...2. Ceramah Intimidasi...
“Ini!” Laki-laki yang menolongnya itu menyodorkan sebuah handuk dan sabun ke arahnya. “Kamu harus mandi. Bersihkan tubuhmu. Karena mungkin kulitmu sudah terkontaminasi racun.”
“Racun?” tanyanya tak mengerti.
“Ya. Racun. Kamu pingsan. Kamu menghirup gas air mata tadi.”
Beberapa saat ia masih terdiam.
“Kamu mandi. Aku akan membersihkan bekas jok yang kamu duduki.”
Ia belum sempat mengumpulkan memori kejadian hari ini secara utuh. Yang ia ingat hanya terjebak di situasi demo besar. Setelah itu tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba ia di sebuah tempat. Tergeletak di bawah pohon. Di kelilingi beberapa orang yang tidak dikenalnya. Lalu dibawa masuk ke mobil ini. Lalu sekarang mereka berhenti di sebuah pom bensin. Kemudian ia sekarang disuruh mandi.
“Ayo! Atau kamu masih mau terus di situ,” seru laki-laki itu. Membuyarkan lamunannya.
Walau banyak pertanyaan masih berkecamuk di kepalanya. Ia akhirnya menuruti perintah laki-laki di sebelahnya ini.
“Tunggu!” cegah laki-laki itu. “Kamu juga harus ganti baju.” Memberikan dua buah pakaian atasan dan celana pendek kepadanya. Yang diambil dari jok belakang. “Masukkan pakaianmu ke dalam plastik. Pasti racun itu juga menempel di bajumu.”
Ia mengambil pakaian di tangan laki-laki itu. Lantas bergegas menuju toilet yang tak jauh dari mobil yang terparkir.
...***...
“Aku, Saba.” Laki-laki itu menyebutkan namanya setelah hampir 10 menit mobil melaju meninggalkan stasiun pengisian bahan bakar umum.
“Nawa,” sahutnya membalas.
“Nama yang bagus,” puji Saba.
“Namamu juga bagus,” sahutnya tak kalah memuji.
“Kamu dari kampus mana? Kenapa gak memakai almamater sebagai identitas diri?”
“Aku—“
“Kamu tahu, kan safety tools yang wajib kamu bawa saat demonstrasi?” pangkas Saba tanpa melihatnya. “Kamu keluar rombongan, gak pakai almamater, gak pakai masker, gak sedia air minum, bahkan teman-temanmu gak mengenalimu,” lanjutnya. Ia sempat bertanya kepada beberapa orang mahasiswa tadi yang membantunya. Dan tak ada satupun dari mereka mengenal perempuan ini. Bahkan isi tasnya cuma terdapat berkas-berkas. “Bagaimana bisa seorang mahasiswa … koreksi, seorang mahasiswi berangkat demo tanpa persiapan apapun? Ajaib. Hanya modal dengkul,” tambah Saba sinis.
Ia membetulkan kemeja kedodoran milik Saba. Mengeratkan ujung kemeja yang ditali melingkari pinggang. Bermaksud untuk mengikat celana pendek yang juga milik Saba yang dipinjamkannya itu tetap berada di tempatnya.
“Ketua rombonganmu siapa?” tanya Saba lagi.
“Aku. Aku gak tahu,” jawabnya. Ia jelas-jelas bukan peserta aksi. Tapi laki-laki ini malah mengintimidasi.
Saba tersenyum tipis bertepatan melihat ke arahnya. Sepersekian detik tatapan keduanya bertemu. Lalu sama-sama dengan cepat mengalihkan ke arah yang lain.
“Pantas. Mahasiswa seperti kamu ikut aksi hanya karena ikut-ikutan. Biar dikata hebat. Biar dikata hero. Padahal makna aksi sendiri itu menyampaikan pendapat dan pikiran dari seseorang. Baik secara lisan maupun tulisan. Yang selama ini menjadi keresahan. Karena sudah semestinya mahasiswa itu punya DNA revolusi, DNA agen perubahan dan moral force. Kalau hanya ikut-ikutan ya … gak ada beda dengan anak TK,” cibir Saba. Ia menjeda sesaat. “Kamu juga jangan-jangan gak tahu perihal apa yang sedang diperjuangkan teman-temanmu dan teman-teman buruh?”
