PERASAAN JON, DAN KISAH MASA LALU. DIMULAI.
Anaya membuka matanya dan meyingkirkan selimut tebal, ia mulai beranjak bangun dari tempat tidurnya, melangkah mengambil handuk dari lemari dan bergegas mandi. Dia tidak boleh kesiangan, dia harus bertanya pada Paman Fariz, kebenaran kejadian empat puluh tahun lalu itu.
Ini sebenarnya aneh, kenapa tadi malam tiba tiba muncul suara yang tidak berwujud, dan lagi suara itu mengatakan padanya sesuatu. " Akan melindungiku?" Gumamnya di tengah derasnya air hangat yang keluar membasuh tubuhnya.
Anaya juga sempat bermimpi aneh, entahlah. Dia melupakannya.
Setelah dirinya rapih mengenakan baju kain dengan motif kotak kotak, dan rok selutut, Anaya bergegas keluar dari kamar menuruni anak tangga. Menuju meja makan Janson. Ini masih pukul 06.30 waktu yang tepat untuk sarapan.
Di meja makan Janson sudah duduk, ditemani Ayahnya Fariz, Janson menoleh ingin melihat siapa yang datang.
"Anaya kau sudah bangun? Ayo duduk. Bi Ina dan yang lain akan membawakan sarapan!! Kau pasti suka." Janson benar benar semangat menjelaskan semua yang ia tau.
"Anaya, kau tau.. Bibi pernah memarahiku!!" Janson memulai percakapan.
"Oh,. Iya.." Anaya juga menanggapi dengan antusias.
"Ya, karna aku sangat nakal."
"Aku baru tahu."
Di sebelah kami Paman fariz memperhatikan, lamat lamat aku melihatnya. Ia tersenyum menatap kami yang asyik berbincang.
"Bagaimana lukamu Janson?" Aku bertanya melirik lehernya yang masih dibalut perban tipis dan melihat pelipis Janson.
"Sudah lebih baik Anaya. Trimakasih ya sudah bertanya." Janson tersenyum ke arahku. Anaya membalas senyuman itu.
Usai percakapan itu berakhir, datang beberapa pelayan mendorong troli makanan. Dengan beraneka ragam menu. Pelayan juga menyediakan buah untuk pencuci mulut.
setelah mereka membuka tudung saji yang banyak itu. Beberapa anggota keluarga Janson turut bergabung.
Ada pemuda usia 25 tahun. Ada juga yang usianya 35 tahun. Terakhir keluar Anak Gadis usia 12 tahun keluar, seusia Janson.
"Nah, ini kakak ku Anaya. Namanya Galih. Di sebelahnya itu pamanku. Adik Ayahku Namanya Paman Farhan. Dan itu.." Sebelum Janson melanjutkan kalimatnya, Anak perempuan itu lebih dulu mendekatiku.
"Hai, oh.. Ini yang namanya Anaya, yang kau terus sebut sepanjang malam itu.. Iya kan.!!" Gadis itu menyikut lengan Janson berkali lali, menggodanya.
"Aliza.. Apasih!! Kau, sssttt.." Janson menyuruhnya diam.
"Heh,... Salah siapa coba ganggu aku semalam, Hah!! aku kan lagi nonton film Drakor fantasi, malah diganggu.. Eh, Aliza.. Anaya itu baik lho.. Kau harus kenalan.. Bla bla bla.. Kau terus memujinya kan!-" Janson tiba tiba menutup mulut Gadis itu. Gadis yang Namanya Aliza itu meronta sambil menyikut Janson.
"Jangan bilang ke dia dong, aku malu!!" Bisik Janson, Aliza mulai marah ia menginjak kaki Janson. Janson bersungut sungut ingin membalas. Tapi Ayahnya menyuruh mereka berdua segera duduk kembali. Tidak enak di lihat Anaya. Aku tidak memperhatikan kalimat Aliza.
"Anaya, perkenalkan dia adalah Aliza. Sepupu Janson. Umur mereka cuman berbeda 3 bulan, yah begitulah mereka selalu bertengkar!!" Paman Fariz tertawa. Aku hanya ikut tersenyum. Mereka berdua sekarang saling memalingkan wajah. Lucu sekali melihatnya, aku baru tahu kalau Janson sedang ngambek selucu ini.
Menu pagi ini adalah roti selai, serta susu coklat, Janson dan Aliza memilih makanan yang sama, mereka berebut. Pertengkaran mereka kembali memanas. Sampai Galih kakaknya melotot pada mereka berdua.
