...6. Dendrophile...
Satu jam lebih ia menunggu Saba. Namun belum ada tanda-tanda forum diskusi itu bubar. Matanya lelah. Yang jelas ia mulai bosan. Tiga buah buku yang dipilihkan Saba tergeletak begitu saja di kursi panjang. Hanya satu buku yang dibacanya. Karya Prof Gunadi edisi pertama. Ia dulu sempat mencari buku ini namun kabarnya setelah edisi ketiga buku tersebut tidak lagi diterbitkan.
Meski merasa beruntung, tetap saja baginya buku Prof Gunadi masuk bacaan yang berat. Karena membutuhkan mood baik untuk memahaminya. Dan ia akhirnya memilih untuk meletakkannya bersama dua buku lain.
Ia justru tertarik melihat-lihat majalah desain interior. Sesuai dengan uji teori pembelajaran VAK—Visual, Auditory, Kinesthetic— yang mengategorikan dirinya masuk kelompok visual dalam pembelajaran. Lebih tertarik dan lekas memahami sesuatu dengan melihat objek.
Suasana lingkungan rumah Saba sangat asri dan sejuk. Meski pendingin udara mati, rumah ini cukup dingin. Hal itu pula yang mendukung matanya untuk terpejam.
Ia berdiri mencari kesibukan untuk mengusir kantuk yang datang. Sebuah rak tertutup ia buka untuk melihat isinya. Ia pikir isinya akan sama saja dengan rak-rak yang terbuka. Namun ternyata berbeda.
Berbagai jenis minuman terpampang dalam rak. Ia memilih menutup kembali rak tersebut. Kemudian mendekati rak yang menurutnya aneh. Susunan beberapa rak yang asimetris. Sementara rak-rak lain konsisten presisi dengan posisi tegak lurus di setiap pembatas rak.
Penasarannya makin meningkat. Ia mencari sesuatu di sana. Dan menemukan sebuah buku. Diambilnya buku tersebut. Akan tetapi tidak bisa. Sebab buku itu ternyata hanya buku tiruan. Ia menekan-nekan buku tersebut. Namun justru pintu kamuflase itu terbuka.
Sebuah ruangan serba putih. Tepatnya kamar tidur. Sebab ada ranjang tatami di sana yang juga didominasi warna yang sama. Tak jauh beda dari ruang di luarnya, beberapa buku menumpuk di samping kasur.
Langkahnya perlahan masuk ke dalam. Meski minimalis tapi ruangan-ruangan di rumah Saba unik dan menarik. Jika rumah utama dipenuhi unsur industrial bata merah ekspos dan kayu unfinished serta lukisan tokoh. Maka dua ruangan yang menyatu ini dipenuhi buku-buku dan terlihat lebih clean karena berwarna terang.
Ia berbalik. Melihat dinding yang sebenarnya tersambung dengan rak-rak buku di luar tadi. Ternyata rak itu menyatu dan built-in dengan rak dalam kamar ini. Namun kompartemen bagian dalam kamar digunakan untuk menyimpan koleksi tas punggung milik laki-laki itu.
Tangannya menarik katrol roller blind berwarna putih yang menutup jendela. Suasana kamar seketika makin terang. Karena cahaya matahari sore menembus kaca. Jendela itu ia buka. Membuat angin segar langsung menyergap masuk. Dari jendela ini ia bisa melihat atap pendopo yang terbuat dari daun rumbia. Tempat di mana Saba dan teman-temannya berada.
Ia kembali keluar dari kamar. Menyimpan majalah pada tempatnya semula. Matanya sekali lagi beredar pada rak-rak buku. Mencari sesuatu yang mungkin lebih menarik. Sayangnya, saking banyaknya, ia justru tak menemukan apapun. Bahkan ia malah kebingungan.
Menyambar kembali buku yang sempat dibacanya tadi, ia membawanya masuk ke dalam kamar. Menata bantal untuk menyangga kepalanya bersandar pada dinding. Ia setengah berbaring. Membuka lipatan halaman buku terakhir. Kemudian melanjutkan membaca.
...***...
“Oke. Aku rasa diskusi kita gak bisa hanya pada hari ini saja.”
“Ya. Setuju.” Semua orang dalam pendopo itu mengangguk.
“Kita tetap mewaraskan dan mewariskan pikiran-pikiran untuk mencari keadilan,” tutup Saba.
“Oke, gue duluan.” Tiga orang bangkit hampir bersamaan. “Thank you, Bro.” Mereka saling beradu kepalan tangan. Tanda salam perpisahan maupun perjumpaan. Meninggalkan Saba serta Yanri yang beringsut menyandarkan punggung ke tiang kayu pendopo.
“Tanggal 1, lo hadir?” tanya Yanri.
“Justru tanggal 1 pagi gue ngasih pembekalan dulu GSBI sebelum mereka bergerak,” sahut Saba.
