11. Kunjungan Bermakna

...11. Kunjungan Bermakna...

Asisten Prof Gunadi memberitahukan bahwa dosen pembimbingnya itu bisa ditemui esok hari di kampus. Waktu akan diinformasikan menyusul.

Betapa girangnya ia mendapat kabar tersebut. Setelah tiga minggu lebih mendapat jadwal untuk bertemu dengan dosen pembimbingnya tersebut. Tentu saja jarak itu akumulasi dari pertemuan yang harusnya dilakukan dengan Prof Gunadi saat demo besar yang lalu. Namun pertemuan itu gagal dan menambah waktu tunggu lagi untuk membuat janji bimbingan ulang.

Di sisi lain, kabar kurang menyenangkan membuatnya sedikit gundah dan galau. Asthari mengabarkan bahwa dokumen visanya telah jadi.

Sementara dua hari yang lalu Mas Cipta menawarkan liburan ke Kanada sebagai hadiah selepas ia wisuda. Bahkan kakak pertamanya itu memintanya untuk membuat paspor beserta visa kunjungan secepatnya agar ia bisa berangkat bersamaan dengan Asthari. Mas Cipta yang akan menanggung semua akomodasinya.

Sayangnya, Asthari akan final berangkat tiga pekan lagi dari sekarang. Sementara skripsinya belum jelas selesai kapan. Bukan lagi soal ia diwisuda tanpa Asthari. Tetapi juga angan-angan ke Kanada bersama Asthari tertunda.

Bukankah jika ia bisa berangkat bersama Asthari lebih menyenangkan. Apalagi ia belum pernah ke luar negeri. Berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain yang mungkin pernah dan tinggal di luar negeri karena abah pernah studi di sana.

Hari ini ia akan menemani Asthari untuk membeli sesuatu yang akan dibawa ke Kanada. Kakaknya itu meminta dirinya untuk menemaninya.

“Kok cemberut begitu?” sapa Asthari saat ia masuk ke dalam mobil.

Ia menghempaskan tubuhnya di kursi samping pengemudi. “Gak bisa ditunda lagi?” rengeknya.

“Tenang, Mbak Sapta nanti hadir di wisuda lo mewakili gue,” tukas Asthari. “Lo juga bisa nyusul, setelah wisuda. Bahkan setelah yudisium.”

Ia enggan membalas soal kapan akan di wisuda. “Mau cari apa sih? Makanan pesanan Mas Cipta?” dengusnya mengalihkan topik. Ada satu lembar kertas penuh catatan pesanan Mas Cipta yang kemarin dikirim lewat pesan. Sebenarnya bukan Mas Cipta yang pesan, tapi lebih banyaknya pesanan dari Mbak Rara—istri Mas Cipta. Mulai persambalan, abon, ikan asin, kopi, teh, bawang goreng, rempah-rempah kering, keripik tempe, sale pisang, hingga petai dan jengkol. Dan masih banyak lagi daftarnya yang belum disebut. Mungkin Mbak Rara mau buka warung warteg di Kanada.

“Bukan,” sahut Asthari. “Ada yang jastip,” timpalnya.

“Siapa?”

“Temannya Mbak Rara.”

“Oo ….”

“Eh, beneran lho. Lo bisa nyusul habis yudisium,” tukas Asthari kembali menyinggung soal skripsinya.

“Masalahnya dalam tiga minggu bisa sampai sidang gak?” Pertanyaan mustahil itu dilontarkan. Mana mungkin dalam tiga minggu ia bisa sidang skripsi. Sementara bab pembahasan saja masih menggantung di tiang jemuran Prof Gunadi.

“Bukannya habis sidang lo yudisium?”

“Iya sih.”

“Mm, mungkin bisa kalau lo pakai kecepatan maksimal. Lo pepet terus Prof Gun. Seminggu bisa ngadep 2-3 kali. Setelah bab terakhir revisi, lo ajuin sidang,” usul Asthari.

Rasanya jauh panggang dari api. “Prof Gunadi sibuk banget. Bimbingan tugas akhir dibatasi dua minggu sekali. Kalau beruntung seminggu sekali,” cerocosnya.

“Coba lo kasih alasan. Biar bisa seminggu dua kali,” saran Asthari.

“Alasan apa? Ke Kanada?” tangkasnya. “Mana di excuse, sama dia. Tahu Na anak abah saja gak ngaruh.”

“Payah juga, ya,” kata Asthari.

Mereka tiba di tempat tujuan. Rupanya Asthari mengajaknya ke sebuah toko yang menjual kain-kain tradisional.

“Kesini, Mbak?” tanyanya saat mobil yang dikemudikan Asthari berhenti tepat di depan toko.

Asthari mengangguk. Melakukan sambungan video pada seseorang di Kanada saat mereka memasuki toko. “Cari kain songket sama batik,” ucap Asthari padanya.

Ia memilih duduk menunggu seraya melihat-lihat booklet yang menampilkan berbagai produk dari toko.

Semua produk asli Indonesia. Mulai songket, tenun, ulos, tapis, batik dan banyak lagi macamnya.

Toko tidak terlalu ramai. Pembeli rata-rata ibu-ibu kecuali mereka.

Asthari menghampirinya. “Menurutmu yang ini bagus, gak?” Menunjukkan kain songket di tangannya.

“Bagus,” sahutnya. “Teman Mbak Rara memangnya pilih yang mana?” Sebab terlihat Asthari membawa dua kain songket. Namun hanya meminta pertimbangannya satu kain saja.

“Dia pilih ini juga,” tukas Asthari menunjukkan songket yang berada di tangan kanan.

“Yang ini, Mbak.” Asthari menyerahkan kain yang dipilihnya kepada pelayan toko.

“Lo, gak pilih-pilih sekalian, Na buat wisuda?” sergah Asthari. “Mumpung gue bisa nganter.”

Ia bangkit dari duduk. Mengikuti Asthari menuju kasir. “Masih lama,” jawabnya pasrah. “Buat apa sih?” tanyanya penasaran melihat Asthari belanja kain cukup banyak.

“Temannya Mbak Rara mau anniversary. Orang Indo, tapi sudah pindah kewarganegaraan. Katanya mau perayaan kayak resepsi gitu,” terang Asthari.

Jelang sore Asthari mengajaknya untuk mengunjungi rumah peristirahatan abah. Ia membeli 5 kantong bunga racikan dan air mawar yang dijual di dekat pintu masuk.

“Abah pasti bangga sama Mbak Astha,” ucapnya. Keduanya berjalan beriringan menyusuri jalan setapak yang dipaving block.

“Sayangnya abah sudah pergi duluan, Na.”

“Tapi abah lihat, Mbak. Di sana pasti abah bangga banget.”

Asthari hanya menahan senyum. Antara bahagia sekaligus sedih. Andai abah masih ada mungkin kebahagiaan itu akan sempurna.

Mereka tiba di makam abah. Keduanya terdengar memberikan salam bersamaan. Ia menabur sebagian bunga di atas gundukan tanah yang ditumbuhi rumput. Sedangkan Asthari menyiramkan air mawar pada nisan abah.

Dalam beberapa saat keduanya duduk berjongkok memanjatkan doa untuk abah. Menunduk dengan tangan menengadah. Khusyuk.

Terdengar isakan kecil dari Asthari. Pada saat mereka telah selesai berdoa. Asthari mengusap pipinya. Memencet batang hidungnya.

“Bah, Mbak Astha sebentar lagi nyusul Mas Cipta. Pasti abah bangga,” tukasnya. Ia mengumpulkan daun dan bunga kering di atas makam abah. Memasukkan ke dalam kantong plastik bekas bunga.

“Abah selalu bangga sama anak-anaknya,” timpal Asthari.

“Ada penerus abah,” imbuhnya.

