BAB 3
Mentari pagi menerobos kisi kisi bangunan itu, membuat terang lantai dua. Tempat Fariz tertidur. Anak Lelaki itu membuka matanya perlahan lahan, menyingkap selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Fariz menatap kesana kemari. Tengah mencari sesuatu.
"Kemana boneka itu?" Fariz mulai mencari di kolong tempat tidurnya, lemari, laci, dan semua tempat yang kemungkinan boneka itu ada. Namun, hasilnya nihil.
Selama lima belas menit mencari di setiap sudut kamar, ia menyerah. Kemarin boneka itu berdiri, mengeluarkan darah dari matanya, bicara hal aneh padanya, dan sekarang menghilang begitu saja. Apa sih maksudnya?. Fariz berfikir sejenak.
"Ah.. sudahlah. Paman pasti sedang menungguku sekarang. Aku harus bergegas mandi." Anak itu mengambil handuk berwarna coklat, di lemarinya. Membuka pintu. Lantas menutupnya kembali.
Di lantai bawah pada waktu yang sama, seseorang dengan wajahnya yang mengerikan, karena bekas luka bakar. Ia sudah rapih mengenakan celana kain berwarna abu abu, pakaian kotak kotak hijau. Sudah setengah jam lalu ia memasak makanan, dan menutupnya dengan tudung saji. Meninggalkan pesan di tudung saji itu.
Ia mulai melangkah ke bingkai pintu, dan pergi meninggalkan rumah, ia pergi mengendarai sebuah motor, ke arah timur. Tak lama sepeninggal orang itu, sebuah motor lain yang datang dari arah barat, mulai merapat ke pintu gerbang, ia memarkirkan motor putih itu di halaman rumah. Lelaki itu tidak lain lagi. Ia Ayah Fariz, yang baru saja datang. Burhan juga membawa sekantong besar belanjaan untuk Fariz.
Burhan langsung melangkah, membuka pintu berteriak ke lantai atas. Seakan tau, Putra sulungnya ada di sana.
"Fariz.. Ayah pulang!!"
Di lantai dua, Fariz yang tengah mengeringkan rambut serta memakai pakaian, menoleh mendengar suara itu. Ia langsung bergegas mempercepat gerakannya.
Burhan yang wajahnya tampak lelah itu, terduduk di ruang tamu. Menunggu Fariz di situ.
Setelah tergesa gesa memakai pakaian, ia juga menuruni anak tangga dengan gembira.
"Ayah!!" Fariz telah tiba di ujung anak tangga terakir, tersenyum lebar melihat Ayahnya baik baik saja. Burhan membalas senyuman Anaknya.
"Sini, duduk nak!" Burhan menepuk nepuk kursi di sebelahnya, memberi kode agar Fariz duduk di sana. Fariz mengangguk segera melangkah, dan duduk.
"Ini. Buatmu.." Ayahnya mengulurkan kantong plastik hitam, setelah Fariz duduk mantap. "Apa ini?" Fariz menatap Ayahnya, bingung.
"Buka saja!" Ayahnya menyuruh. Fariz menurut membuka kantong plastik hitam itu. Bunyi kresek, menyertai gerakan tangannya. "Seragam? Fariz akan sekolah disini!" Ucapnya, Ayahnya mengangguk.
Fariz memeluk Ayahnya, sambil berterima kasih. Suasana mengharukan antara Ayah dan Anak itu.
Kruyuk~
Perut keduanya tiba tiba berbunyi, menghentikan suasana itu. Ayahnya tersenyum lebar, Fariz ikut tersenyum.
"Ayo, kita lebih baik sarapan!" Burhan berdiri dan melangkah ke ruang makan, "Ayah, memang Mang Karman punya makanan."
Burhan geleng geleng sendiri. "Pak Karman itu biasa menyiapkan sarapan untuk Ayah, dulu waktu kami masih tinggal bersama di desa ini. Nak. Beliau adalah teman karib Ayah. Ayo, kita sarapan."
Burhan melangkah terlebih dahulu mendekati meja makan. Fariz menyusul langkah Ayahnya.
Sambil terus melahap menu makanan itu, keduanya sesekali saling berbincang. Fariz menunggu saat yang pas untuk bertanya tentang boneka aneh di kamar Amelia.
"Nanti, setelah ini. Ayah akan mengajak kamu untuk daftar di sekolah, gak terlalu jauh kok!"
Fariz mengangguk untuk ke sekian kalinya, dia menelan makanan, dan meraih air putih di sisi kanannya.
Jeda pembicaraan pun tiba, "oh iya Ayah," Burhan yang ingin menyedok makanan, menghentikan gerakannya. Menatap Anaknya. "Ada apa Fariz?"
"Itu, sehari lalu, saat Fariz bersih bersih kamar Amelia. Fariz menemukan boneka aneh Ayah.!" Burhan menatap Anaknya bingung.
"Apa maksudmu?"
"Boneka kelinci yang di kamar atas Ayah! Dia membereskan kamar Fariz, mengeluarkan darah dari matanya, dan dia bisa berdiri sendiri, Fariz merasa.." Burhan menggeleng lembut.
