4. Obrolan Keluarga

...4. Obrolan Keluarga...

Mengendap-endap langkahnya bagaikan pencuri. Lampu rumah sudah sebagian dimatikan. Menyisakan lampu pijar di sudut ruangan.

Sang ibu pasti sudah terlelap sedari tadi. Namun ia ingin memastikan kondisi ibunya. Dengan sangat hati-hati ia menekan gagang pintu agar tidak menimbulkan bunyi. Mendorong daun pintu ke dalam sangat pelan.

Cahaya kuning dari lampu tidur membuat kamar ibunya menjadi temaram. Namun ia masih bisa melihat wajah sang ibu yang telah lelap tertidur. Perasaannya lega.

Tiba-tiba ponsel miliknya yang tersimpan di saku celana bergetar. Ia merogohnya. Melihat siapa yang meneleponnya malam-malam. Ia lekas menutup pintu kamar. Menerima panggilan sambil menuju kamarnya.

“Ya, Mbak,” sahutnya begitu panggilan telepon itu terhubung.

“Kamu sudah pulang?”

“Hm … barusan.”

“Kemana saja sih? Katanya ngadep dosen mau bimbingan kok sampai malam banget,” keluh suara telepon di seberang.

“Kena tragedi.” Ia meletakkan tasnya di atas meja kamar. Lalu berbaring di kasur.

“Tragedi apaan? Kata Yani kamu tadi berangkat jam 1 siang. Masa sekarang jam 10 baru pulang?”

Ia meyahut, “Ya itu makanya kena tragedi.”

Suara decakan terdengar meremehkan di ujung telepon.

“Mbak Astha gak percaya, kalau aku terjebak di antara orang-orang yang lagi demo di istana?” Ia mendesakkan napasnya. Sedikit kesal mengingat kejadian tadi siang. “Aku bahkan diturunin sama tukang ojegnya di tengah jalan. Tega banget itu ojeg. Mana aku kena gas air mata lagi. Terus—“

“Lho … lo gak tahu kalau ada demo mahasiswa dan buruh di istana jelang May Day? Ish … lo saja yang ketinggalan berita,” cibir Asthari. Panggilan lo-gue kadang terucap begitu saja.

“Gak ada waktu dengarin berita,” gerutunya.

“Makanya Neng, jangan terlalu fokus bikin skripsi. Orang bapak polisi saja nyaranin untuk lewat jalan yang sudah dialihkan. Ini malah cari masalah. Bukan sepenuhnya kesalahan tukang ojeg juga. Tapi kesalahan lo yang gak prepare. Lagian tukang ojeg langganan lo kenapa sih, gak mau pindah ke aplikasi?! Sekarang sudah era four point o, Na. Di mana-mana serba internet. Coba lo pakai ojeg aplikasi pasti diarahkan jalan yang gak macet,” omel Asthari.

“Iya, iya, aku tahu, gak usah diceramahin begitu. Aku, kan cuma mau berbagi rezeki sama tukang ojeg pangkalan di depan kompleks. Jangan salahin juga sama mereka yang gak mau beralih aplikasi. Mereka merasa sudah tua, sudah terlambat untuk mengikuti zaman dan tepatnya malas buat menambah literasi teknologi,” kilahnya. Meski dikata ketinggalan zaman, namun buktinya masih ada saja masyarakat yang tetap bertahan dengan teknologi lama. Mereka tidak malu dibilang ketinggalan zaman.

Asthari tergelak.

“Mbak Astha kapan berangkat ke Kanada?” Ia mengalihkan pembicaraan.

“Belum tahu, Na. Dokumennya belum lengkap. Mungkin masih lama.”

“Tungguin dulu aku wisuda bagaimana?” tawarnya. Hanya Asthari dan kakaknya yang berada di Bandung yang pasti bisa hadir nanti di acara wisudanya selain ibunya. Kalau Asthari berangkat ke Kanada dalam waktu dekat, otomatis hanya dua orang yang bisa menghadiri wisudanya nanti. Ibu dan juga Mbak Sapta yang tinggal di Bandung.

