...18. First Impression...
Hari-hari jelang keberangkatan Asthari, ia begitu sibuk. Menemani Asthari mencari berbagai pesanan Mas Cipta dan Mbak Rara. Bolak-balik masuk toko entah sudah ke berapa kali. Demi memenuhi pesanan kakaknya.
“Ibu nanti ikut ngantar Mbak Astha?” tanyanya pada sang ibu pagi itu. Pesawat Asthari berangkat pukul 7 malam.
“Ikut, Na.”
“O, ya Bu, titipan Mbak Sapta di mana, ya?” Kemarin kakaknya itu mengirim sesuatu untuk Mas Cipta.
“Sudah diambil Asthari.”
“Oo ….”
Satu buah koper besar berisi pesanan dan oleh-oleh. Satu koper lagi masih di rumah Asthari yang berisi keperluan pribadi kakaknya tersebut.
“Ugh … gak over nih,” gumamnya setelah berusaha mengangkat koper yang akan dibawa Asthari tersebut merasakan kepayahan. Sangat berat.
“Sudah ditimbang Asthari. Masih aman,” terang Tiyuh.
Ia menggeser koper besar itu dekat dinding. Setelah mendengar ponselnya berdering.
“Ya,” jawabnya begitu panggilan itu terhubung.
“Gue Leo, Na.”
“Iya, Bang. Ada apa, ya?”
“Lo, ada waktu gak siang ini jam 11?”
Ia sempat melihat jam dinding yang tergantung di ruangan tengah.
“Mm ….”
“Gue jemput, ya?”
“Jam 11 sekarang?” sergahnya.
“Ya sekarang lah. Masa bulan depan? Ada waktu, kan?”
Ia terdiam sesaat.
Leo menukas, “Gue jemput, ya? Kebetulan gue lagi di dekat-dekat rumah lo. Nih, gue ganti video call, kalau lo gak percaya.”
“Ya, ya, Na percaya,” tangkasnya cepat.
“Nah, gue sudah masuk kompleks perumahan lo sekarang.”
“Lho, Bang Leo serius?” Ia tak menduga teman kakaknya itu akan ke rumahnya secara mendadak. Tanpa memberitahu terlebih dahulu. “Bang Leo gak—“ Suara klakson mobil berdengung dua kali tepat di depan rumahnya. Membuat pembicaraannya di telepon menggantung. Ia melongok ke teras rumah yang terbuka pintunya.
“Gue sudah di depan rumah lo,” tukas Leo. Mematikan sambungan telepon.
“Siapa?” tanya Tiyuh.
“Ibu masih ingat Bang Leo? Temannya Mbak Sapta. Dulu mahasiswa abah juga.”
Tiyuh berusaha mengingat.
“Leo—“ Tiba-tiba terdiam. Mengingat-ingat nama kepanjangan Leo. Sayangnya, ingatan itu buntu.
Dahi Tiyuh mengernyit. Sinyal ingatannya terus bekerja. Lalu setelah menemukan memorinya, ia mengucap, “Ya, ya, Ibu ingat.”
Suara salam cukup keras dari depan rumah membuat percakapannya dengan sang ibu terhenti. Ia bersegera menuju ke sana.
“Bang Leo,” ucapnya ketika kepalanya muncul dari ambang pintu. Melihat Leo yang telah berdiri di depan pagar.
Leo tampak tersenyum. Lalu melambaikan tangan yang masih memegang ponsel. “Lo, gak ada acara, kan? Gue mau ngajak lo ke acara Malaka siang ini.”
Ia menghampiri Leo dan membukakan pagar. “Masuk, Bang.” Mengajak Leo untuk masuk ke dalam rumah. “Kira-kira selesai jam berapa, ya, Bang?” tanyanya begitu Leo hendak duduk di kursi.
“Gak lama. Biasanya cuma 2 jam saja kok,” sahut Leo. Ia buru-buru bangkit setelah baru beberapa detik duduk. “Ibu Tiyuh apa kabar?” seraya mengulurkan tangan menyambut kedatangan Tiyuh yang menghampirinya. Lantas mencium punggung tangan Tiyuh yang terulur untuk menyambutnya.
“Baik. Kamu sendiri bagaimana kabarnya, Leo?” tanya Tiyuh.
“Baik, Bu. Kabar saya baik.” Leo memungkasi dengan tersenyum.
“Syukurlah,” tangkas Tiyuh.
Ia yang melihat Leo dan ibunya mulai bercakap-cakap memilih ke dapur untuk membuatkan minuman. Kebetulan Yani tengah pergi ke pasar untuk belanja keperluan dapur.
Ada sisa kue kiriman dari Bandung yang turut di sajikan dalam piring serta segelas minuman. Lantas dibawanya ke ruang tamu. Ia meletakkan sajian itu di atas meja. Kemudian duduk di sebelah ibunya.
