...14. Pertama Kali...
“Abah meninggal sekitar 5 tahun yang lalu. Tanpa sakit, tanpa ada tanda-tanda sebelumnya. Pergi secara mendadak tanpa memberitahu kepada kami agar mempersiapkan diri untuk ditinggalkan,” ungkapnya sendu.
Saba menyilangkan kaki. Menyandarkan punggung ke belakang.
“Empat saudara meninggal ketika aku masih kecil dan aku belum dilahirkan. Jadi gak banyak yang bisa diceritakan. Karena aku anak terakhir dari 9 bersaudara. Bang Saba pasti kaget saudaraku banyak,” tukasnya dengan senyum kecil.
Justru Saba menggeleng, menimpali, “Aku sudah bisa menebaknya ketika kamu menyebut namamu pertama kali.”
“O, ya?” Senyum kecil kembali terbit di bibirnya.
“Kalau kamu 9 bersaudara. Aku hanya 2,” kata Saba.
“Bang Saba anak ke berapa?”
“Anak kedua.”
“Enak, ya. Gak berebut kamar, gak berebut makanan, gak berebut mainan dan pasti gak sering bertengkar,” tebaknya.
“Kata siapa?” timpal Saba.
“Kata yang punya saudara banyak,” celetuknya.
Saba tertawa ringan.
“Bayangkan rumah kami rumah kecil. Penghuninya banyak. Kamar hanya ada 4. Yang satu ukurannya kecil hanya muat ditiduri satu orang. Lalu kamar lain diisi 2 kadang 3 orang. Aku tidur sekamar dengan Mbak Asthari, kadang bareng Mbak Sapta juga. Kami pakai ranjang tingkat. Aku masih ingat, ibu selalu membagi lauk kecil-kecil saat makan agar adil semuanya bisa menikmati. Mainan pun begitu. Namun selalu ada pertengkaran kecil setelahnya diantara kami, meski menurut ibu pembagian itu sudah adil.” Kenangan itu begitu manis untuk diingat. Mendadak ada perasaan haru bercampur senang. “Begitu kami semua dewasa satu persatu di antara kami pergi meninggalkan rumah.”
Percakapan nostalgia dari Nawa membuat Saba ikut larut mendengarkan.
“Satu hal yang mungkin Bang Saba gak percaya. Mungkin gak kalau motor vespa bisa dinaikin 6 orang?” Tawanya muncul bersamaan dengan ingatan cerita dari Asthari yang selalu digaungkan ketika mereka kembali mengenang masa kecil. Katanya waktu itu mereka ikut abah untuk menjemput ibu pulang kerja.
Saba terdiam menatapnya.
“Waktu itu kami mau jemput ibu yang pulang kerja. Pas berangkatnya, aku di depan sama Mbak Asthari. Abah yang nyetir. Mbak Sapta di belakang sama Mas Sad. Lalu pas pulangnya ada ibu, aku dipangku ibu di belakang. Mbak Sapta pindah ke depan. Lucu ya, jauh sebelum ada atraksi ketangkasan motor seperti sekarang, abah kami sudah melakukannya,” kelakarnya.
Saba tersenyum.
“Tapi jadi anak terakhir dari banyak saudara banyak untungnya,” sanggahnya. “Saat aku beranjak dewasa saudaraku yang lain mulai pergi karena mereka berkerja dan tinggal di luar. Aku bisa tidur sendirian di kamar. Makan tanpa berbagi lagi. Gak perlu antri saat mandi. Gak ada perselisihan versi kami. Dan aku bisa menguasai semuanya sendirian,” jedanya. Helaan napasnya pelan. “Tapi nyatanya aku lebih menikmati kebersamaan dengan kericuhan daripada sendirian.”
“Itulah perjalanan kehidupan. Masa lalu selalu menjadi representasi masa saat ini dan masa depan,” tukas Saba. “Suatu saat kita akan merindukan hal-hal yang dulunya kita tidak suka. Hal-hal yang kadang dulu tidak kita inginkan. Namun seiring waktu hal-hal itulah yang membekas dalam ingatan dan ingin kita ulangi.” Saba mengambil gelasnya. Menghabiskan isinya dan berdiri membawa gelas ke dapur.
“Bang Saba gak ngajak Na makan-makan syukuran?” sindirnya.
Saba terdiam sejenak.
“Mobil lama ke mana? Ditukar tambah ya?”
“Di bawa Arif ke bengkel,” sahut Saba.
“Oo … masih ada. Terus mobil baru itu punya Bang Saba, kan?”
Saba memutar tubuhnya setelah selesai mencuci gelasnya. “Mobil baru siapa?”
“Lho, ada mobil baru terparkir di atas. Aku kira punya Abang.”