"Itu hal yang tidak masuk akal, mungkin kamu terlalu membayangkan kartun lagi ya? Atau game baru. Kamu pasti rindu punya mainan!" Fariz menggelengkan kepalanya kuat kuat. Dia memang berkata yang sejujurnya. Bukan soal game, atau film kartun kegemarannya.
"Lantas apa? Nak" Tatap Burhan pada Fariz.
"Fariz serius Ayah!" Fariz sampai berdiri dari kursinya, berharap Ayahnya menyikapi dengan baik kata katanya.
"Kau, jadi mirip dengan Ibumu.." Lirih Burhan malah ikut berdiri lalu meninggalkan Fariz. Fariz melupakan hal yang membuatnya pindah kesini. Ayahnya sedang mencoba melupakan masa lalu itu. Fariz kembali duduk, ia menatap lantai. Merasa bersalah.
Setengah jam dalam keheningan. Burhan menyuruh Fariz memakai pakaian dengan rapih. Keduanya harus menuju ke sekolah untuk pendaftaran. Fariz masih kelas 1 Sekolah dasar, namun. Ia telah menyelesaikan semester awal. Ini adalah tahun ajaran semester Genap.
Burhan mengendarai motor tua itu, menuju arah barat. Arah yang berlawanan dari Mang Karman. Motor tua berwarna putih itu teris melaju dengan kecepatan stabil. Fariz memegang kerah baju Ayahnya. 15 Menit perjalanan, mereka tiba di gedung sekolah. Itu sekolah yang dikelelola oleh pemerintah. Bukan swasta.
Seorang security datang menyambut keduanya membukakan pintu gerbang, burhan tidak perlu turun dari motornya. Kegiatan sekolah itu sudah mulai berlangsung, Burhan menggandeng tangan Fariz membantunya turun dari motor.
Keduanya kini melangkah ke lorong lorong kelas. Ada kegiatan belajar mengajar yang terlihat oleh Fariz. Tiba di ujung lorong mereka menaiki anak tangga. Ruang guru ada di lantai dua. Saat itu, ada seorang Guru Perempuan usianya sebaya Burhan, hanya beberapa tahun lebih muda. Wanita itu tergesa gesa menuruni anak tangga menuju lantai satu. Sampai menabrak Burhan dan hampir membuat Fariz terpeleset dari anak tangga, Beruntung burhan memegangnya erat.
Salah satu kertas dari tangannya terjatuh, Fariz yang melihatnya segera memungutnya. Burhan tidak memperhatikan Fariz, dia sedang menatap kesal ke arah Wanita tadi. "Kalau jalan, hati hati. Putraku hampir celaka gara gara kau!" Burhan memberinya peringatan dengan nada sedikit menekan. Sementara Fariz sudah sempurna meletakan kertas itu kedalam ranselnya.
"Aku buru buru!" Wanita itu jangankan meminta maaf, menolehpun tidak. Dia berbicara dengan wajah menatap kedepan dan terus menuruni anak tangga. "Dasar tidak sopan!! Bukannya meminta maaf, malah pergi begitu saja. Jangan lepaskan tangan Ayah ya. Nanti bisa terjatuh, kalau ditabrak orang kayak Perempuan itu!!" Sindir Burhan, pada Wanita tadi, sosoknya sudah jauh meninggalkan mereka.
Burhan dengan segera melanjutkan langkahnya, ruang guru tak jauh lagi. Bangunan sekolah yang bercat putih hijau itu terlihat sederhana nan cantik. Ada taman kecil, lapangan luas, pepohonan rindang. Bunga bunga yang bermekaran, menambah indah suasana sekolah.
Pintu coklat yang bertuliskan 'ruang guru' itu diketuk. Tak beberapa lama, pintu terbuka. Seorang pria sudah beruban, berkacamata, keriputnya terlihat di pipi, kelopak matanya, memiliki tahi lalat di pipi kirinya. Dia adalah kepala sekolah di situ. Dengan ramah menyambut Burhan, menyapanya. Kepala sekolah mempersilahkan keduanya masuk.
Beberapa kali melihat para guru muda, tua, hingga guru honorer, sembari berbincang sepanjang jalan menuju ruangan, dan saling sapa dan menyapa.
"Nah, pak burhan mau mendaftarkan ini ya?" Pak Kepala Sekolah menatapku, Ayah tertawa. Mengangguk.
"Iya. Dia yang mau saya masukan kesini. Namanya Fariz Maulana." Jawab Burhan. "Namanya bagus sekali.." Puji kepala sekolah.
"Bapak bisa saja."
Mereka terus melanjutkan obrolannya. Hingga ayah menyodorkan sebuah surat, lalu langsung di tanda tangani oleh kepala sekolah.
"Nanti.. bisa langsung masuk. Ya pak.. sekarang saja!" ucap kepala sekolah.
"Eh.. Cepat sekali!" Ayahku terkejut.
"Iya, pak soalnya ini sudah semester yang kedua. Dan mengejar waktu. Silahkan." Pak kepala sekolah. Mengantar kami ke lantai bawah. Berbelok ke arah kiri. Dan tiba di ruang kelas.
Disana ada seseorang yang amat Ayah kenali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments