...10. Amunisi dari Paniisan...
Pukul dua siang lebih lima belas menit, ia dan Saba turun dari bukit Paniisan. Lebih dari dua jam mereka beristirahat dan menikmati suasana di puncak Paniisan.
Perjalanan selama berangkat memakan waktu lebih lama. Padahal Saba beberapa kali mengajaknya berlari. Mungkin dikarenakan keduanya banyak berhenti dan jalan yang dilalui lebih didominasi tanjakan. Yang melelahkan.
Sementara ketika pulang lelah tak lagi dirasakan. Lintasan yang menurun. Serta rintang halang yang lebih ringan. Meskipun jalur yang dilewati berbeda. Mereka tiba di titik awal pendakian lebih cepat.
Selama perjalanan turun, Saba banyak menceritakan kondisi alam yang mereka lihat. Seluk beluk, bahkan semua jalur yang sangat dihapalnya. Katanya kalau lewat sini bisa melihat curug, melihat persawahan. Kalau lewat sana lebih menantang karena lebih terjal. Kalau berangkatnya lewat sini pulangnya bisa lewat sana. Jelas. Antusias. Energik. Ia sendiri bahkan sampai lupa nama-nama yang disebut Saba saking banyaknya. Hal itu tanpa sadar memunculkan kekaguman pada seorang Saba.
Ia berhenti sejenak untuk mengambil foto yang menggambarkan landscape atau bentang alam di depannya. Kata Saba di depan mereka adalah pos terakhir penurunan. Tidak ada lagi spot yang cukup bagus untuk mengambil keseluruhan landscape.
Warna hijau perbukitan yang menyejukkan. Dengan langit biru dan awan putih yang mencerahkan. Seperti wallpaper yang dilihatnya pada desktop di komputer maupun laptop.
Bahkan ia seperti melihat lukisan alam yang terpajang di galeri.
“Sudah puas saudara Nawa?” tanya Saba yang duduk di bawah pohon nangka. Sambil memainkan kentungan bambu yang tergantung di batang pohon.
TUNG!
TUNG!
TUNG!
Tiga kali bunyi kentungan itu dipukul.
“Abang kayak mau ronda,” celetuknya.
“Inilah pos terakhir penurunan. Kalau kamu mau jajan masih bisa,” tukas Saba menunjuk sebuah warung yang terbuka menampilkan jajanan dan minuman sachet yang dipajang bergantungan.
“Masih kenyang,” sahutnya. Roti sobek bekal yang dibawanya saja masih utuh tak tersentuh.
Saba bangkit. Melanjutkan berjalan.
“Kamu bisa hiking perbukitan yang kamu foto tadi. Itu bisa tembus sampai Gunung Kencana-puncak,” terang Saba.
“O, ya.”
“Tapi pastikan fisikmu benar-benar bagus,” timpal Saba.
“Memangnya berapa lama kalau hiking ke sana bisa sampai puncak?”
“Ya … bisa satu minggu.”
“Wow. Gempor pasti,” ledeknya.
“Kalau dengan ritme kita berangkat tadi mungkin bisa satu bulan,” tangkas Saba.
“Serius?! Gak mungkin ah,” sahutnya tidak percaya. “Bang Saba memang pernah ke sana?” imbuhnya.
Saba berdecak, “Ya, pernahlah ….”
“Kata Pak Jaja, Bang Saba itu ke Paniisan seminggu dua kali kalau gak sibuk. Itu benar?”
“Ngapain konfirmasi lagi?” protes Saba.
“Biar lebih akurat,” sahutnya asal.
“Tanya-tanya apa lagi sama Jaja?”
Ia tersenyum. “Bang Saba yang bangun pondok Pak Jaja. Dan yang buka jalur Cimandala. Pantas hapal detail banget.”
Saba tak mengiyakan. Justru menantang, “Apa lagi?”
“Yang lain cukup disimpan,” kelakarnya dengan senyum penuh. Membuat Saba berdecak lalu mendesis.
