Anaya menatap sedih, ke pusara kedua orang tuanya. Mang Umang dan Aditya datang di sisiku. Aditya masih terluka parah disebabkan oleh kecelakaan beberapa minggu lalu, dan kepolisian yang menyelidiki kasus itu menemukan bukti, bahwa itu memang murni kecelakaan.
Tapi Aditya bersuara pada kepolisian, sebelum kecelakaan ia melihat seseorang yang melintas. Bahkan aku yang duduk mendengarkan ikut mengangguk. Aku juga melihat sosok hitam itu, bahkan aku melihat hal yang lebih ganjil. Siapa Anak kecil di kebun tadi? Fikiranku terus bertanya. Karena hal itu, yang membuatku kehilangan kedua orang tuaku secara mendadak. Ini tidak mungkin hanya kecelakaan biasa. Mobil hitam itu masih dalam kondisi prima, ini mustahil. Diluar akal sehat.
Penjelasan panjang lebar Aditya, tidak membuahkan hasil. Kepolisian akhirnya menutup kasus ini, dan menyuruh kami kembali ke rumah masing masing.
Aku sangat berterima kasih, kepada Kakak Aditya dan Mang Umang yang telah repot repot mengungkap hal misterius, yang menyebabkan tragedi ini terjadi. Ini kejadian yang mengerikan menurutku.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Ayah,.. Hiks.. Ibuuu.." Aku terduduk lama, menatap batu nisan orang tuaku. Ini sudah 1 Minggu setelah kecelakaan itu. Mang Umang menyarankan mereka di makamkan di dekat kompleks sekitar sini, agar Anaya bisa berkunjung kapan saja. Mang Umang dan keluarganya menemaniku selama 40 hari kedepan, memastikan aku baik baik saja di rumah.
Sekolah pun menyuruhku libur beberapa minggu, para tetangga juga turut menghiburku. Berharap aku baik baik saja.
"Anaya, nak. Jangan sungkan main ke rumah Bibi ya. Bibi tau kamu kesepian!" Bi Imah tetanggaku yang usianya sudah lanjut itu memelukku.
"Trima kasih, Bi" Jawabku pendek, berusaha menatapnya.
...****************...
Matahari akhirnya tumbang ke sisi barat. Mang Umang masih terjaga di bangku. Ditemani Aditya yang sedang meneguk secangkir kopi.
Aku menghampiri mereka. "Eh, Anaya. Belum tidur?" Tanya Mang Umang. Aku menggeleng, aku belum mengantuk. Ditambah lagi perutku lapar.
"Anaya lapar!" Ucapku, Mang Umang dan Aditya saling memandang kemudian tertawa.
"Aduh, Jadi itu toh. Sini." Kak Aditya menggenggam tanganku. Aku mengikutinya, Kak Aditya menyiapkan sayur, bawang, telur, nasi yang sudah matang, minyak, dan lainnya. Kak Aditya sudah membaik dan bisa berjalan. Dia cuma luka kaki ringan. Sewaktu mobil yang kami tumpangi hampir tertabrak bus, kaki Kak Aditya tidak bisa digerakan karena terluka. Lukanya sekarang sudah berangsur pulih. Ia bisa berjalan.
"Apa yang akan kakak buat?" Aku bertanya.
"Nasi goreng spesial buat, Anaya."
mataku membesar, aku bersorak kegirangan. Mang Umang yang memperhatikanku, tersenyum lebar.
Aku tau dia gembira melihatku yang kembali ceria, kak Aditya bergaya seperti seorang Chef Profrsional, dia bahkan melempar telurnya ke atas, itu gaya seorang Chef saat memasak, aku tertawa telur itu malah tumpah ke lantai jatuh. Aditya mengaduh, itu sangat kocak.
Setelah menunggu akhirnya nasi goreng itu terhidang. Kakak Aditya menambahkan sedikit parutan keju untuk hiasan, dia juga membuat susu coklat kesukaanku.
Usai makan malam itu, suasana hatiku berubah lebih baik, tapi itu tak bartahan lama.
Malam semakin larut. Kompleks perumahan yang sepi.
Ketika semua orang tengah terlelap dalam tidur, seseorang justru tengah mengawasi dari jauh. Sosok itu menyeringai. Tengah mengintai dua orang lelaki di rumah Anaya.
...****************...
Ketika aku terbangun dan mengucek mata, aku bisa mendengar keributan yang berasal dari lantai bawah, aku membuka gorden putih dan melongok ke bawah. Ada banyak orang berkerumun.
"Ada apa itu!?" Anaya menjadi heran, ia bergegas turun ke bawah. Anaya ingin tahu apa yang membuat orang orang datang ke halaman rumahnya pagi pagi seperti ini.
Anaya menuruni anak tangga satu persatu, Bi Marni, masih tertidur lelap dikamarnya. Anaya membuka pintu dan langsung melesak ke kerumunan orang banyak.