Ia tetap termangu.
“Sayang sekali. Satu suaramu bisa membuka dan mendorong suara lain untuk sadar, bahwa suara kalian itu berharga. Dan tentu pada akhirnya bisa menentukan nasib bangsa ini mau diarahkan ke mana.” Saba melirik perempuan di sampingnya yang bergeming. “Jangan jadi mahasiswa yang pesimistis,” tutupnya.
“Aku bukan peserta demo?” tangkasnya.
Saba menatapnya sesaat karena terkejut. Lalu kembali fokus menatap lalu lintas di depannya. Dalam kepalanya timbul pertanyaan. Bagaimana mungkin seorang mahasiswa bukan peserta demo tapi berada dalam aksi demonstrasi mahasiswa?
“Aku gak mungkin pulang ke rumah dengan pakaian ini,” ucapnya. “Aku bukan peserta aksi. Kebetulan tujuanku tadi mau ke Juanda. Tapi aku terjebak. Aku gak bisa keluar. Dan aku gak tahu harus berlari ke mana,” sambil menelan ludah ia menceritakan kronologi mengapa ia bisa berada di sana. Setelah itu ia melanjutkan kalimatnya, “aku gak pernah ikut demo begituan.”
Laki-laki yang memegang kemudi itu tertawa kecil. Nyaris tak terdengar. Setelahnya geleng-geleng kepala. Aneh menurutnya. Kata terjebak sepertinya sulit dipahami. Biasanya orang-orang akan menghindari jalan-jalan yang dipakai untuk demonstrasi. Sebab biasanya pihak polisi akan mengatur lalu lintas bahkan memberitahukan sehari sebelumnya. Bukan malah masuk tanpa tujuan yang jelas.
Helaan napas Saba panjang. Meski ingin lebih tahu lagi alasan Nawa, namun ia mengurungkannya. Ia kemudian menyalakan lampu senja. Sebab hari sudah mulai gelap. “Kalau begitu kamu ikut aku.”
Selama perjalanan keduanya lebih banyak terdiam. Saba lebih banyak menerima telepon dari seseorang. Entah dari orang yang berbeda atau orang yang sama. Sementara ia mengirimkan pesan pada sang ibu karena akan pulang terlambat.
Tiba di sebuah tempat ia melihat seseorang membukakan pintu pagar. Saba memberikan klakson setelah itu membuka kaca jendela, “Makasih, Rif,” ucapnya.
Sementara Arif hanya mengacungkan jempol. Lalu kembali menutup pagar.
“Ini rumahku. Kamu bisa pinjam dulu baju Bu Ning.” Saba membuka pintu dan keluar.
Terdengar Arif menyapa, “Bang Saba sama siapa?” sambil melongok ke dalam mobil yang pintunya masih terbuka.
Saba melihat ke arah Nawa sejenak. Lalu menjawab, “Dia mahasiswi yang tadi pingsan saat demo.”
Arif lekas memutari mobil membantu membukakan pintu untuk Nawa. “Silahkan, Mbak.” Dengan senyum Arif menyambut ramah. “Butuh bantuan, Mbak?” menawarkan pertolongan.
“Gak, makasih, Mas.” Ia menolak tawaran itu.
“Aku masih bisa jalan,” tambahnya.
“Panggil saja Arif, Mbak. Aku juga tinggal di sini sama Bang Saba.”
“Aku, Nawa.”
“Rif!” teriak Saba di bawah. Diterangi lampu remang akibat terhalang dedaunan.
Arif menoleh. Ia juga ikut melihat Saba yang berdiri menatap ke arah mereka.