“Abah gak pernah menuntut kita seperti abah. Tapi abah selalu memberikan contoh yang baik buat kita,” ucap Asthari.

“Kita semua kangen abah.” Matanya sempat berkaca-kaca. Lalu Asthari menepuk pundaknya dan mengajaknya untuk ke tempat lain.

Ia mengangguk. Sebelum pergi ia sempatkan untuk mengusap nisan abah, lalu mencium tangan bekas usapan tersebut. Begitu juga yang dilakukan oleh Asthari.

Keduanya menuju ke makam yang lain. Masih dalam satu area. Namun berbeda kompleks alphabet saja. Sedikit jauh karena berada di ujung area pemakaman.

Langkahnya terhenti ketika mereka berpapasan dengan para penziarah lain untuk memberikan jalan. Lalu kembali berjalan beriringan. Tiap hari Kamis sore pemakaman ini cukup ramai didatangi oleh para peziarah.

Langkahnya kembali berhenti saat ia berpapasan dengan laki-laki yang menggunakan kacamata hitam. Ia dan laki-laki itu sempat terdiam.

“Nawa,” sebut laki-laki itu sedikit terkejut.

“Bang Saba.” Ia tak kalah terkejut. “Abang ….”

“Biasa. Aku jenguk seseorang,” tangkas Saba. Melepas kacamata hitamnya.

“Oo. Kenalkan ini Mbak Astha. Kakakku.” Ia memperkenalkan Asthari pada Saba.

Asthari mengulas senyum dan menundukkan kepalanya sedikit.

“Dia, Bang Saba,” terangnya pada Asthari. “Kami … baru saja ke tempat abah,” tunjuknya pada area makam abah.

Saba memberikan senyum. Lantas berucap, “Aku duluan,” pamitnya.

Ia mengangguk. Begitu juga Asthari yang kembali mengulas senyum. Ia memberikan jalan pada Saba yang hendak lewat.

“Siapa, Na?” tanya Asthari menoleh ke belakang ketika Saba telah pergi dan makin menjauh.

“Temen.” Ia kembali berjalan. Diikuti Asthari.

“Mungkin saudaranya juga dimakamkan di sini,” tangkas Asthari.

“Mungkin,” timpalnya.

Mereka tiba di tempat yang dituju. Di hadapan mereka ada empat nisan saling berdekatan.

Keduanya kembali mengucap salam hampir bersamaan. Ia kembali menabur bunga di atas empat gundukan tanah yang ditutupi rumput cukup lebat. Sedangkan Asthari menghabiskan sisa botol air mawar untuk disiramkan di masing-masing nisan tersebut.

Ia berjongkok di salah satu nisan. Mencabuti rumput liar yang tumbuh di atas gundukan tanah. Seraya meratakan bunga hingga ke ujung.

“Belum lama ini Na mimpi tentang Mas Panca,” ucapnya. “Maaf, Na baru sempat jenguk sekarang.”

Terpopuler

Comments

Tri Dikman

Tri Dikman

Maklum na,di sini itu barang2 berharga …ketemu tempe aja bahagia nya luar biasa aku

2024-06-16

0

Cut SNY@"GranyCUT"

Cut SNY@"GranyCUT"

Sebelum sampai bab ini saya sempat berfikir bahwa Panca sudah wafat karena tidak disinggung Panca menetap dimana dan dugaan saya benar. Mungkin Saba temannya Panca dan buku karya Prof. Gunadi ada pada Saba jangan2 buku milik Abah yang sempat ada di Panca.