"Ada apa? Ini pak.!?" Tanya Anaya pada salah seorang Warga.
"Ada mayat, dek." Warga itu menjawab, usinya mungkin sebaya Mang Umang.
Anaya terus menembus kerumunan, dan
Anaya, terkejut!! Begitu melihat dua mayat yang dia kenali.
"Huuaaa.. Mang Umang, kak Aditya. Mereka kenapa, mereka, apa yang terjadi?." Anaya seketika syok.
"Kakak Aditya, Mang Umang!!" Aku berteriak histeris. Segera pergi ke dalam memanggil Bi Marni. Anaya menggedor pintu itu keras keras.
"Bi, Bibi bangun!!" Seru Anaya panik. Tak lama pintu itu terbuka, lalu muncul wanita paruh baya berusia 45 tahunan.
"Ada apa Anaya?" Tanya Bi Marni ramah padanya.
"Ikut aku Bi, cepat!" Anaya berseru panik, Bi Marni menatapnya penuh tanya. Anaya menarik paksa tangan Bi Marni, kedua Putri Bi Marni juga terbangun. Mereka mengikuti ibunya.
Begitu melihat ke dalam kerumunan ia tertegun."Bagaimana ini terjadi?" Jeritnya. "Ya tuhan. Mereka kemarin baik baik saja!" Bi Marni istri dari Mang Umang langsung berteriak histeris. Dan bertanya pada para Warga.
"Saya melihat, mereka sudah seperti ini! Bu, saya tak melihat seorangpun!" Kesaksian itu sangat menyesakkan bagi Istri Mang Umang apalagi bagiku yang semalam bercanda dengan Kakak Aditya.
Tubuh mereka kaku, dingin. Serta ada beberapa luka sayatan di leher Mang Umang, juga bekas cekikan di leher Kak Aditya. Tubuh mereka seperti bongkahan es. Aku mendekat ke arah mereka.
Tapi ada tangan yang menepisku.
"JANGAN SENTUH MEREKA." Bi Marni melotot padaku.
"Ini pasti, gara gara kau!! Dasar pembawa petaka, ini takkan terjadi jika aku menghalangi niat mereka untuk membantumu." Tangan Bi Marni mendorongku, Anak Anaknya juga terlihat Menjerit menangis. Mereka beranjak masuk ke dalam rumah, mengemasi barang berang mereka. Dan pergi begitu saja.
Aku menatap kepergian mereka yang mendadak dengan tatapan penuh tanya. kenapa Bi Marni menyalahkanku? Apa salahku, petaka apa yang Bi Marni maksud!?
Para warga yang melihat kejadian itu hanya berdiri menonton, mereka mendadak berseru tidak percaya. Saat mereka menemukan surat berupa ancaman.
"Jika kalian masih ada yang membela anak yang ada di depan kalian. Maka, jangan salahkan siapapun, jika kalian semua akan memperoleh nasib yang sama seperti mayat yang kalian lihat sekarang ini!!"
Tulisan itu bukan hanya mengancam, tapi juga ditulis dengan darah. Darah itu pasti. milik Mang Umang dan Kak Aditya. Para warga tidak ada yang mendekatiku, karna surat itu. Mereka jadi khawatir. Tidak memberi bantuan padaku, dan beranjak pergi.
Aku menangis terisak sendirian, sebenarnya apa yang terjadi? Aku tidak menggerti! Semuanya datang secara mendadak.
Bagaimana bisa mereka meninggal secara misterius! Apa ini ada hubungannya dengan sosok anak kecil yang aku temui.
Iya, semua terjadi karna ban mobil itu pecah, dan aku melihat sosok anak kecil itu. Dan, lalu. Mereka mengincarku pada malam kemarin, karena Mang Umang dan Kak Aditya menghalangi mereka. Nasib mereka berakhir seperti ini. Atau ada hal lain,. Aku sungguh tidak mengerti.
'Anaya bisa memahami situasi yang terjadi di sekitarnya, tapi tetap saja ia hanyalah anak sembilan tahun yang belum terlalu paham masalah apa yang dihadapinya'
"Hiks.. Hiks.." Anaya mengggurat rumput dengan tangannya, hingga seorang Wanita berusia lanjut mendekatinya dan memeluknya dari belakang.
"Bi Imah." Anaya terkejut, menyeka hidungnya yang penuh ingus. "Jangan masukan ke hati ya, sikap orang orang tadi. Bibi ikut berduka atas meninggalnya orang orang yang kamu sayangi. Itupun dengan mendadak dan tragis. Untuk sementara kamu mau kan, tinggal bersama Bibi?" Bi Imah tersenyum tulus.
Almarhum orang tuaku dan Mang Umang adalah orang yang membantu Bi Imah saat ia ditelantarkan oleh Anaknya sendiri. Kini ia mungkin ingin membalas budi untuk orang tuaku, aku tau Bibi sekarang sudah lansia. Maka selama aku disini. Aku tidak boleh menyusahkannya.