Janson dan Aliza langsung diam mengambil makanan lain. Usai makan pagi, Galih dan Paman Farhan berbincang di ruang tamu bersama Paman Fariz, entah membicarakan apa?. Sementara Aliza beranjak mendekatiku.
"Eh, Anaya!" Aliza menyikut lenganku.
"Iya,." Aku menatap Aliza yang tersenyum ke arahku.
"Apa kau mau lihat foto?" Saat Aliza berbicara demikian, di meja makan Janson tengah tersedak. Ia menoleh. Beranjak mendekati kami.
"Heh. Aliza, jangan mulai ya!!" Janson menunjuk Aliza dengan marah. "Apa?" Aliza menoleh, pura pura tidak tau arah pembicaraan.
"Ayo Anaya ikuti aku, jangan dengarkan dia!!" Janson menggenggam tanganku.
Aku menoleh tidak mengerti. Janson membawaku ke lantai dua, dia lalu menoleh kiri dan kanan sebelum mendorong pintu kamar itu.
"Ada apa Janson?" Aku menoleh tidak mengerti. Menatapnya.
"Duduklah Anaya, Akan ku jelaskan!"
Janson menunjuk sofa di sebelah ranjang tidurnya. Aku mengangguk segera menuju ke sofa lalu duduk. Kamar kami memang hanya berjarak beberapa kelokan.
Janson menatapku, namun tatapannya ini berbeda, dia menatapku dengan rasa malu. Aku tidak mengerti arti tatapannya.
"Anaya,.." Lirih Janson.
"Ya.." Aku menjawab.
"Aku,.. Aku tau ini sangat cepat. Tapi, bagiku kau bukan skedar sahabat bagiku." Janson sekarang tidak menatapku, tapi justru menatap lantai. Aku memperhatikan raut mukanya yang kini berubah.
"Ada apa?" Aku masih tidak mengerti yang dia ucapkan.
"Umurmu berapa sekarang Anaya?" Janson bertanya.
"Eh, 9 tahun. Yah!! sebentar lagi hari ulang tahunku. Aku lahir di bulan september! Memang kenapa?" Aku balik bertanya.
"Jadi usia kita terpaut hampir tiga tahun yah! Aku lahir di bulan januari, tanggal 5." Perkataan Janson menjadi berubah. Sebenarnya apa maksud Janson, tentang lebih dari sahabat.
"Kau bilang, aku lebih dari sahabatmu? Apa maksudnya?" Ucapku. Muka Janson sekarang ke merah merahan
"Itu, emm.. Entah mulai dari mana... Yah!!"
Entah mengapa ucapan Janson membuat suasana menjadi canggung. Aku menunggu ucapannya.
"Aku tau,." Ujarku, mencoba mengusir rasa canggung, melihat ke arah lukisan di pintu masuk Janson, Justru sebaliknya, Janson menoleh cepat ke arahku.
"Kau tau apa? Anaya?" Janson meremas jemarinya, pindah duduk di sofa yang berada di hadapanku.
"Aku tau, pertemuan kita memang mendadak, trus berujung bencana, kita trus bertengkar, dan entah kenapa sekarang kita menjadi sahabat. Itu aneh kan. Dan kau baik sekali padaku, Janson itu yang ku tau." Janson yang tadi berharap sebaliknya, kini raut wajahnya menjadi datar seolah kecewa dengan pernyataanku.
"Ku kira.." Janson berkata lirih di depanku. Aku menatap binggung sikapnya yang berubah. "Aku sebenarnya menyukaimu Anaya." Lanjut Janson. Seraya menatapku. Mata Janson berbinar.
"Aaaa.." Aku gugup, entah apa yang menerpaku sekarang, Janson memang baik padaku, dan kenapa pula aku pada malam itu khawatir.. Apa aku menyukai Janson? Aku menatap matanya, jarak kami hanya terpaut 10 cm.
"Entahlah.." Jawabku. Aku langsung berdiri dari sofa dan menuju ke arah balkon Janson. Melangkah ke sana, pintunya memang telah terbuka.
Janson kini menatap Anaya, apakah Anaya tidak menyukaiku? batinnya. Dia menyusul menuju balkon.
"Anaya.." Janson kini telah sampai di sisi kanan Anaya, Gadis itu tengah menatap halaman rumah Janson, dengan air mata yang sudah menetes ke pipinya. Janson mengusap air mata di pipi Gadis itu. Namun,..