“Yee … memangnya lo wisuda kapan? Skripsi saja belum jelas masih remang-remang.”

“Prof Gunadi gak kasihan sama anak bimbingannya nih. Mau bimbingan saja dipersulit,” keluhnya. “Zaman four point o masih saja gak mau bimbingan lewat online.”

Tawa Asthari nyaring. Lantas berkata dengan masih tergelak, “Lo pikir sekarang masih pandemi?”

Ia membalikkan tubuhnya menjadi tengkurap. Memejamkan mata. Ponselnya masih menempel di telinga.

“Lagian lo bukan kuliah di UT,” tambah kakaknya itu. “Prof Gun juga mau lihat seberapa besar perjuangan mahasiswanya untuk menyelesaikan tugas akhir. Beliau bermaksud baik kok.”

“Iya, iya …,” jawabnya pasrah mendapat ceramah dari sang kakak.

“Yaudah deh, sudah malam. Besok gue sempatin mampir ke rumah lihat ibu. Bye, Na. Mimpi indah ya, adikku.”

...***...

“Yan, ibu sudah makan?” tanyanya pada Yani generasi kedua dari Ibu Tuti yang bekerja pada keluarganya.

“Sudah, Mbak. Baru saja aku bawa ibu ke teras depan buat berjemur,” sahut Yani yang tengah membereskan dapur.

“Makasih ya, Yan.” Ia beranjak meninggalkan Yani menuju ke halaman depan rumah. Sang ibu terlihat tidak berada dalam kursi rodanya. Namun tengah berdiri mengelap dan memetik daun kering pada anggrek bulan yang tergantung di dahan pohon kelengkeng.

“Lho, Bu kok malah berdiri di situ?” tukasnya khawatir menghampiri ibunya. Baru 3 bulan yang lalu ibunya itu menjalani operasi bypass jantung. Setelah dua kali menjalani tindakan operasi stent jantung beberapa tahun terakhir ini.

“Ibu gak apa-apa, Na. Bosan duduk terus. Lagian tanaman-tanaman ibu sudah mulai berantakan gak terawat.”

“Biar Na saja, Bu.” Ia berusaha membantu memilah dan menyingkirkan daun-daun mati dan menguning dari pot anggrek yang terbuat dari sabut kelapa.

“Kamu mana telaten yang beginian. Tanaman Ibu sudah banyak yang gak terawat. Malah ada yang tinggal potnya saja sekarang,” celetuk sang ibu.

Senyumnya menyeringai. Lantas menukas, “Na, selalu ingatkan Yani buat nyiram tanaman ibu setiap hari kok.”

Ibu Tiyuh menggeleng. “Tanaman itu gak cuma butuh air, Na. Butuh pupuk, butuh tanah yang gembur, butuh sinar matahari, butuh kita untuk peduli padanya, contohnya ya, seperti sekarang ini.” Ia bergeser ke pot tanaman yang berjejer berbagai jenis aglonema. “Tadi malam kamu pulang jam berapa? Bagaimana hasil pertemuannya dengan Prof Gunadi?”

Ia membantu mengaduk-aduk tanah dalam pot yang berada di bawah agar gembur. “Gak jadi,” jawabnya.

“Lho kok gak jadi? Terus kamu kemana?”

“Mm … Na, gak jadi ke rumah Prof Gunadi. Tapi ke rumah teman. Soalnya Na gak tahu, Bu kalau ada demo. Makanya sampai sana terlambat. Daripada disuruh pulang lagi sama Prof Gunadi karena telat mending Na gak jadi datang deh. Tahu sendiri Prof Gunadi gak tolerir keterlambatan sedikit saja,” paparnya.

Lagi-lagi Tiyuh menggeleng. “Terus kamu gak ngabari beliau kalau kamu gak jadi datang?”

Ia menukas, “Dikabari kok. Tapi ya … gak dibalas.”