2024-03-20

0

Nacita

Nacita

oohh panca sudah wafat ternyata

2024-03-01

0

lihat semua
Episodes
1 Pengumuman
2 1. Terjebak Situasi
3 2. Ceramah Intimidasi
4 3. Suka Ceplas-Ceplos
5 4. Obrolan Keluarga
6 5. Kinesika Diskusi
7 6. Dendrophile
8 7. Persiapan Hiking
9 8. Real Hiker
10 9. Es Cincau dan Sambal
11 10. Amunisi dari Paniisan
12 11. Kunjungan Bermakna
13 12. Artikel Opini
14 13. Proletarnya Prolateriat
15 14. Pertama Kali
16 15. Dialektika
17 16. Dialektika Lanjutan
18 17. Reuni
19 18. First Impression
20 19. Perpisahan Sekaligus Perjumpaan
21 29. Monolog Internal
22 21. Di Bawah Pohon Jengkol
23 Visual Abang Saba
24 22. Peserta Seminar
25 23.Singgah
26 24. Tentatif atau Definit
27 25. Aksi Nyata
28 26. Argumen dan Sentimen
29 27. Senayan
30 28. Seni Semiotik
31 29. Segelas Teh dan Speculaas
32 30. Act of Service
33 31. Attraction and Curiosity
34 32. Eros
35 33. Gundah
36 34. Firasat
37 35. Katarsis
38 36. Antara Perasaan dan Emosi
39 37. Tafsiran
40 38. Obrolan (Tak) Terbatas
41 Visual Nawa
42 39. Storge
43 40. The Big Family
44 41. Sembilan Dinar Emas, Sembilan Slot Saham dan Sembilan Kambing
45 42. Absurditas Romansa
46 43. Patron Pasangan
47 44. Momen Bukan Momen
48 45. You are What You Think
49 46. Absurditas Romansa Lanjutan
50 47. Eh
51 48. Interpretasi Di Atas Interpretasi
52 49. Riak-Riak Hubungan
53 50. Pasangan Adalah Puzzle
54 51. Kembalinya Momentum
55 52. Koneksi Panca
56 53. Tiga Hari Pertama
57 54. Pendopo Talks
58 55. Sublimasi Perasaan
59 56. Tengil Namun Mentereng
60 57. Avonturir
Episodes

Updated 60 Episodes

1
Pengumuman
2
1. Terjebak Situasi
3
2. Ceramah Intimidasi
4
3. Suka Ceplas-Ceplos
5
4. Obrolan Keluarga
6
5. Kinesika Diskusi
7
6. Dendrophile
8
7. Persiapan Hiking
9
8. Real Hiker
10
9. Es Cincau dan Sambal
11
10. Amunisi dari Paniisan
12
11. Kunjungan Bermakna
13
12. Artikel Opini
14
13. Proletarnya Prolateriat
15
14. Pertama Kali
16
15. Dialektika
17
16. Dialektika Lanjutan
18
17. Reuni
19
18. First Impression
20
19. Perpisahan Sekaligus Perjumpaan
21
29. Monolog Internal
22
21. Di Bawah Pohon Jengkol
23
Visual Abang Saba
24
22. Peserta Seminar
25
23.Singgah
26
24. Tentatif atau Definit
27
25. Aksi Nyata
28
26. Argumen dan Sentimen
29
27. Senayan
30
28. Seni Semiotik
31
29. Segelas Teh dan Speculaas
32
30. Act of Service
33
31. Attraction and Curiosity
34
32. Eros
35
33. Gundah
36
34. Firasat
37
35. Katarsis
38
36. Antara Perasaan dan Emosi
39
37. Tafsiran
40
38. Obrolan (Tak) Terbatas
41
Visual Nawa
42
39. Storge
43
40. The Big Family
44
41. Sembilan Dinar Emas, Sembilan Slot Saham dan Sembilan Kambing
45
42. Absurditas Romansa
46
43. Patron Pasangan
47
44. Momen Bukan Momen
48
45. You are What You Think
49
46. Absurditas Romansa Lanjutan
50
47. Eh
51
48. Interpretasi Di Atas Interpretasi
52
49. Riak-Riak Hubungan
53
50. Pasangan Adalah Puzzle
54
51. Kembalinya Momentum
55
52. Koneksi Panca
56
53. Tiga Hari Pertama
57
54. Pendopo Talks
58
55. Sublimasi Perasaan
59
56. Tengil Namun Mentereng
60
57. Avonturir

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!