Grep!!
Anaya memeluk Janson, tinggi Anaya hanya sebahu Janson, Anak lelaki di depanya menatap tidak pecaya, ia sangat terkejut.
"Anaya.." Janson ikut merengkuh bahu Anaya. Sekejap mereka melepaskan pelukan dan bertatap wajah.
"Apa maksudnya?" Janson bertanya dengan sikap Anaya.
"Iya.. Janson" Anaya mengangguk. Wajah terkejutnya menjadi cerah sentosa. Janson yang kini memeluk Anaya. Jelas sudah mereka berdua memiliki perasaan yang sama, entahlah. Apakah hubungan mereka akan berubah. Atau tetap sahabat, namun saling menyayangi.
"Kita gak akan pacaran kok Anaya? Aku tidak tau seperti apa itu!!" Janson kini melangkah keluar dari kamar, kami berjalan menuju lantai satu.
"Aku juga, tidak tau.. Tidak ada yang mengajariku.. hehehehe.." Aku tertawa di sebelahnya. Janson menggandeng tanganku.
####
Kami berdua telah sampai di ruang tamu, Paman Fariz bersedekap, wajahnya terlihat kesal.
"Kemana saja kalian heh?!" Janson yang tengah berbincang dengan Anaya, menoleh ke sumber suara.
"Ayah!!" Ayahnya maju menjewer telinga Anaknya. "Dasar Anak nakal!! Kau membawa Anaya kemana? Setengah jam tidak kelihatan!!" Bentak Paman Fariz. Janson merintih kesakitan.
"Aduh.. Ayah.. Sakit.." Janson memohon agar jewerannya berhenti. Aliza datang dari anak tangga menuju kemari.
"Dia sedang menjelaskan perasaannya Paman!!" Ucap Aliza, yang kini terkekeh sendiri. Paman Fariz menoleh tidak mengerti. Sesaat mengangguk angguk, menghentikan jeweran itu. Janson terlihat masih kesakitan, memegang telinganya. Sejenak Janson menatap tajam ke arah sepupunya.
"Anaya, Ayo kita ke ruang khusus, dan Janson ikut Ayah,. Aliza tetap di sini ya!! Om ada urusan sebentar bersama mereka!!" Paman Fariz menoleh ke Aliza, seraya memberi kode, Aliza mengacungkan jempol.
Paman Fariz membawa kami ke salah satu ruang kamar. Begitu kami memasuki kamarnya, langsung terlihat berabotan di sana. Tampak tua dan klasik. Di sana berbaring seseorang yang berusia 80 tahun. Rambutnya putih.
"Kakek." Janson tiba tiba terlihat sedih.
Aku menatap Paman Fariz prihatin.
"Ini.." Namun salah satu pembantu menepuk bahuku memberikanku buku catatan yang cukup tebal, Di sana ada judulnya.
"kisah masa lalu" Aku menoleh ke arah Janson dan Paman Fariz.
"Bacalah, Anaya. Itu akan menjelaskan semua yang ingin kamu tanyakan, semuanya sudah ditulis oleh Ayahku, dia sekarang cuma bisa berbaring lemah.. Entah hingga kapan!" Paman Fariz menatap sedih ke arah ranjang, Janson kini mulai menangis menatap kakeknya.
Aku turut menatap sedih, "Kakek!" Janson memeluk kakeknya.
"Kemarin aku bicara dengannya lewat telefon, kondisinya melemah. Lalu ku pindahkan saja ke rumah ini." Ucap Paman Fariz.
"Kapan?" Aku bertanya.
"Semalam." Aku menggangguk, ternyata itu yang membuatku tidak bisa tidur.
"Aku, akan keluar. Membaca ini di kamar." Ucapku. Paman Fariz langsung menggeleng.
"Tidak, kamu harus membacanya disini. Ini sangat penting bacalah. Jangan bawa ini ke luar!!" Ucapan Paman Fariz terdengar serius. Aku mengangguk. Tidak membantah.
Aku memulai membacanya, di dalam hati, supaya lebih cepat.
"Empat puluh tahun lalu.. di sebuah kota yang ku datangi, kota Bansar. Sebuah kota yang ditutupi oleh hutan lebat, tapi daerah itu sangat bagus dan sering dikunjungi banyak wisatawan dari luar daerah dan luar kota.. "
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
ᴘɪᴘɪᴡ ❶ ࿐ཽ༵ ᴮᴼˢˢ
sukses slalu
2020-09-22
1