“Aman Bang,” tangkas Arif kembali mengacungkan jempol lagi.
“Kamu adiknya,” tanyanya pada Arif. Setelah Saba meninggalkan mereka. Keduanya berjalan tak jauh di belakang laki-laki yang meminjamkan pakaian yang dikenakannya.
Arif menggeleng. “Tapi aku seperti adiknya.”
Mereka melewati jalan setapak menurun berundak. Rumah ini seperti berada di tepi tebing. Remang. Sedikit licin. Tetapi berhawa lumayan dingin. Yang membuatnya tak sadar mengusap lengan atas. Lalu kedua tangannya menahan ikatan kemeja. Berharap celananya tidak melorot jatuh.
Arif menahan tawa.
“Ada yang lucu?” tanyanya menatap Arif yang berhenti sejenak melihatnya.
“Mbak Nawa pakai baju Bang Saba?” tebak Arif. Pakaian yang sudah sangat dihafalnya.
Ia memperhatikan tubuhnya yang berbalut pakaian Saba. Lantas mengangguk, “Bajuku tadi kena racun. Eh, maksudku kena gas air mata. Jadi aku—“
“Rif!” teriak Saba lagi. Yang telah berdiri di depan pintu yang terbuka lebar.
“Ayo Mbak!” Arif mengajaknya lekas menyusul Saba.
“Pinjamkan baju Bu Ning, Rif. Dia gak mungkin pulang ke rumah seperti itu,” ucap Saba. Melepas sepatunya lalu menyimpan pada rak sepatu yang berada di balik pintu.
Arif mengangguk lalu meninggalkan keduanya.
Ia berdiri tak jauh dari pintu masuk. Melihat sekeliling interior rumah.
“Duduklah,” Saba mengambil dua gelas di atas meja. Mengisinya dengan air dari teko kaca. Kemudian menaruhnya di atas meja bulat yang tak jauh dari tempat duduk Nawa. Ia meneguk bagiannya. Sambil melepas dua kancing kemejanya di bagian atas. Saba berkata, “Tunggulah, sebentar lagi Arif ke sini membawakan baju untukmu.”
Ia mengangguk. Meraih gelas dan meminumnya. Ia melihat Saba menghilang dari balik pintu. Entah menuju ke mana. Setelah menyimpan kembali gelas di atas meja, ia bangkit dari duduk. Mendekati lukisan-lukisan yang menempel di dinding batu bata merah.
Ada lukisan terkenal Mahatma Gandhi di ujung bawah tertulis tahun 1869-1948. Ada juga Nelson Mandela ujung tengah tertulis tahun 1918-2013. Dan ada lukisan seorang tokoh yang tidak ditulis nama serta tahunnya. Entah siapa namanya ia sendiri lupa. Tokoh Indonesia. Hanya pernah melihat wajahnya di … ah, di suatu tempat percisnya lupa. Lalu dari tempatnya berdiri sekarang ia bisa melihat tumpukan buku di atas meja makan.
Baru saja hendak menuju meja makan, Arif datang. Membuatnya mengurungkan niatnya.
“Sorry Mbak, lama,” ucap Arif. Menyodorkan sebuah kantong dari plastik putih kepadanya. “Bajunya Bu Ning,” lanjutnya sambil tersenyum.
“Makasih, Rif.” Ia menerima kantong tersebut.
“Di sini kamar mandinya,” Arif mengajaknya ke sebuah ruangan lain. Keluar dari rumah utama. “Di situ, Mbak!” tunjuknya pada pintu berwarna biru.
Ia mengangguk. Lalu masuk ke dalamnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Athalla✨
ngakak juga kalau sampai kejadian ya Nawa 🤣🤣
2024-06-20
0
Athalla✨
Nawa emang bener² terjebak itu bang 😜
2024-06-20
0
Athalla✨
yaelah bang Saba, Nawa aja belum jawab apa-apa udah asal ngambil kesimpulan aja 🙄
2024-06-20
0