Tanpa berpikir panjang, Saba berlari keluar rumah. Tanpa menggunakan alas kaki, menuju tempat parkir.
Ia yang bingung melihat reaksi Saba refleks ikut berjalan cepat mengikuti Saba. “Bang,” panggilnya. Namun Saba lebih cepat tiba di atas.
Saba tampak menggeleng. Melihat sebuah mobil mewah berada di rumahnya. Dengan napas memburu Saba menukas, “Pinjam handphonemu,” dengan tangan menengadah.
Dengan sigap ia mengeluarkan ponsel miliknya dari saku celana.
Saba tampak sedikit panik. Menelepon seseorang, “Halo, Rif,” ucapnya begitu sambungan telepon itu aktif. “Kenapa kamu menerima mobil ini, Rif?” sergahnya.
Sementara Arif di seberang telepon belum sempat menjawab. Saba kembali menukas, “Jangan main-main, Rif!” peringatnya. Lantas mematikan telepon. Menyerahkan ponsel itu kepadanya. Saba bersegera turun dan menuju rumah yang berada di belakang rumah utama.
“Bang,” tukasnya kembali mengikuti Saba di belakang. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Mengapa Saba terlihat tidak suka dengan keberadaan mobil baru yang berada di rumahnya.
“Bang mobil itu baru tiba hampir bersamaan dengan aku tadi,” ucapnya sambil terengah-engah menyusul Saba.
Saba yang telah masuk ke dalam ruangan perpustakaannya berhenti. Menghadapnya yang masih ketinggalan berjalan di belakang.
“Mobil itu hampir bersamaan datangnya dengan aku,” ulangnya lagi. Kini ia berhadapan dengan Saba yang tampak tidak suka dengan ucapannya.
“Siapa? Kamu mengenalinya?”
Ia menggeleng. “Mereka 2 orang pria. Pakai uniform lengkap. Seperti petugas keamanan,” jelasnya. “Badannya tegap. Aku sempat berpapasan. Tapi gak menyapa. Aku pikir Abang beli mobil baru,” imbuhnya.
“Ngaco!” dengus Saba. Lalu masuk ke dalam kamar.
Ia memilih untuk menunggu di luar kamar. Meski ia masih penasaran dengan apa yang terjadi pada Saba. Mondar-mandir langkahnya di depan kamar laki-laki itu.
Terdengar Saba menelepon seseorang. Entah siapa. Dengan nada bicara tegas dan marah. Ia makin penasaran. Menggigit kuku-kuku jemarinya gelisah.
Apa yang salah?
Cukup lama ia menunggu Saba keluar dari kamar. Entah sudah berapa orang yang dihubungi Saba lewat sambungan telepon.
Ia duduk di kursi panjang. Menunggu Saba keluar dari kamarnya. Hingga suara dering panggilan telepon muncul di layar ponselnya.
Arif memanggil ….
“Ya, Rif,” sahutnya.
“Bang Saba di mana, Mbak?” tanya Arif.
“Dia di kamar. Sebenarnya ada apa, Rif?”
“Aku gak bisa jelaskan sekarang. Panjang. Kalau Bang Saba tanya, aku lagi dalam perjalanan pulang. Sebentar lagi sampai. Mbak Nawa tunggu saja di teras depan,” pesan Arif.
Ia menatap pintu kamar Saba yang masih tertutup. “Aku tunggu di teras depan,” ucapnya sambil mematikan sambungan telepon dan meninggalkan ruangan perpustakaan.
...***...
“Kembalikan sekarang!” titah Saba tak ada penolakan. Menyerahkan sobekan kertas yang berisi catatan pada Arif.
Ia yang masih bingung hanya bisa menatap Saba lalu bergantian pada Arif yang baru saja datang. Belum sempat berbincang dengan Arif mengenai permasalahan mobil itu. Saba terlebih dulu menghampirinya.
Arif menerima sobekan kertas itu, menukas, “Ya, Bang.” Lalu pergi meninggalkannya dan Saba di teras rumah utama.
“Mobil itu hadiah? Kenapa dikembalikan?” tanyanya penasaran.
Saba masuk ke dalam rumah. Ia mengikuti di belakang.
“Aku gak membutuhkannya,” jawab Saba santai. Berbeda ketika pertama kali mengetahui keberadaan mobil itu.
“Kamu bisa jual. Bukankah gak sopan mengembalikan pemberian. Bagaimana jika mereka tersinggung?”
“Mereka memberikannya dengan pamrih,” ucap Saba.
“Pamrih?” lirihnya belum paham.
“Kamu tidak akan mengerti. Sudahlah. Bukan urusan kamu juga,” sebut Saba. Lantas keluar rumah dan menuruni anak tangga.