“Ada info aliansi massa akan bertambah. Perkiraan jumlahnya lebih dari kemarin,” kata Yanri.
“Ya gue juga dengar itu. Ya, baguslah. Itu juga sebagai ancaman sekaligus tuntutan yang gak main-main,” tangkasnya.
Yanri menggeleng-gelengkan kepala. “Heran gue, undang-undang sapu jagat itu dinilai banyak pihak cacat. Baik secara formil maupun materiil. Itu sudah jelas-jelas. Tapi para pembuat undang-undang bergeming.”
“Gak usah heran, Yan. Kayak lo gak tahu tabiat penguasa kali ini,” sindirnya.
Lagi-lagi Yanri bergeleng. Tak habis pikir. Lalu menukas, “Okelah …,” seraya bangkit. “Sampai jumpa lagi. Gue ada janji antar si Faris beli sepatu.”
“Salam buat si Faris,” sahutnya.
“Dia selalu nanyain kapan bisa main kesini. Antusias banget mau lihat rumah pohon katanya.”
Saba tertawa. “Faris sama gue punya kesamaan. Masa kecilnya bercita-cita ingin tinggal di rumah pohon.”
Yanri menukas, “Wah, dia mirip banget kayak lo. Dendrophile,” ucap Yanri sambil memakai sepatu.
“Kenapa gak diajak kemari?”
“Lo sibuk terus. Gue juga belum ada waktu santai. Kapan-kapan ajalah,” Yanri berdiri. Beradu kepalan tangan dengan Saba, lalu pergi.
Saba menghela napas. Kepalanya tengadah. Menatap ke arah jendela perpustakaan. Tiba-tiba ia teringat akan Nawa yang disuruhnya untuk menunggu di sana.
Dengan cekatan ia bangkit lalu menuju kamar tidurnya yang menyatu dengan perpustakaan. Bagaimana bisa ia melupakan Nawa. Ia melihat jam tangan di pergelangan. Sudah lebih dari dua jam yang dijanjikan.
Langkahnya makin sigap. Melewati selasar rumah utama. Namun anehnya tiba di perpustakaan tak ada Nawa.
“Nawa,” panggilnya. Tetap saja tidak ada sahutan.
Ia membuka pintu kamarnya yang berbentuk kamuflase rak buku. Dan di atas ranjangnya, Nawa tampak berbaring sambil memeluk sebuah buku. Tertidur.
Helaan napasnya lega. Ia pikir Nawa akan pulang tanpa berpamitan dengannya. Karena lebih dari 2 jam ia meninggalkannya. Ternyata perempuan itu menunggunya hingga tertidur di kasur.
Bibir Saba menipis. Menyadari Nawa termasuk pengunjung yang luar biasa dan berani. Sebab bisa menemukan pintu kamuflase rancangannya sekaligus tidur di ranjangnya. Padahal Bu Ning dan Arif saja tidak berani. Bu Ning hanya akan masuk kamarnya pada saat bertugas membersihkan saja. Itupun karena permintaannya.
Timbul sedikit rasa kesal bercampur rasa bersalah seketika.
...***...
“Maaf aku, aku ketiduran.” Ia menghampiri Saba yang tengah mengaduk tanah. Cerobohnya lagi ia tidur di kasur milik laki-laki itu. “Aku juga telah lancang tidur di tempat tidurmu,” imbuhnya.
Saba melihatnya sejenak. Lalu kembali sibuk mengaduk tanah yang dicampur dengan kompos menggunakan cangkul.
“Sebagai tebusan karena aku telah tidur di kasurmu aku menawarkan diri untuk membantumu,” tukasnya. Ia menyisingkan celana panjangnya hingga betis. Mengambil sendok tanah dan mengisi pot-pot tanaman yang kosong dengan media tanah.
“Apa ini tanaman yang harus ditanam di sini?” Ia melihat beberapa jenis tanaman hias yang berada dalam polybag. Ada yang berwarna merah, hijau serta pink.
“Ya,” sahut Saba.
“Kamu beli?” Satu persatu ia memulai menanam tanaman tersebut.
“Ada yang beli ada yang bibit sendiri.”
“Kamu seperti ibuku, suka tanaman,” ucapnya.
Saba membantu membongkar tanaman pada polybag dan mendekatkan pada pot baru.
“Apa kamu juga yang menanam tanaman ini semua?” Ia menunjuk sekeliling pohon dan tanaman-tanaman di rumah laki-laki itu.
“Ya, siapa lagi,” tukas Saba.
“Aku pikir kamu pakai tukang kebun.”
“Saba berdecak. “Ini pekerjaan mudah.”
“Salut. Meski kamu sibuk,” tangkasnya.
“Sesekali kalau gak sempat baru minta tolong suami Bu Ning.” Saba menyerahkan sarung tangannya, “nanti tanganmu kotor.”
