...13. Proletarnya Proletariat...
“Kompas. Koran tiga minggu yang lalu, Pak. Yang memuat demo di istana,” ucapnya pada penjual lapak surat kabar di pinggir jalan menyebutkan permintaannya. Ia tidak tahu percis tanggal terbitnya. Yang jelas memberitakan tentang demonstrasi di istana negara. Ia penasaran ingin membaca lebih lanjut tentang tulisan Saba di rubrik opini. Sebab hanya sedikit paragraf yang ditampilkan sebagai cuplikan artikel. Itupun ia tidak sempat membacanya. Mau pinjam ke Prof Gunadi rasanya momennya tidak tepat. Tidak elok, sekaligus sungkan.
“Ini?” Pedagang koran itu menunjukkan koran bekas yang memuat demo buruh dan mahasiswa di istana.
Ia menggeleng. Karena halaman pertama jelas berbeda.
“Yang ini?” tukas penjual itu lagi. Menunjukkan koran padanya.
“Kompas, Pak. Bukan Republika,” sergahnya. Padahal di awal ia sudah katakan merek koran yang dicarinya.
Tangan pedagang itu sibuk menyibak tumpukan koran bekas di bawah meja. “Sekarang banyak koran yang gak cetak lagi, Mbak. Dengar-dengar Rebuplika juga mau tutup akhir tahun ini. Pandemi kemarin orang-orang pada beralih ke versi digital.”
Ia menyahut sambil melihat-lihat dagangan koran, tabloid dan majalah yang di susun di atas meja lapak. “Tapi Bapak masih jualan koran hari ini,” sergahnya.
“Iya masih. Tapi kagak tahu juga sampai kapan.” Pedagang itu malah bercerita masalah dunia per-koranan. “Tempo sudah tutup pas pandemi kemarin. Punya Dahlan Iskan juga sudah tutup. Tabloid-tabloid banyak yang gak cetak lagi. Noh, tabloid bola, sudah kagak ada lagi. Ini mah tabloid bekas semua sejak sebelum pandemi. Malah banyak koran bekas dari Cina sono. Bahasanya kagak ngerti. Siapalah yang impor koran bekas kayak begini. Negara kita kebagian yang bekas-bekas, dah,” celetuknya.
“Gimana, Pak? Ada gak yang saya cari?” tangkasnya.
“Mbaknya cari berita masalah demo kemarin?”
Kepalanya mengangguk cepat. Harus berapa kali ia menjelaskan pada pedagang ini.
“Harus Kompas, ya?”
Ia mengangguk lagi. Mulai habis kesabaran.
Tangan pedagang itu berpindah pada tumpukan surat kabar yang lain. Menyibak-nyibak tumpukan yang cukup tebal. “Ini Kompas tanggal kemarin,” gumamnya. “Yang ini kemarinnya lagi … tanggal 5, 4, 3 … nah ini tanggal 2.”
Ia menerima koran yang diberikan pedagang tersebut. Memastikan foto Saba ada di halaman pertama. “Makasih, Pak.” Kemudian memberikan uang sepuluh ribu pada penjual koran. Tanpa bertanya lagi berapa harga koran yang dicarinya itu.
“Sama-sama, Mbak.”
...***...
“Kaum buruh adalah proletarnya proletariat,” gumamnya membaca kembali judul artikel opini dari Saba Lumintang.
Dalam paragraf awal tulisan Saba telah menarik. Begitu juga paragraf-paragraf berikutnya.
Saba mendeskripsikan kehidupan buruh yang menjadi lapisan kelas kedua dari kelas kapitalis yang hidup dari hasil kerjanya. Proletariat sendiri adalah lapisan sosial masyarakat yang paling rendah. Seperti buruh, yang hanya bekerja dari menjual tenaganya.
Dengan jelas Saba mengurai polemik proletarnya proletariat dari kaum buruh. Dari stereotip, kesenjangan upah, pendidikan, dan sosial serta politik. Bahkan dibahas juga kaum buruh perempuan yang mengalami dua kali perlakuan sebagai kaum proletariat.