Ada sedikit getir meraba dada. Tetapi bukankah memang ia tak berhak tahu tentang Saba dan urusannya. Ia harus tahu batasan. Tarikan bibirnya samar.
“Nawa!” Saba berseru dari bawah.
Lagi, lagi senyum samar itu ia tunjukkan. “Maaf,” tukasnya pada Saba yang memberikan pakan ikan di kolam.
Ada desis dari mulut Saba. “Maaf?” tangkasnya bertanya. “Tidak perlu kamu pikir dalam. Mereka gak penting,” tambahnya.
Ia mengangguk dengan senyum.
“Ada yang lebih penting, ikan-ikan ini perlu makan. Dan butuh perhatian.” Saba menyerahkan satu genggam pakan ikan berupa butiran itu kepadanya.
“Ikan ini bisa di makan?” tanyanya. Melemparkan makanan ikan sedikit demi sedikit ke dalam kolam.
“Kalau kamu mau makan kamu bisa ambil.”
“Aku gak tega untuk membunuhnya. Lebih baik aku beli yang sudah siap untuk dimasak.”
Saba berdecak. Melepas sweaternya. Turun ke dalam kolam. Membawa serok ikan.
“Kamu mau ngapain?”
Saba mendorong serok ikan ke pojokan. Lalu mengangkatnya. Tiga ekor ikan terjaring. Sayang ketiganya masih tergolong kecil. “Turunlah, kalau kamu ingin tahu.”
Ia masih terdiam. Melihat Saba melepas kembali ikan tangkapannya.
Ingatannya tiba-tiba meluncur ke masa kecil. Saat itu, dirinya, Mbak Asthari dan Mas Panca beramai-ramai menjaring ikan di kolam Bude War—adik abah—yang tinggal di Mungkid.
Kolam ikannya cukup luas, sehingga menyusahkan mereka untuk mendapatkan tangkapan dengan cepat. Butuh waktu lama sampai dengan mereka pulang membawa tiga ekor ikan. Itupun menjadi bahan tertawaan oleh Bude War, “Kenapa anak ikan dibawa pulang,” ejeknya.
Percikan air di wajahnya membuatnya terkejut. Bibirnya mengerut. Saba biang keladinya.
“Masih mau melamun?” tukas Saba. Kembali mencipratkan air di mukanya.
Ia tidak terima. Menyisingkan celana panjangnya. Dan mulai turun ke kolam. “Masa cuma dapat anak ikan. Sini serok ikannya?” pintanya mengejek.
Saba memilih berdiri di sisi kolam. Setelah menyerahkan serok tersebut. Melihat Nawa mulai menggiring ikan ke sudut. Ditambah bergumam-gumam merayu ikan agar masuk ke dalam perangkapnya. Dengan satu tangan mengepak-ngepak air untuk membuat ikan berpindah tempat.
“Caramu justru menakuti mereka,” tangkas Saba.
“Ini cara yang tepat.” Seperti cara Mas Panca saat mengajarinya dulu.
“Mereka tambah stres.”
“Bikin mereka stres. Lalu masuk ke perangkap.”
“Bukannya masuk ke perangkap, tapi mereka cari tempat yang aman. Tuh, mereka mulai megap-megap di permukaan.”
“Bang Saba jangan berisik.”
“Bukannya kamu yang berisik dari tadi.”
“Suaraku pelan.”
“Ikan punya telinga. Pendengaran mereka tajam.”
“Bang, sstt …! Jangan berisik.”
Saba tertawa ringan. Tawa khas yang bisa diartikan mengejek.
Ia tidak menggubris Saba. Berputar-putar mengitari dinding kolam. Padahal kolam Saba jauh lebih kecil dibanding kolam Bude War. Namun nihil. Alih-alih ikan besar, satu anak ikanpun tak mau masuk ke dalam serokannya. Setelah berkali-kali mengangkat serokan.
Tawa ringan Saba membuatnya sedikit kesal.
Ia capek. Emosinya mulai naik. Ia menyimpan serokan di tepi kolam. Lalu naik ke dinding dan duduk di tepi.
Tawa Saba berakhir dengan senyum. Mengambil serokan. Mulai menggiring ikan. Tidak butuh lama dua ekor ikan masuk ke dalam perangkapnya. Saba mengangkat serokan itu menunjukkan kepadanya. “Harus tenang,” tangkas Saba seraya mencolek hidungnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Cut SNY@"GranyCUT"
Betul sekali.. kadamg sesuatu akan terasa berarti ketika susah tak lagi ada
2024-03-21
0
Cut SNY@"GranyCUT"
Duh jadi ingat masa lalu, karena saya juga 9 bersaudara. Kejadian yang persis sama.😄
2024-03-21
0
Norainah Hani
berani colek bang..
2024-02-08
0