“Aku sudah biasa.” Ia menolaknya. “Ada berapa jenis tanaman di sini?” tanyanya.
“Banyak. Mungkin ratusan. Saking banyaknya aku gak pernah menghitung.”
“O, ya.” Tujuh tanaman dari polybag itu telah selesai dipindahkan semua pada pot yang baru dan lebih besar.
“Kalau kamu gak percaya, silahkan hitung sendiri,” tawar Saba. Mencuci tangannya di keran air yang tak jauh dari mereka.
“Mungkin kapan-kapan saja,” sahutnya. Padahal entah kapan lagi ia ke sini. Mungkin hari ini bisa jadi pertemuan terakhir.
“Kalau begitu sekarang saja kamu hitung,” tangkas Saba.
“Hah, sekarang?” Ia yang tengah mencuci tangannya sedikit terkejut.
“Ya, untuk membuktikan ucapanku,” usul Saba.
Laki-laki itu berjalan di depan. Sementara ia mengikuti di belakang. Ia tidak mungkin menghitung satu per satu tanaman yang tumbuh di tanah Saba. Karena memang sangat banyak. Namun karena dirinya penasaran saja.
Saba menunjuk sebuah rumah berbentuk pondok di bawah mereka. “Itu rumah Bu Ning,” ucapnya. “Dari dulu keluarga Bu Ning tinggal di situ. Tanah ini awalnya dimiliki oleh keluarga Bu Ning. Mereka menjualnya. Dan aku yang membelinya. Dulu gak ada satupun orang yang mau membeli tanah tebing seperti ini. Gak laku. Mungkin karena takut.”
“Lalu kenapa Bu Ning masih tinggal di sana?”
“Ya, karena mereka yang mengelola tanah ini dari nenek-kakek mereka. Mereka masih berharap bisa terus tinggal di sini meskipun pemilik tanah yang sesungguhnya sudah berbeda. Apalagi mereka masih mau bekerja. Jadi, ya mereka tetap bisa tinggal di situ sekalian bantu-bantu,” terang Saba. “Lihat itu! Pohon-pohon besar ini usianya sudah puluhan tahun. Yang itu sudah ada dari dulu,” tunjuk Saba pada beberapa pohon yang sangat tinggi dan besar.
“Kamu gak takut kalau tebingnya longsor?”
Mereka berdiri di area yang cukup lapang. Ia melihat pemandangan belakang dari mereka berdiri sekarang. Rumah utama dan 2 bangunan lain yang berbentuk panggung terlihat mengkhawatirkan. Meski pemandangan yang tawarkan sangat indah namun dibalik itu punya risiko juga besar.
Saba tertawa. Namun terkesan menyudutkan.
Ia menipiskan bibir. “Aku bukan anak sipil,” protesnya.
“Pertanyaan kamu menjadi pertanyaan yang ke-100 dari orang-orang yang datang kemari.”
“Jadi wajar aku bertanya juga,” tukasnya.
“Kamu bisa lihat pinus-pinus itu!” Saba menunjuk pada tanaman pinus yang tumbuh subur dan menjulang. “Itu yang nanam aku 5-6 tahun yang lalu. Bahkan sepertiga tanaman yang ada di sini itu hasil kreativitas kedua tanganku.”
Ia terdiam takjub. Melihat sekeliling tanaman yang mungkin jumlahnya benar, sesuai apa yang dikatakan Saba.
“Kamu masih gak percaya?” tanya Saba.
Tiba-tiba hujan turun. Awalnya ringan namun berubah cepat makin lebat. “Kita harus cepat ke atas!” seru laki-laki itu. “Kamu duluan,” putusnya.
Setapak berundak menanjak sedikit menyulitkan. Ditambah tak ada satupun pegangan pagar di samping kanan-kiri. Napasnya mulai kewalahan.
“Nawa!” seru Saba. Yang membuatnya berhenti dan menoleh ke belakang.
“Pakai,” Saba memayungi kepalanya dengan selembar daun talas. Yang diambilnya entah dari mana.
Posisi Saba yang berada di bawahnya membuat tinggi mereka hampir sejajar. Ia bisa melihat wajah Saba dengan jelas yang dibasahi air hujan.
Saba menarik salah satu tangannya untuk menyangga daun talas tersebut, manakala Nawa tidak lekas merespons. “Aku sebenarnya gak tega untuk merusak talas ini. Tapi aku juga gak mau kamu sakit setelah pulang dari sini.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Athalla✨
Na kamu dua kali tercyduk ketiduran teross. Kemaren di mobil sekarang di kamar bang Saba 🤣🤣
2024-06-20
0
Norainah Hani
tipe cowok care
2024-02-08
0
.
hadehhh aku yg dag dig dug der daia bang ...
2024-01-29
0