Sementara peran pemerintah kian hari kian berada di pihak kapitalis. Yang menurut negara banyak menyumbang untung. Hal itu terbukti dengan undang-undang ‘sapu jagat’ yang diproduksi oleh penguasa. Ironis.
Di akhir artikel Saba memperingatkan semua unsur pemerintah dan kaum kapitalis untuk mendengar dan memperhatikan kaum proletariat ini.
Tulisan Saba didedikasikan untuk menyambut hari buruh. Sekaligus sebagai representasi demonstrasi pada tirani kapitalis.
Artikel yang sangat menarik. Ujung bibirnya tertarik. Perlahan kekaguman itu semakin bertambah terhadap sosok Saba. Tanpa berpikir panjang ia mengirimkan pesan pada Saba bahwa esok hari ia meminta izin untuk bertemu dan berdiskusi. Sebab ia tahu meski Saba bukan pekerja yang terikat dengan waktu dan tempat, tapi Saba cukup sibuk dengan dunianya.
Sepertinya rileks sejenak tentang skripsi, karena Prof Gunadi meminta draf skripsinya dan akan mengoreksi di kemudian hari. Ia akan diberitahu kapan jadwal untuk bertemu kembali.
Dan tentu saja membuang sedikit kekecewaan atas tawaran Mas Cipta yang tidak mungkin terpenuhi dalam waktu dekat ini. Lalu, ia rindu suasana rumah Saba. Rumah Saba yang tenang, adem, dan nyaman.
...***...
Meski belum mendapat balasan pesan dari Saba hingga keesokannya, jelang siang ia telah tiba di depan gerbang rumah laki-laki itu.
Pada saat turun dari taksi ia melihat dua orang berseragam uniform lengkap keluar dari pagar dan menutup pintu. Lantas masuk mobil lainnya yang terparkir tidak jauh dari taksi yang ditumpanginya.
Ia sempat memperhatikan sekilas dua pria tersebut. Lalu membayar taksi. Ketika membuka pintu pagar terlihat mobil lain terparkir tepat di tempat biasa mobil milik Saba berada.
Mobil hitam itu terlihat baru. Mengkilat. Dan pastinya lebih gagah dan garang dari mobil Saba yang diketahuinya selama ini. Ia mengira mungkin Saba menjual mobil lawasnya lalu membeli mobil baru ini. Siapa tahu, meski rasanya tidak mungkin.
Dari segi panilaiannya, Saba bukan orang yang semata-mata selalu menjaga prestise. Saba selalu apa adanya, dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki.
Namun kemungkinan bisa saja terjadi. Saba menukar mobil lawasnya dari Taft menjadi Fortuner karena kebutuhan. Kebutuhan selalu menjadi alasan utama yang kadang bertentangan dengan prinsip.
Ia melihat Bu Ning tengah berjalan menuju rumah utama dari bawah. Sedangkan ia sengaja berhenti di teras rumah untuk menyapa, “Apa kabar Bu Ning?”
“Baik, Mbak. Silahkan … silahkan,” tukas Bu Ning memberinya jalan untuk masuk lebih dulu.
“Bu Ning bawa apa?” tanyanya melihat termos kecil di tangan asisten rumah tangga Saba tersebut.
Bu Ning yang membuka pintu rumah menyahut, “Minuman jahe. Pak Saba lagi gak enak badan katanya. Tadi pagi baru saja sampai rumah.”
“Bang Saba sakit?”
“Gak enak badan katanya. Minta saya bikin minuman penghangat.”
“Boleh saya yang antar Bu Ning?” tawarnya ketika melihat Bu Ning menuangkan isi termos ke dalam gelas.
Bu Ning tersenyum, “Boleh, boleh,” ucapnya.
“Pak Saba ada di bawah.”
“Pendopo, ya?” tangkasnya.
“Bukan. Di sini,” Bu Ning mengajaknya untuk mengikutinya.
Ia bahkan tak menyangka rumah utama itu memiliki pintu ke luar yang menghubungkan dengan anak tangga menuju ruangan di bawahnya rumah utama. Memanfaatkan kolong rumah utama dijadikan ruangan lain.
“Masuk saja, Mbak, Pak Saba ada di dalam,” imbuh Bu Ning yang berhenti di anak tangga terakhir.
Ia mengulas senyum. Lalu masuk ke dalam ruangan tanpa berpintu itu. Sedikit gelap, karena mungkin letaknya yang berada di bawah kolong pondasi rumah. Jendela kecil di kanan kiri ruangan menjadi sumber cahaya utama satu-satunya. Di samping lampu baca yang tengah menyala.
“Bang, ini minumannya.”
Saba yang duduk di kursi menoleh. “Nawa,” sebutnya.
Ia mengangguk. “Tadi aku yang meminta Bu Ning untuk mengantarkan minumannya. Abang sakit?” tanyanya melihat Saba berbalut jaket sweather.
“Hanya gak enak badan saja. Sebentar lagi paling sembuh,” kilah Saba. Menutup laptopnya. Saat ia menyimpan minuman di atas meja.
“Masih panas, hati-hati,” pesannya pada Saba saat ingin langsung meminumnya.
Kedua matanya melihat suasana ruangan yang tidak luas ini. Selain meja dan kursi yang dipakai Saba kerja, ada beberapa buku dalam rak yang menempel di dinding. Di bawahnya terdapat meja kecil dan kursi lipat.
“Kita ke atas,” ajak Saba ketika ia hendak duduk di kursi lipat.
Ia mengurungkan untuk duduk. Mengikuti Saba yang berjalan di depan sambil membawa gelas.
“Pantas pesan aku gak dibalas, karena Bang Saba sakit,” tukasnya sambil menaiki tangga.
“Aku baru pulang, jadi gak sempat lihat pesan.”
“Aku kirim pesan kemarin sore.”
“Aku sedang dalam perjalanan.”
“Yang penting aku sudah kirim pesan,” putusnya.
Saba menegak minumannya sebelum duduk.
Ia ikut duduk di depan Saba. “Bang Saba rajin, ya kirim artikel opini ke surat kabar?”
Saba terlihat kembali menegak minumannya. Menipiskan bibir dan menyahut, “Kadang-kadang.”
“Aku gak sengaja nemu tulisan Bang Saba di—“
“Mereka yang meminta aku bikin artikel opini,” sela Saba.
“Bagus dong. Artinya pihak media yang percaya sama Abang. Pasti Abang seorang tokoh yang dinilai sama mereka pantas memberikan ulasan artikel seperti itu,” terangnya.
Saba tertawa ringan.
“Surat kabar besar. Bukan kaleng-kaleng. Tulisan yang dimuat di sana pasti sudah teruji dan terverifikasi,” timpalnya.
Sebelum bangkit dari kursi, Saba kembali menegak minumannya. “Bagaimana dengan skripsimu?”
“Ada perkembangan,” jawabnya. Ia melihat Saba menuangkan minuman dari rendaman buah jeruk ke dalam gelas. Lantas menyodorkan minuman itu kepadanya. “Buat aku?”
“Ya.”
Ia menerima gelas tersebut.
“Jeruk dari kebun sendiri,” terang Saba kembali duduk.
“Bang Saba ada family yang dikuburkan di TPU Mulyasari?”
Saba menggeleng.
“Yang kemarin kita ketemu, Bang Saba jenguk siapa?” Saba terlihat buru-buru. Sehingga ia tidak sempat bertanya lebih.
“Teman.”
“O, aku pikir ada family di situ. Kalau aku ada 5 keluarga yang tinggal di sana.”
“Lima?” tanya Saba sedikit terkejut.
“Ya. Bang Saba pasti gak percaya?” tukasnya. “Ada makam abah dan juga 4 saudara, kakak laki-laki.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
💕Erna iksiru moon💕
wah banyak y anaknya abah yg meninggal aja 4 sodara laki2nya.bang Saba keknya ada keterikatan sama mas Panca x y
2023-11-22
3
gorheen_1607
berarti makam berderet 4 itu kakaknya nawa?
2023-11-18
1
gorheen_1607
mgkn kah mas panca kakaknya nawa?
2023-11-18
1