dad aku juga menyayangi mereka."
"Daa, sayang."
Gelasku hampir kosong saat mom memutus sambungan telepon dan mulai mengisi bak mandi. Berendam di air hangat dengan sabun aroma terapi merupakan kegiatan favoritku untuk menenangkan diri. Aku bak mandi besar di rumah yang menjadi tempat pelarian setiap kali aku mengalami hari yang buruk.
Aku baru saja ingin membuka pakaian ketika tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu apartemenku, membuatku tersentak. Biasanya, Daniel, petugas lobi akan menelepon jika seseorang ingin bertemu denganku. Aku mengintip dari lubang pintu untuk melihat siapa yang datang, namun kemudian agak kesal dan lega sekaligus saat mendapati Jack berdiri di depan.
Sebagian dari diriku ingin mengabaikannya dan berpura-pura sedang tidak di rumah, tapi dia tidak akan menyerah. Dengan terpaksa aku membuka pintu, menyambutnya dengan tatapan tajam. Jack adalah orang terakhir yang ingin kutemui hari ini, sial, bahkan pria-pria semalam terdengar lebih asik.
"Kau masih hidup!" Dia menyeringai angkuh.
"Masih." Jack bukan pria biasa, dia mantan kekasihku. Kekasih yang mengkhianatiku berulang kali, memperlakukanku seperti sampah, lalu datang memohon ampunan setiap saat dia menginginkanku lagi. Terakhir kali dia melakukannya, aku sudah tertipu dengan bujuk rayu dan omong-kosongnya, tapi dia terus datang tanpa di undang. Sekarang aku tahu kenapa Daniel tidak menelepon, dia sangat mengenal Jack.
"Ibumu menghubungiku." Dia melangkah masuk ke dalam apartemen tanpa menunggu di persilahkan. Aku memutar mata, membanting pintu dengan keras berharap dia tahu kehadirannya sama sekali tak diharapkan. "Dia sangat khawatir karena tidak mendengar kabar darimu dan bertanya apakah aku bisa memeriksa keadaanmu."
"Well, sekarang kau sudah tahu aku masih hidup dan baik-baik saja. Lagi pula, aku baru meneleponnya, jadi dia juga sudah tahu bahwa aku baik-baik saja." Aku melipat kedua tangan di dada. "Kau boleh pergi."
"Kau yakin tidak apa-apa?" Apa dia benar-benar khawatir? "Kau tidak di galeri semalam, kan? Kenapa kepalamu terluka?" Ekspresinya berubah cemberut melihat keningku.
"Ini luka lama. Sungguh. Aku baik-baik saja, Jack. Hanya sedikit lelah."
"Baiklah. Apakah polisi sudah mengetahui siapa kira-kira yang merusak galerimu?"
"Aku tidak yakin. Aku sama sekali belum bicara dengan mereka. Kau tahu lukisan-lukisan itu sama pentingnya seperti keluarga bagiku, dan aku butuh waktu untuk mencerna semuanya."
"Aku paham, maaf kau harus mengalami ini." Jack yang sentimental adalah spesies baru. Ketika kami masih menjalin hubungan, dia tak peduli tentang lukisanku dan selalu mengatakan aku hanya membuang-buang waktu.
"Terima kasih."
"Mau makan malam denganku di akhir pekan?" tanya Jack, memasukkan tangan ke saku celana.
"Akhir pekan ini aku berencana pulang ke rumah." Setidaknya aku punya alasan yang jelas untuk menolaknya.
"Bagaimana kalau setelah kau kembali dari sana?" desaknya.
"Jack, aku tidak bisa makan malam denganmu. Hubungan kau dan aku sudah berakhir, ada baiknya kita menjaga jarak."
"Aku mengundangmu sebagai teman, Mills."
"Aku bukan temanmu."
Jack tampak kaget dengan ucapanku, raut kecewa terlihat jelas di wajahnya. "Okay. Telepon aku seandainya kau berubah pikiran, atau jika kau membutuhkan sesuatu."
"Terima kasih, Jack." balasku bersungguh-sungguh.
Setelah Jack pergi, aku menutup pintu rapat-rapat dan memastikan sudah terkunci dengan benar. Seperti biasa, Jack selalu menemukan cara untuk menggangguku. Seharusnya aku biarkan saja dia di luar alih-alih berbaik hati memberinya ruang. Sekarang aku bahkan merasa lebih buruk dari sebelumnya. Agak bersalah karena mengusirnya secara halus, sekaligus agak sedih karena dia jauh lebih baik.
Menyadari di titik ini tubuh dan pikiranku tak sanggup lagi bergerak lebih lama, aku hanya menyikat gigi dan membasuh wajah sebelum membenamkan diri di balik selimut. Sambil berbaring aku memeriksa ponsel yang diberikan Orion dan melihat-lihat fitur baru yang ada disana. Ponsel ini jelas lebih canggih dibandingkan dengan ponselku.
Nyaris tanpa sadar, aku membuka daftar kontak sampai menemukan namanya. Aku mempertimbangkan untuk meneleponnya tapi apa yang harus kukatakan? Aku merindukanmu? Aku baru mengenalnya dalam beberapa jam terakhir dan tidak ada sisi lembut yang tampak darinya. Dia arogan dan bersumbu pendek, dan aura memuakkan darinya tak bisa aku lupakan. Meskipun begitu, tetap ada juga sisi menarik dan misterius, dan perpaduan dari semua itu membuatnya lebih berbahaya lagi. Aku sudah pernah berhubungan dengan tipikal pria semacam itu, dan aku tidak memiliki waktu untuk memperbaikinya.
Ada sesuatu yang lain dari Orion yang sulit di abaikan, dan pikiran-pikiran tentangnya terus menghantuiku. Dia bersikap seolah aku ini tidak penting sama sekali, tapi mau repot-repot memberiku ponsel baru dan memasang kamera pengawas di komplek apartemenku demi memastikan keamananku. Tidak perlu pendidikan tinggi untuk mampu melihat hal mencurigakan dari gerak-geriknya, tapi aku punya firasat dibalik sifatnya yang terkesan angkuh dan kasar, dia juga penyayang.
Orion benar-benar membuatku penasaran. Aku ingin mengenali sifatnya lebih jauh, apa yang dia lakukan di waktu luang, atau jenis musik apa yang dia dengarkan. Namun, satu pertanyaan yang sangat penting sekarang adalah siapa dia sebenarnya? Bagaimana bisa dia tersesat di galeriku? Apakah ada kesempatan bagiku menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments