...19. Perpisahan Sekaligus Perjumpaan...
Selama perjalanan pulang, Asthari beberapa kali meneleponnya. Bertanya berulang-ulang, “Sudah sampai mana?”
Bahkan ia sampai terlupa memberitahu pada Leo perihal ia meninggalkan acara sebelum forum itu selesai. Teman Mbak Sapta itu menanyakan keberadaannya.
“Sorry, Bang. Na harus cepat pulang karena mau antar Mbak Astha ke bandara. Sorry … ya, Bang. Tadi buru-buru.”
“Oke, Na. Abang juga minta maaf gak bisa antar kamu pulang.”
Beruntungnya selama perjalanan lancar tanpa mengalami kemacetan, meski sempat tersendat akibat lintasan persimpangan dan lampu merah.
Tiba di rumah ia melihat Asthari berdiri menekuk muka di dekat mobil yang terparkir yang telah menyala mesinnya. Sementara Bimo menepuk pundak istrinya dan mendorongnya untuk segera masuk ke dalam mobil.
“Maaf, Bu ….” ucapnya ketika duduk di sebelah ibunya di bangku belakang. “Ternyata acaranya lama,” tambahnya.
“Sudah tahu mau pergi malah pergi mendadak,” sewot Asthari yang duduk di depan.
“Sudah-sudah,” sela Tiyuh.
Bimo ikut menukas, “Masih ada waktu, Sayang.” Menekan klakson. Lalu menjalankan mobil meninggalkan kediaman mertuanya. Yani terlihat menutup pagar dari kaca spion.
“Kalau nanti kejebak macet gimana?” keluh Asthari.
Ia berdecit, “Maaf, Mbak.”
“Kenapa tadi gak nolak ajakan si Leo sih?” dengus Asthari.
Baru saja mulutnya hendak menjawab, Tiyuh menepuk pahanya pelan. Lalu menggeleng samar. “Ibu tadi yang kasih izin Leo.”
Desah Asthari terdengar. Menyandarkan kepalanya ke belakang.
“Na, tolong telepon masmu. Ibu kangen sama Mikail dan Fatim.” Tiyuh menyodorkan ponselnya pada Nawa. “Video call,” sambungnya. Tiyuh ingin melihat wajah cucu-cucunya.
“Bu, di Kanada masih pada tidur,” sela Asthari. Sebab selisih waktu dengan Kanada 12 jam.
“Coba dulu,” ucap Tiyuh bersikeras.
Ia menekan nomor Mas Cipta. Tersambung.
“Mereka masih pada mimpi,” celetuk Asthari.
Bimo menoleh pada istrinya. Mengusap tangan Asthari dan menariknya untuk dicium.
Setelah lima kali panggilan, video call itu akhirnya tersambung. Wajah anak pertama Tiyuh memenuhi layar.
“Cip,” sapa Tiyuh dengan wajah senang.
“Ibu ….” Cipta mengucek matanya. Bangkit dari kasur.
“Maaf Ibu ganggu tidurmu. Ibu kangen sama si Mikail dan Fatim.”
“Mereka masih tidur. Ibu di mana ini?”
“Lagi di jalan antar Asthari ke bandara.”
Cipta terlihat mengusap wajahnya. Menutup mulutnya yang menguap. Lalu membangunkan istrinya.
“Mas Cipta, bulan depan Na menyusul ke Kanada, ya?” Ia memindahkan layar ponsel ibunya ke wajahnya.
“Skripsimu sudah selesai?”
Ia menggeleng.
“Kamu sudah urus paspor sama visamu?”
Ia mengangguk. Mengarahkan kembali layar ponsel ke wajah ibunya.
“Ibu ke Kanada bareng Nawa nanti, ya,” tukas Cipta. “Ya, Bu. Aku, Mikail sama Fatim juga kangen,” Rara menambahi. Wajah istri Cipta itu terlihat di belakang suaminya.
Tiyuh tersenyum. Betapa rindunya ia terhadap anak dan cucu-cucunya di sana. Karena sudah lama tak berjumpa.
“Ibu tenang saja, aku yang tanggung semua keperluan ibu ke sini. Ibu hanya perlu sehat saja. Ya, Bu ….” Mohon Cipta pada sang ibu.
Kelopak mata Tiyuh mendadak tergenang. Sesuatu mendesak ingin tumpah.