...****************...
Senja tiba saat aku selesai membersihkan diri. Sementara di luar sana tengah bising oleh penyelidikan para polisi setempat. Menanyai para saksi, lantas menulis laporan itu. Mereka bahkan menyebut nyebut namaku, karna secarik kertas yang berlumur darah itu jelas jelas, meyebutkan namaku. Aku sempat membacanya.
"Kalian harus menjauhi Anaya Prisila. MENGERTI." Air mataku bercucuran, saat membaca kalimat terakhir itu.
Langkah kakiku terhenti ketika ada sebuah bayangan yang tiba tiba melewati jendela di sebelahku, walaupun cahaya di sekitar rumah Bi Imah remang, tapi lebih dari cukup untuk melihat bayangan misterius itu.
Bulu kudukku merinding seketika, aku berusaha mendekat ke tepi jendela melihat apa yang tadi melintas, namun ada tepukan yang membuatku tiba tiba menoleh.
"Bibi,.." Ucapku pelan, mengelus dada. Bibi menatapku bingung. "Anaya melihat apa ke jendela?" Tanya Bi Imah.
"Tadi, ada.. Hmm bukan apa apa Bi, ada apa ya Bibi memangil Anaya?" Aku berusaha melupakan kejadian tadi. Itu mungkin cuma bayangan burung.
"Kita makan malam yuk!" Ajak Bi Imah, menggandengku menuju meja makan. Aku mengangguk, tanpa banyak bicara.
Kursiku dan Bi Imah bersebelahan. Menu yang bibi masak adalah ikan dan sayur lodeh. "Bi, Anaya mau tanya?" Aku membuat Bi Imah menghentikan menyedok sayur.
"Tanya apa?" Bi imah menoleh sejenak lalu kembali melanjutkan mengambil makanan.
"Siapa yang punya kebun teh di pinggir hutan?" Pertanyaanku tadi sontak membuat Bi Imah menoleh lama ke arahku.
"Kenapa Anaya bisa tau tentang kebun itu?!" Nada pertanyaan Bi Imah sedikit menekan, ekspresi ramahnya berubah menjadi marah.
"Anaya sering melewati kebun itu! Jalan itu kan satu satunya arah menuju danau." Anaya menatap bingung. Kenapa Bi Imah yang ramah berubah seperti ini.
"Anaya, seberapa sering kau melewati kebun itu dan berkunjung ke danau itu!" Kali ini wajah Bi Imah amat serius.
"Beberapa bulan ini keluargaku sering ke sana, kata brosur tempat itu indah. Terus aku bertemu teman di sana!" Aku menjawab riang.
"Anaya, Bibi serius. Seberapa sering kau lewat kebun itu dan mengunjungi danau itu?!" Aku akhirnya mengerti, mungkin Bibi akan menjelaskan sosok anak kecil misterius itu fikirku.
"Setiap akhir pekan saja, karna ayah sibuk." Aku menjawab. Bi Imah berdiri, termenung.
"Nak, kau sudah dikutuk..!!" Namun amarah yang meluap luap terlontar ke arahku.
Aku ikut berdiri, apa maksud Bi Imah.
"A.. Apa maksud-"
"Nak, dengarkan Bibi baik baik. Empat puluh tahun lalu saat Bibi masih muda, Bibi pernah tinggal di desa itu. Dulu tidak ada kebun teh. Tapi entah mengapa ada yang mengundang makhluk mengerikan, yang tinggal di seberang hutan. Orang Tua Bibi memilih pindah saat itu juga, sebelum terjadi musibah. Dan sampai sekarang rumah rumah warga menjadi kebun teh, dan kuburan setempat menjadi danau. Danau itu tidak ada Anaya. Dan sekarang kota ini akan berada dalam bahaya besar. Dan itu karna ulah dirimu!!" Bi Imah memarahiku, ada apa dengan dirinya. Ini seperti bukan Bi Imah.
"Pergi..!! kembali ke rumahmu.!! Dan sebagai perpisahan, kamu ambil buku masak ini. Bibi akan pergi sejauh mungkin. Karna petaka akan tiba. Cepat atau lambat." Bi Imah berbalik, meninggalkan ruang makan. Ia mengunci pintu dari dalam.
"Bi.. Bi.." Aku kembali terisak, melangkah keluar dan kembali ke rumah, membawa buku masak pemberian Bi Imah.
Sesampainya di rumah, aku mengunci semua jalan masuk, menutup gorden dan segera berlari menuju kamar, yang terletak di lantai dua. Aku bersembunyi dalam selimut, menangis. Dan setelah lelah aku tertidur lelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Dek Ni
bagus bgt karya mu dek...,, kasih saran donk buat kk biar bisa sebagus kamu nulis nya
2021-08-08
0
Poppysyahidah
lanjut kak..
2021-08-07
0
Ang Lin H
turut sedih anaya
2021-08-06
0