“Jadi kamu gak ketemu sama dosen pembimbing. Terus kamu malah klayapan ke rumah teman sampai malam.”

“Bukan klayapan, Bu. Main doang sambil tunggu demo bubar,” sanggahnya. Ia tidak mau ibunya khawatir akan kondisinya jika ia menceritakan kejadian yang dialami kemarin.

Gelengan Tiyuh menandakan tak habis pikir dengan polah anak bungsunya ini.

“Kata Mbak Astha fokus skripsi harus, tapi healing juga perlu,” dalihnya membawa-bawa nama Asthari.

“Na … Na.” Tiyuh berdecak. Tapi diakhiri dengan senyum setelahnya. Anak-anak jaman sekarang jauh beda dengan jamannya dulu. Juga beda dengan perilaku anak-anaknya yang lain. Namun ia tetap bangga dengan Nawa. Anak terakhir yang sering diabaikan olehnya karena kesibukannya dulu. Beruntung saudaranya banyak, jadi Tiyuh bisa tenang karena Nawa selalu dijaga bergantian oleh kakak-kakaknya.

Selama Tiyuh sakit kurang lebih lima tahun terakhir ini, Nawalah yang paling sering menemaninya. Di rumah sakit, di rumah dan saat-saat kontrol ke dokter. Bahkan anak itu rela mengambil cuti kuliah untuk merawatnya.

Tiyuh menatap punggung anak bungsunya itu yang masih membungkuk mengorek tanah yang padat. Sejak suaminya meninggal lima tahun lalu, Nawa menjadi satu-satunya anak yang paling dekat dengannya. Apalagi setelah Sapta diterima bekerja di Bandung dan membentuk keluarga kecil di sana. Lalu Asthari harus bekerja jauh dan pada akhirnya menikah dan memilih tinggal dengan suaminya meski mereka masih dalam kota yang sama. Begitu juga dengan anaknya yang lain. Bukan berarti hubungannya dengan anak-anak yang lain tidak dekat. Hanya saja jarak memisahkan fisik mereka dan membatasi intensitas pertemuan. Sehingga komunikasi antar mereka juga tidak sering.

Memiliki banyak anak tidak menjamin orang tua akan terus selalu dikelilingi oleh mereka. Tiyuh sadar akan hal itu. Rumah yang dulunya selalu ramai sekarang sepi. Rumah yang dulunya terasa sempit bahkan kurang ruang sekarang terasa lapang karena penghuninya telah pergi satu per satu meninggalkan tempat tumbuh kembang mereka.

Waktu rasanya cepat sekali berganti. Masa itu akhirnya sekarang tiba.

Ada kegetiran menyelinap dalam hati Tiyuh. Andai Nawa menikah kelak, akankah ia akan tinggal sendirian? Atau ia tidak akan sempat melihat Nawa menikah.

“Ibu kok melamun?” tanyanya melihat sang ibu menatapnya kosong.

Tiyuh menarik bibirnya hingga melengkung. “Kamu sudah punya pacar, Na?”

Terpopuler

Comments

Tri Dikman

Tri Dikman

Ke Kanada ,ke kota mana nie..kali aja kita ketemu mb Astha 😊

2024-06-16

0

.

.

iya ya bu...ini juga yg selalu aku fikirkan setelah jd orang tua

2024-01-29

1

Cut SNY@"GranyCUT"

Cut SNY@"GranyCUT"

Betul banget ini thor..
Dekat rumah saya masih ada beberapa tukang ojek pangkalan dan usianya mereka sudah sepuh, sepertinya meraka enggan beralih menjadi ojol. Suka kasian..