Ia berhenti sejenak. Menegak minumannya. Kemudian melanjutkan berjalan di belakang Saba.
“Abang kalau malam kesini, berangkatnya jam berapa dari rumah?”
“Bisa jam 2 atau jam 3.”
“Berarti pulang keesokannya?”
“Tergantung. Kadang nginap kadang gak juga.”
“Kalau gak nginap pulang jam berapa dong?”
“Bisa jam 2 malam atau subuh,” sahut Saba.
“Gak takut?”
“Takut bisa dilawan dengan berani.”
Ia berdecak. “Serius,” keluhnya.
“Rasa takut itu wajar muncul. Tapi sifatnya hanya sementara.”
“Berarti pernah takut,” desaknya.
Saba tak lekas menjawab. Terdengar berdesis dan terlihat berpikir. “Ya, adalah … karena keberadaan energi lain bisa kita rasakan. Tapi biasanya hanya di awal-awal. Selebihnya biasa saja.”
“Pernah ketemu hantu?”
“Sampai detik ini belum pernah,” jawab Saba.
“Masa?!” Menurut cerita yang didengar, pegunungan merupakan tempat yang banyak dan disukai makhluk ghaib. Mistiknya kuat. “Atau jangan-jangan hantunya yang takut Abang,” ledeknya sambil tertawa.
“Mungkin,” sambut Saba. “Kadang para pendaki cerita kalau mereka melihat hantu putih di pohon, di rerumputan, padahal itu cuma bayangan air sisa embun yang gak semuanya menguap. Lalu kena bias cahaya bulan. Jadi terlihat goyang-goyang. Karena efek cahaya. Kembali lagi semua tergantung prediksi awal yang akan membawa kita memersepsikan keberadaan makhluk lain. Kalau prediksinya sudah salah, otomatis persepsinya juga mengikuti,” tukas Saba.
“Kalau cerita ketemu penjahat? Pernah?” sergahnya bertanya lagi.
“Sekarang sudah jarang. Kalau dulu mungkin tempat-tempat tertentu.”
“Kalau di sini aman, Bang?”
“Ya, amanlah.”
“Yakin, Bang?!”
“Kalau kamu gak yakin, bawa saja bodyguard.”
Bibirnya mengerucut. Lantas mengucap, “Bisa gak mengatasnamakan Bang Saba? Abang, kan sesepuh di sini.”
Saba tertawa kecil.
Di sela-sela perjalanan, Saba menyapa para penduduk yang kebetulan berpapasan dengan mereka. Yang sedang merumput. Yang membawa hasil panen kebun. Hingga mereka berhenti sejenak pada saat rombongan motor trail yang hendak melintas di jalur yang sama.
Satu setengah jam telah terlewati. Mereka hampir tiba di tempat parkir mobil. Ia pamit pada Saba untuk berganti pakaian. Sebab pakaiannya basah. Membuatnya tidak nyaman.
Saat kembali dan masuk ke dalam mobil, Saba telah bersiap untuk meninggalkan area parkir.
“Bagaimana kesan dan pesan hiking hari ini?” tanya Saba.
“Seru. Lumayan capek. Tapi banyak hal yang didapat,” sahutnya.
“Kapok?”
“Gak.”
“Mau hiking lagi?”
“Mau. Memang Abang mau ngajak lagi hiking?”
Tawa Saba ringan. Tawa khas yang bisa diartikan ejekkan atau bisa juga memang murni ada sesuatu yang membuatnya tertawa.
“Abang, kan sukanya hiking sendiri. Pasti gak bakalan ngajak gabung lagi,” sergahnya.
“Sendiri lebih nikmat. Ramai-ramai menyenangkan. Kalau berdua membahayakan,” tangkas Saba.
“Ya … membahayakan. Aku banyak interupsi,” gumamnya mengulang. Ia menyandarkan sepenuhnya punggung ke kursi.
Lagi-lagi Saba tertawa kecil. Lalu tiba-tiba menukas, “Kita ke bengkel sebentar. Baru lanjut lagi.”
Ia mengangguk.
