...7. Persiapan Hiking...
“Terima kasih Bang,” ucapnya mulai memanggil Saba dengan abang. Kendati panggilan abang masih kaku untuk disebut di depan orangnya langsung.
“Sama-sama,” balas Saba. Membukakan pintu taksi untuknya.
Hujan masih cukup deras. Saba mengantarkannya hingga gerbang rumah.
Ia mengembalikan payung kepada Saba.
“Sorry, aku cuma bisa mengantarkanmu sampai sini,” tukas Saba sambil menerima payung tersebut.
“Gak masalah. Bang Saba ada tamu yang sudah menunggu.” Entah rombongan dari mana. Lima menit yang lalu datang 4 orang ingin bertemu Saba.
Ia masuk ke dalam taksi. Menutup pintu. Namun tak lama Saba mengetuk kaca. Membuatnya membuka jendela.
“Kalau kamu suka hiking, lusa aku ada rencana ke Bukit Paniisan. Kamu bisa gabung,” tawar Saba.
“Aku ….”
“Ada nomor teleponku di dalam buku itu. Kamu bisa memberitahu dulu,” pesan Saba seraya menunjuk tas dalam pangkuannya dengan dagu.
Ia meraba tas cangklongnya. Pada akhirnya ia memutuskan untuk meminjam buku Prof Gunadi.
Saba tersenyum tipis. Lalu menujas, “Jalan, Pak.”
...***...
“Kamu gak ngadep Prof Gunadi?” tanya Tiyuh keesokan harinya. Ia melihat Nawa sedang membaca buku di ruangan samping rumah, bekas kamar anak sulungnya yang dimanfaatkan sebagai perpustakaan kecil.
“Gak, Bu. Beliau sedang di luar kota.”
Tiyuh membuka jendela. Menyangkutkan korden usang ke sela-sela teralis besi. Lantas berjalan menghampiri buku-buku yang tersimpan dalam rak. Tempat di mana dulu ia dan suaminya sering berkumpul. Berdiskusi. Bahkan bercengkerama bersama dengan buah hati mereka.
“Ibu hari ini mau ke mana? Na, bisa antar.”
“Gak usah. Ibu cuma pergi ke rumah Bu RT, ada undangan pengajian rutin,” sahut Tiyuh. “Kamu gak pergi?”
Ia menggeleng.
“Gak healing lagi?”
Ia menggeleng kembali. Tanpa melihat ibunya yang mengamatinya.
“O, ya Ibu lupa kalau kamu kemarin baru healing ke rumah temanmu,” tukas Tiyuh, teringat baru kemarin anaknya itu pamit pergi ke rumah temannya.
“Bukan healing, Bu. Tapi ngembaliin baju teman,” tangkasnya.
Tiyuh mengangguk-angguk sambil berkata, “Oo … Ibu pikir main ke rumah teman termasuk healing.” Bahasa anak sekarang memang kadang sulit dimengerti olehnya. Jika dulu makna healing itu penyembuhan atau pemulihan dari suatu penyakit psikologis. Sementara sekarang anak-anak muda sedikit-sedikit beralasan healing. Mereka memersepsikan bahwa healing itu sekedar liburan, rehat dari kesibukan sehari-hari, melakukan aktivitas favorit seperti ke mall, kumpul-kumpul dengan teman, belanja-belanja, dan lain sebagainya. Padahal tidak terjadi sesuatu yang membahayakan atau mengancam diri mereka. Pun, setelah mereka menjalani healing yang tidak sedikit, anehnya dalam hitungan hari mereka mengeluh butuh healing lagi.
Helaan napas Tiyuh terasa. Itulah mengapa ia kadang sulit memahami anak-anak sekarang. Ketahanan psikologi mereka gampang rapuh menghadapi perubahan sosial. Dan mencari dalih untuk pembenaran.
“Kemarin sore Bu RT kesini. Anaknya si Dodi, katanya keterima kuliah di Amerika. Makanya pengajian nanti sekalian syukuran,” imbuh Tiyuh.
Ia menandai lembar buku yang dibacanya dengan sticky notes. Menulis sesuatu di sana.
“Ibu bisa merasakan apa yang dirasakan Bu RT hari ini. Bangga, bahagia, bersyukur, dan terharu.”
“Ibu mau bikin syukuran untuk Mbak Astha?” tanyanya.
Tiyuh mengambil kemoceng. Satu persatu mulai membersihkan koleksi buku-buku mereka.
“Kalau Ibu mau, Na bisa bantu persiapkan,” imbuhnya.
Ibunya itu menggeleng. Tiyuh dan suaminya tidak pernah merayakan keberhasilan anak-anaknya dengan sanak saudara dan tetangga. Cukup doa bersama lalu makan kecil-kecilan sebagai tanda syukur dengan sang suami beserta anak-anaknya.
Ia kembali menandai lembar berikutnya dengan sticky notes. Menuliskan sesuatu sebagai catatan penting.
“Ibu pasti lebih bangga dari Bu RT. Kalau anak Bu RT sekolah keluar negeri pakai duit orang tuanya. Tapi Mas Cipta sama Mbak Astha pakai beasiswa,” tuturnya.
“Hus! Gak boleh ngomong begitu. Semua pakai caranya masing-masing, Na. Mereka mampu. Sementara Ibu sama Abah gak ada uang buat nyekolahin kalian sampai ke luar negeri,” sanggah Tiyuh.
Ia menutup buku bacaannya. “Ya makanya, Ibu pasti lebih bangga dong. Cari beasiswa itu susah lho. Saingannya banyak. Belum persyaratannya gak gampang.”