2023-12-01

2

lihat semua
Episodes
1 Pengumuman
2 1. Terjebak Situasi
3 2. Ceramah Intimidasi
4 3. Suka Ceplas-Ceplos
5 4. Obrolan Keluarga
6 5. Kinesika Diskusi
7 6. Dendrophile
8 7. Persiapan Hiking
9 8. Real Hiker
10 9. Es Cincau dan Sambal
11 10. Amunisi dari Paniisan
12 11. Kunjungan Bermakna
13 12. Artikel Opini
14 13. Proletarnya Prolateriat
15 14. Pertama Kali
16 15. Dialektika
17 16. Dialektika Lanjutan
18 17. Reuni
19 18. First Impression
20 19. Perpisahan Sekaligus Perjumpaan
21 29. Monolog Internal
22 21. Di Bawah Pohon Jengkol
23 Visual Abang Saba
24 22. Peserta Seminar
25 23.Singgah
26 24. Tentatif atau Definit
27 25. Aksi Nyata
28 26. Argumen dan Sentimen
29 27. Senayan
30 28. Seni Semiotik
31 29. Segelas Teh dan Speculaas
32 30. Act of Service
33 31. Attraction and Curiosity
34 32. Eros
35 33. Gundah
36 34. Firasat
37 35. Katarsis
38 36. Antara Perasaan dan Emosi
39 37. Tafsiran
40 38. Obrolan (Tak) Terbatas
41 Visual Nawa
42 39. Storge
43 40. The Big Family
44 41. Sembilan Dinar Emas, Sembilan Slot Saham dan Sembilan Kambing
45 42. Absurditas Romansa
46 43. Patron Pasangan
47 44. Momen Bukan Momen
48 45. You are What You Think
49 46. Absurditas Romansa Lanjutan
50 47. Eh
51 48. Interpretasi Di Atas Interpretasi
52 49. Riak-Riak Hubungan
53 50. Pasangan Adalah Puzzle
54 51. Kembalinya Momentum
55 52. Koneksi Panca
56 53. Tiga Hari Pertama
57 54. Pendopo Talks
58 55. Sublimasi Perasaan
59 56. Tengil Namun Mentereng
60 57. Avonturir
Episodes

Updated 60 Episodes

1
Pengumuman
2
1. Terjebak Situasi
3
2. Ceramah Intimidasi
4
3. Suka Ceplas-Ceplos
5
4. Obrolan Keluarga
6
5. Kinesika Diskusi
7
6. Dendrophile
8
7. Persiapan Hiking
9
8. Real Hiker
10
9. Es Cincau dan Sambal
11
10. Amunisi dari Paniisan
12
11. Kunjungan Bermakna
13
12. Artikel Opini
14
13. Proletarnya Prolateriat
15
14. Pertama Kali
16
15. Dialektika
17
16. Dialektika Lanjutan
18
17. Reuni
19
18. First Impression
20
19. Perpisahan Sekaligus Perjumpaan
21
29. Monolog Internal
22
21. Di Bawah Pohon Jengkol
23
Visual Abang Saba
24
22. Peserta Seminar
25
23.Singgah
26
24. Tentatif atau Definit
27
25. Aksi Nyata
28
26. Argumen dan Sentimen
29
27. Senayan
30
28. Seni Semiotik
31
29. Segelas Teh dan Speculaas
32
30. Act of Service
33
31. Attraction and Curiosity
34
32. Eros
35
33. Gundah
36
34. Firasat
37
35. Katarsis
38
36. Antara Perasaan dan Emosi
39
37. Tafsiran
40
38. Obrolan (Tak) Terbatas
41
Visual Nawa
42
39. Storge
43
40. The Big Family
44
41. Sembilan Dinar Emas, Sembilan Slot Saham dan Sembilan Kambing
45
42. Absurditas Romansa
46
43. Patron Pasangan
47
44. Momen Bukan Momen
48
45. You are What You Think
49
46. Absurditas Romansa Lanjutan
50
47. Eh
51
48. Interpretasi Di Atas Interpretasi
52
49. Riak-Riak Hubungan
53
50. Pasangan Adalah Puzzle
54
51. Kembalinya Momentum
55
52. Koneksi Panca
56
53. Tiga Hari Pertama
57
54. Pendopo Talks
58
55. Sublimasi Perasaan
59
56. Tengil Namun Mentereng
60
57. Avonturir

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!