Wajah Nawa kembali muncul di layar setelah melihat ibunya yang terdiam menatap wajah Mbak Rara dan Mas Cipta. “Beres, Mas. Na, nanti bawa ibu jalan-jalan ke sana,” tukasnya. Lalu ia kembali beringsut. Duduk seperti semula.
“Kondisi Ibu sudah tidak seperti dulu lagi, Cip,” ungkap Tiyuh.
Cipta menyahut, “Makanya Ibu harus terus jaga kesehatan. Kalau Ibu sehat, bisa jalan-jalan lihat kita. Bisa lihat Catur ke Aceh, ke Bandung tempat Sapta. Bahkan ke sini. Ibu gak kangen nostalgia waktu nemani abah sekolah di sini?” Ia ingin sekali membawa sang ibu menyusuri tempat-tempat di mana ibu dan abahnya pernah tinggal dan tercatat sebagai mahasiswa di Toronto. Bahkan masa kecilnya hingga ia memasuki bangku sekolah berada di kota yang kini ia tinggali.
Asthari menoleh ke belakang, bertepatan air mata ibunya yang meniti di pipi. “Mas Cipta bikin hati ibu melow.”
Ia mengusap-usap bahu Tiyuh.
Ingatan Tiyuh kembali pada puluhan tahun silam. Ia menikah dengan Sudjana saat masih berstatus mahasiswa. Setelah menikah, Sudjana terpaksa harus meninggalkan dirinya karena suaminya itu diterima sebaga mahasiswa di university of Toronto.
Masa pacaran mereka begitu singkat. Hanya 5 bulan. Sudjana mampu meyakinkan dirinya untuk bersedia menikah di usia muda ketika Sudjana mengajaknya untuk naik pelaminan.
Tidak ada banyak uang waktu itu. Mereka menikah secara sederhana. Dihadiri kedua orang tua dan sedikit kerabat. Setelah tiga minggu pasca-menikah, Sudjana harus pergi menimba ilmu ke benua Amerika.
Dua bulan pasca-menikah ia dinyatakan hamil. Sementara Sudjana tidak bisa menemaninya selama masa kehamilan. Ia terpaksa menjalani masa-masa sulit selama mengandung sekaligus harus tetap melanjutkan kuliah. Supaya ia bisa lulus tepat waktu. Bahkan saat melahirkan Cipta. Tiyuh hanya ditemani oleh kedua orang tuanya. Masa sulit dalam kehidupannya pasca menikah. Berat. Penuh perjuangan.
Hingga usia anak pertamanya itu menginjak 2 tahun dan ia dinyatakan lulus, barulah ia bisa menyusul suaminya ke Kanada.
Ternyata kehidupan mereka setelah bisa berkumpul bersama tidak semanis yang dibayangkan. Perjuangan hidup kembali harus dilalui.
Sebagai mahasiswa penerima beasiswa, uang pertanggungan dari pemerintah hanya diperuntukkan untuk menghidupi Sudjana saja. Tidak cukup untuk menanggung dirinya dan Cipta. Mereka harus pandai-pandai menghemat pengeluaran. Sudjana juga harus mencari pekerjaan part-time. Apa saja, asal dapat menghasilkan uang untuk menyambung hidup di negeri orang.
Belum juga stabil keuangan mereka, setelah setahun ia menetap di Kanada, ia kembali dinyatakan hamil anak kedua.
Demi mencapai kehidupan yang labih layak, ia mencari pekerjaan paruh waktu. Membatu keuangan rumah tangga di saat ia hamil anak kedua.
Tuhan mungkin sayang pada Tiyuh. Selama hamil anak kedua ia sama sekali tidak dibebani rasa sakit layaknya ibu hamil pada semester awal. Ia bahkan lebih bersemangat mencari uang. Bekerja di dua tempat sekaligus. Bahkan terkadang masih menerima pekerjaan untuk menjaga bayi dan anak-anak kecil dari beberapa tetangga di apartemen mereka tinggal.
Akan tetapi Tuhan berkata lain. Di saat anak keduanya yang seharusnya belum lahir terpaksa dilahirkan sebelum waktunya. Tiyuh mengalami pendarahan hebat akibat terjatuh dari lantai dua tempat tinggalnya.
Bayi mungil berumur 31 minggu itu tidak bertahan lama setelah berhasil dikeluarkan. Tiyuh berusaha ikhlas menerima takdir. Mungkin Tuhan punya rencana lain. Ia dan Sudjana sepakat memberikan nama Dwi Pramudya.