Mereka mampir ke bengkel mobil. Ia disuruh Saba untuk menunggu di ruang tunggu tertutup. Bersekat kaca bening dengan luar.
Saba terlihat memberikan instruksi. Mengobrol dengan montir. Sesekali terlihat menempelkan ponselnya di telinga.
Ia membuka layar ponselnya. Melihat-lihat hasil bidikannya selama berada di Paniisan. Bibirnya rekah berulang-ulang. Lantas memilih dua foto yang menampilkan dirinya berdiri percis di tepi tebing. Di belakangnya memperlihatkan barisan bukit berlapis-lapis. Mengirimkan foto tersebut pada seseorang.
Membutuhkan waktu setengah jam ia untuk menunggu hingga kini mobil Saba melaju kembali menyusuri jalan raya.
Ia sempat tertidur di tengah perjalanan. Lalu terbangun karena sorot cahaya matahari yang mulai bergerak ke barat menyinari wajahnya.
“Sorry, aku ketiduran.”
Saba melihatnya sekilas.
“Aku bisa turun di pertigaan depan, Bang. Gak perlu diantar sampai rumah,” ucapnya.
“Aku gak buru-buru.”
“Tapi aku gak enak selalu merepotkan,” timpalnya.
“Gak apa-apa. Aku juga gak keberatan.”
Mobil lawas berpenampilan garang itu tiba di depan rumahnya.
“Makasih, Bang.” Ia mengulas senyum sebelum pamit keluar dari mobil.
Saba mengangkat tangan. Lalu pergi.
“Kok gak diajak mampir?” Asthari muncul dari pintu utama. Menghampirinya.
“Rumahnya jauh,” sahutnya. Ia menutup pagar.
Kakak perempuannya itu sempat melongok mobil Saba yang telah menjauh.
“Cowok pasti,” tebak Asthari. Dilihat dari tampang mobil yang digunakan.
“Memangnya sudah pasti cowok kalau naik mobil gituan,” tangkasnya. Menyimpan tas punggungnya di kursi. Ia mengambil minuman dingin dari kulkas.
“Pastilah.”
“Ish, Mbak Astha sok tahu!” dengusnya. Ia menaruh gelasnya di meja dapur.
“Sesuai fakta dan data. Teman cewekmu banyak pakai city car.” Astha mengingat siapa saja teman adiknya itu yang diketahuinya. Jalinan pertemanan Nawa memang tidak luas. Jadi gampang untuk hapal.
“Prof Gunadi juga pakai city car, Mbak,” sergahnya.
“Prof Gunadi pakai city car karena mau irit BBM,” kelit Astha meski lari dari pokok bahasan.
Embusan napasnya pendek. “Gak nyambung,” sosornya.
Astha tertawa. “Gue mau balik,” pamitnya. “Mobil gue tinggal, ya.”
“Lho, Mbak Astha gak pakai?” Selama ini mobil abah sering dipakai Asthari. Karena jarak kantor dan rumah kakaknya itu lumayan jauh.
“Besok libur. Barangkali besok lo mau pakai, Na.”
“Besok kembali fokus kelarin skripsi. Karena sudah punya amunisi lagi,” sanggahnya dengan tersenyum. Sejak gagal bertemu dengan Prof Gunadi ia sama sekali belum membuka laporan terpenting dalam hidupnya sekarang itu.
Kelopak mata Asthari memicing. Informasi dari ibu, Nawa pergi bersama teman-temannya untuk hiking. Pulang diantar dengan mobil yang belum pernah dilihat sebelumnya. “Siapa dia, Na?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
.
wong sama sama mau kok
2024-01-29
0
Meitha Wulansari
semangat nawa buat lanjutin skripsinya. dah da dopping ya ....🤣🤣🤣
2023-11-14
1
Lila Anggraini
pdkt pake hiking bikin nuansa yg beda, ada petuah bijak yg berkata jika kamu ingin mengenal karakter pribadi seseorang maka akan tampak ktk mengalami sebuah perjalanan bersama apalagi kl naik gunung
2023-11-12
2