Tiyuh terdiam sesaat. Yang dibilang anaknya memang benar. Karena setiap kehidupan punya keistimewaan dan perjuangannya masing-masing. Lalu ia melihat ke arah Nawa, terbersit pertanyaan, “Kamu baca apa, Na?”
“Buku Prof Gunadi.” Ia mengangkat buku itu sekilas.
Ibunya itu mendekat. Lalu memintanya.
“Kebetulan teman, Na punya. Jadi dipinjam deh,” tukasnya. “Pas banget dulu cari-cari di toko buku gak ada. Katanya gak terbit lagi.”
“Dulu abahmu kayaknya dikasih sama Prof Gunadi. Tapi Ibu lupa menyimpannya,” gumam Tiyuh seraya mengingat-ingat. Pertemanan suaminya dengan Gunadi cukup dekat. Keduanya sering bertukar buku maupun jurnal ilmiah.
“Mungkin dipinjam teman abah kali, lupa dibalikin.”
“Mungkin,” ucap Tiyuh. “Sudah lama sekali, Na.” Ia mengembalikan buku Gunadi pada anaknya. “Terakhir kayaknya sama Mas Panca,” sambungnya.
“O, ya?”
Tiyuh manggut-manggut. “Prof Gunadi juga dulu dosennya Mas Panca. Kalian hanya beda jurusan saja,” tegasnya. “Temanmu dapat buku ini dari mana katanya? Ini buku asli. Buku edisi pertama terbit 15 tahun yang lalu,” jelas Tiyuh. Ia masih ingat. Di mana waktu itu peluncuran buku bertepatan dengan Gunadi mendapat penganugerahan gelar Doktor. Pasti sangat jarang orang-orang yang memilikinya. Kecuali buku bajakan.
Ia menggeleng. “Koleksi bukunya banyak banget Bu. Malahan lebih banyak dari buku-buku di sini.”
“Orang tuanya mungkin pengajar, dosen barangkali,” tebak Tiyuh.
“Entah,” tangkasnya. Meski dugaannya Saba seorang dosen. Namun belum tentu juga jika parameternya hanya buku. Pengoleksi buku belum tentu seorang dosen, bukan? Tetapi seorang dosen seharusnya memiliki banyak buku.
Dahi wanita berusia 70 tahun itu mengerut.
Ia lekas meralat, “Mungkin dosen, Bu.” Bisa jadi orang tua Saba seorang pengajar. Semua buku yang ada di rumah laki-laki itu kumpulan dari bukunya serta orang tuanya. Sehingga jumlahnya sangat banyak.
“Ya. Pasti,” simpul Tiyuh. Jika seorang pengajar sangat wajar bisa memiliki buku lawas Gunadi. Ia mengembalikan buku-buku yang telah dibersihkan ke tempat semula. “Ibu mau siap-siap, Na.”
“Bu,” panggilnya.
Tiyuh yang telah bersiap meninggalkan anaknya itu menoleh.
“Na, besok mau hiking sama teman-teman,” terangnya. “Maaf, besok Mbak Astha yang menemani Ibu kontrol.”
Senyum Tiyuh melebar. “Pergilah. Tapi hati-hati.”
Sudut bibirnya tertarik tak kalah lebar. Ia bangkit dari kursi. “Na, antar ke Bu RT, ya?” tawarnya sebagai penebus besok tidak bisa mengantar ibunya kontrol ke dokter.
“Gak usah. Biar Ibu sama Yani. Lagian dekat ini.” Rumah Bu RT hanya selisih empat rumah dari tempat tinggalnya.
“Ibu yakin?” kelakarnya.
“Tiyuh berlalu tanpa menjawabnya. Justru Yani muncul dengan menggoda, “Mbak Na nanti ikut patah hati kayak yang lain ditinggal ke luar negeri. Anak Bu RT, kan idol RT 21.”
Ia mencibir, “Gak kurang terkenal itu, Yan. Kenapa gak sekalian idol se-RW,” tangkasnya.
“Kalau idol RW lain lagi Mbak,” sahut Yani dengan tersenyum malu-malu.
...***...
Pesan yang dikirimkan ke Saba satu jam lalu belum dibalas. Sementara tas punggungnya telah berisi amunisi untuk kepergiannya besok pagi.
Hiking kali ini adalah yang pertama dalam hidupnya. Meski pertama namun ia antusias. Penasaran sekaligus exciting.
Bukit Paniisan. Bukit yang menurut mesin pencarian terletak di kawasan Gunung Pancar. Ketinggiannya kurang dari 1000 mdpl.
Banyak pertanyaan di kepalanya. Mengapa Saba mengajaknya ikut bergabung? Berapa orang yang akan mengikuti hiking besok? Lalu, mengapa Saba percaya kepadanya menawarkan sebuah kegiatan yang belum tentu pernah dilakukan sebelumnya? Apa dia tidak memikirkan risiko mengajak orang yang baru dikenalnya dalam hitungan jari? Sementara perjalanan besok pasti tidak mudah.
Dua botol air mineral berkapasitas 600 ml, satu bungkus roti sobek yang dibelinya dari tukang roti keliling tiap pagi, sebungkus cokelat kesukaannya, dan yang terakhir jas hujan. Siapa tahu meski menurut perkiraan cuaca besok cerah, bisa saja hujan tiba-tiba.
Bunyi pesan masuk pada ponselnya terdengar, ia lekas memeriksa. Akhirnya Saba membalas pesan darinya. Laki-laki itu memberitahukan keberangkatan mereka pukul 08.00 pagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Athalla✨
modus tipis²..oke sipp 🤭
2024-06-20
0
.
ayo bang lancarkan aksimu 😁
2024-01-29
0
🐥Yay
Aku jga dr dulu pengen hiking, tp ga punya teman dan jauh😆
2023-11-09
1