“Mas ….” Rara menukas setelah melihat wajah ibu mertuanya itu begitu sendu. “Maaf, kalau Mas Cipta buat ibu sedih.”
Tiyuh menarik sudut bibirnya. Lalu menggeleng kecil.
“Kalau Mas Cipta yang jemput Ibu bagaimana?” tawar Rara menghibur sang mertua.
“Kan, ada Nawa nanti,” sergah Cipta.
“Mas, barangkali Ibu maunya sama Mas Cipta. Cuti tahun ini masih utuh, kan, Mas,” sanggah Rara.
“Gak usah,” sela Tiyuh. “Ibu sudah senang lihat kalian semuanya sehat dan bahagia. Kanada sangat jauh, Ibu sudah tidak sanggup.”
“Nawa, kamu urus paspor dan visa ibu juga,” tangkas Cipta.
Tiyuh menyergah, “Cip.” Kemudian menggeleng.
Perjalanan menuju bandara internasional berjalan cukup lancar. Ia mendorong Tiyuh yang duduk di kursi roda. Sementara Asthari dan Bimo berjalan beriringan seraya mendorong troli.
Waktu perpisahan itu tiba. Ia sempat melihat Asthari dan Bimo saling berpelukan. Tiyuh meminta untuk bangkit dan berdiri. Asthari menghampirinya.
“Jaga ibu!”
Ia mengangguk.
Asthari menangis. Memeluknya. “Kalau kamu nanti ke Kanada, ibu harus tinggal di rumah Mbak Sapta. Jangan biarin ibu di rumah sendiri.”
Ia mengangguk lagi.
“Skripsimu harus cepat selesai. Malu sama umur.” Asthari melepas pelukan mereka.
“Siap!” sahutnya dengan menampilkan deretan gigi depannya.
Asthari kembali menangis ketika memeluk sang ibu. Ia yang melihat keduanya ikut bersedih. Meneteskan air mata. Cukup lama keduanya berpelukan. Tiyuh menepuk-menepuk bahu anaknya. “Hati-hati di sana. Ingat komitmenmu bersama Bimo. Perpisahan ini sekaligus perjumpaan dengan masmu dan keponakan-keponakanmu.”
Asthari mengangguk-angguk sambil mengusap air matanya.
“Sayang, sudah saatnya.” Bimo mengingatkan.
Pelukan Asthari dan Tiyuh terpaksa dilepas. “Ibu jaga kesehatan.” Sudah beberapa kali kata-kata tersebut Asthari ucapkan.
Ia dan Tiyuh melambaikan tangan melepas Asthari untuk pergi. Hingga kakak keduanya itu tak terlihat lagi.
“Kita pulang, Bu.” Ia membantu Tiyuh untuk kembali duduk di kursi roda. Mencari tempat duduk tunggu yang kosong. Sambil menunggu Bimo kembali.
Dering ponsel miliknya membuat tangannya merogoh ke dalam tas.
“Kenapa, Yan?” Yani meneleponnya.
Tiyuh menoleh ke arahnya.
“Mbak, baru saja ada tukang bunga kirim bunga,” sahut Yani.
“Terus?”
“Yani cuma ngasih tahu saja.”
Ia menatap ibunya yang masih melihatnya. Lantas bertanya, “Ibu pesan bunga?”
Tiyuh menggeleng.
“Salah kirim kali, Yan. Coba cek alamatnya.”
Suara sambungan telepon itu sesaat hening.
“Alamatnya gak ada, Mbak. Tadi tukangnya bilang untuk Mbak Nawa dan ibu.”
“Dari Leo mungkin,” tukas Tiyuh. Membuatnya mengernyitkan dahi. Sebab tak ada pesan dari Leo. Atau mungkin saja pesan dari Leo belum sampai.
“Yaudah simpan saja, Yan. Nanti sampai di rumah aku cek.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Tri Dikman
Bkn nya 14 jam ya thor,kalau musim panas dan 15 jam kalau musim dingin
2024-06-16
0
Norainah Hani
bunga dari pengagum rahasia..
2024-02-09
0
💕Erna iksiru moon💕
ikut merasakan jd bu Tiyuh gimana beratnya berjuang setelah menikah.eh jangan2 ini firasat y bu Tiyuh mau pergi?kok tiba2 kangen anak cucu yg jauh
2023-12-17
2