“Silahkan, Leo.” Tiyuh mempersilahkan tamunya untuk mencicip hidangan.
Leo mengangguk. Mengambil sepotong kue. “Saya izin mengajak Nawa untuk pergi, Bu. Kebetulan komunitas saya menggelar acara siang ini.”
Tiyuh mengangguk sebagai jawaban. Leo pernah menjadi mahasiswa suaminya. Beberapa kali pernah datang ke rumahnya. Anaknya sopan. Leo bahkan sempat menceritakan tentang dirinya sekarang, kariernya dan pendidikannya. Tiyuh melihat Nawa sesaat. Lalu berucap, “Pergilah.”
...***...
“Topiknya apa?” Pertanyaan itu terucap ketika mobil yang dikendarai Leo baru saja meninggalkan kediamannya. Tidak lucu bukan jika datang tanpa menguasai topik yang akan dibahas dalam diskusi umum itu.
“Critical thinking.”
“Berat bahasannya.”
Leo tertawa.
“Aku pasti jadi peserta yang hanya bisa plonga-plongo.”
Leo berdecak. “Kata siapa?” tangkasnya. “Lo, hanya gak pede saja, Na. Semua orang punya kemampuan untuk berpikir menyelesaikan permasalahan.”
“Tapi aku peserta baru.”
“Baru bukan berarti gak punya kemampuan berpikir. Apalagi lo intelektual.”
Ia menarik bahunya. Bibirnya menipis. Berusaha menangkis stigma di kepalanya yang terus memprovokasi batinnya. Jika ia tak mampu, jika ia tak percaya diri, bahkan merasa tak sepadan dengan peserta lainnya. Karena ia menyadari akan keikutsertaannya pada sebuah kegiatan atau organisasi begitu minim.
“Lo punya potensi, Na. Tapi lo belum sadar. Potensi lo perlu diasah. Ya, salah satunya ikut hal-hal seperti ini,” sanggah Leo. Memberikan semangat untuknya.
“Aku bukan Mbak Sapta, Bang,” keluhnya. Yang setahunya kakaknya itu pemberani, suka ikut komunitas sana-sini. Sehingga banyak teman serta relasi dan tentu saja menjadi modal dasar yang menjadikan Sapta seperti sekarang.
Leo menyergah, “Lo, memang Nawa bukan Sapta.”
Bibirnya mengerucut.
“Lo itu gak pede!” seru Leo. “Tenang gue temani lo selama di sana,” bujuknya kemudian.
Tiba di tempat tujuan bertepatan dengan acara sebentar lagi dimulai. Beruntung mereka sempat mampir terlebih dulu ke restoran di pinggir jalan untuk makan siang.
Ia bisa melihat jumlah peserta yang hadir banyak dan membludak. Sebab banyak peserta yang memilih duduk lesehan di bawah karena tidak mendapatkan kursi.
Leo menarik bahunya. Ia sempat merasakan keterkejutan. Kemudian tangan Leo menepuk punggungnya untuk terus maju ke depan. Melewati beberapa peserta yang duduk di lantai.
“Minta kursi satu dong!” seru Leo kepada salah satu panitia. Dan panitia tersebut mengangguk. Tak lama datang membawa pesanan Leo.
“Duduklah,” Leo menyimpan kursi tersebut di dekat salah satu meja yang telah dipenuhi oleh peserta yang duduk.
“Terima kasih,” ucapnya. Lalu mengulas senyum pada peserta di sebelahnya yang kebetulan menatapnya.
Leo kembali menepuk bahunya. Lantas berkata, “Aku jadi MC. Jadi harus ke depan.”
Dengan anggukan ia membalas. Pandangannya mengitari ruangan yang digunakan untuk forum diskusi. Memang ruangannya tidak begitu luas. Dengan banyak peserta yang hadir sehingga ruangan tampak penuh. Ruangan ini seperti kafe semi outdoor.
Di depan, Leo terlihat berbicara dengan seseorang. Menerima mikrofon yang diserahkan oleh seorang panitia yang punya tanda khusus berupa kalung id card.
Leo mulai membuka acara. Menyapa para peserta. Dan memberikan sedikit narasi-narasi tentang topik yang akan didiskusikan.
Sesi pertama Leo memanggil salah satu pembicara dari dua pembicara yang disebutkan di awal.
Ia sedikit terkejut sebab pembicara yang muncul ke panggung itu pernah dilihatnya di suatu tempat. Tepatnya di pendopo milik Saba.
Pakar hukum. Leo menyebut bahwa pembicara itu punya latar belakang hukum. Seorang advokat sekaligus pengamat.
Meski di awal-awal ia sedikit tak nyaman berada di sana. Ditambah tak ada satupun dari peserta yang dikenalnya. Namun lama-kelamaan ia bisa menikmati acara yang dipandu oleh Leo tersebut.
“Lo dari mana?” tanya seorang wanita yang duduk percis di sebelahnya.
Ia mengulas senyum kecil lalu menjawab, “FKM.” Sebab lambang markara jingga menandakan bahwa mereka satu kampus.
“Sering ikutan diskusi Malaka?”
Senyum kecilnya kembali diulas. Sedikit dipaksa. Lantas ia menggeleng.
“Seru lho!” timpal wanita itu. “Apalagi nanti pembicara kedua.” Tiba-tiba tangannya mengangkat. Bertanya. Sayangnya, Leo memilih penanya yang berada di barisan duduk lesehan.
“Gue lebih suka pembicara kedua,” lanjut ucapan orang itu. “Menarik aja, enak penyampaiannya, kadang diselingi humor. Gak kaku. Orang yang punya selera humor gak tahu kenapa di mata gue terasa seksi dan memukau.”
Tarikan sudut bibirnya tipis. Mendengar obrolan lawan bicaranya ini begitu mengagumi sang pembicara berikutnya.
“Sense of humor mengindikasikan kecerdasan seseorang,” tukasnya menimpali.
“Ya. Setuju. Dia memang cerdas.”
“Tapi pembicara yang sedang berdiri di panggung juga memiliki kepiawaian. Aku bisa menikmatinya,” tangkasnya. Hampir satu jam pembicara di depan berbicara. Ia tidak merasa bosan dan bisa mengikuti.
“Iya, sih. Tapi gak tahu kenapa gue lebih suka pembicara yang kedua.”
“Pembicara yang kedua laki-laki juga?” tanyanya penasaran. Biasanya di tiap-tiap forum publik ada spanduk besar bergambar sang pembicara bahkan moderator sebagai informasi umum. Di samping digunakan sebagai background panggung. Anehnya di sini tidak ada. Bahkan Leo tidak mengungkap siapa-siapa pembicara yang diundangnya. Leo hanya mengungkap profesi ataupun jabatan dari sang pembicara. Dan baru memanggil namanya ketika sesi dari pembicara dimulai. Mungkin ini bagian dari prosedur forum diskusi yang dibilang Malaka oleh Leo. Entahlah.
“Handsome,” sebut orang itu dengan berbisik.
Mulutnya terbuka membulat.
“Infonya masih single,” tambah orang itu lagi.
Membuat sudut bibirnya tertarik tipis. “Kamu ngefans banget kayaknya,” tangkasnya menyimpulkan dari pembicaraan yang ditangkapnya.
Sekonyong-konyong wanita yang duduk di sebelahnya ini berdiri ketika Leo memanggil nama pembicara kedua. Lengkap menyebut profesinya. Dia bersemangat bertepuk tangan. Bahkan semua peserta bersorak-sorai memberikan tepuk tangan menyambut pembicara kedua yang datang dari arah belakang panggung.
Ia ikut berdiri. Memberikan tepuk tangan. Namun sempat terpegun beberapa saat ketika sosok yang dipanggil Leo adalah orang yang dikenalnya.
Saba Lumintang. Berdiri di tengah panggung. Menebar senyum. Seraya menyapa para peserta dengan lambaian kedua tangannya.
“Menurut lo first impression tentang Bang Saba bagaimana?” tanya wanita di sebelahnya ini.
Kali ini senyum tipis yang beberapa kali muncul baik refleks maupun disengaja terasa berat dilakukan.
“Gue yakin first impression lo gak jauh beda dengan first impression gue,” pungkas wanita itu.
Ia memberanikan diri menatap Saba yang mulai berbicara. Kinesika oleh Saba memang mampu menghipnotis orang. Sampai-sampai kedua matanya tak mau sekejap berpaling. Hingga pandangan matanya bertemu tatap dengan penglihatan Saba yang mengarah ke dirinya.
Gugup. Mendadak ia gugup. Menunduk. Meremas kedua tangannya yang berada di atas pangkuan.
Di saat itulah dering ponselnya nyaring dan terasa bergetar. Nama Mbak Asthari muncul di layar.
“Lo di mana sih?” Semprot Asthari begitu ia menerima panggilan telepon dari kakaknya itu.
“Na—“
“Lo mau gue ketinggalan pesawat?” Semprot Asthari selanjutnya.
Ia menelan ludah.
“Gue tunggu sekarang di rumah ibu. Tiga puluh menit lo gak datang, kita tinggal.” Semprot Asthari lagi, lalu terdengar panggilan telepon terputus.
Refleks ia bangkit. Menggeser kursi dan berlalu pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Cut SNY@"GranyCUT"
Kebetulan yang gak mengenakan, bisa timbul salah sangka
2024-03-21
1
💕Erna iksiru moon💕
wah bang Saba banyak fansnya nih eh Nawa dipanggil siapa tuh main pigi aja Na😁
2023-12-17
2
𝕭𝖚𝖊 𝕭𝖎𝖒𝖆 💱
gagara terhipnotis bang Saba jd lupa anter simbak 😅😅😅😅
2023-12-16
1