...8. Real Hiker...
Tiba di rumah Saba, ia bisa melihat pintu gerbang dari kayu itu terbuka lebar. Terlihat Arif keluar dari mobil laki-laki itu.
“Makasih, Pak.” Ia menyerahkan sejumlah uang pada sopir taksi online. Kemudian mendekati mobil Saba yang terdengar menyala mesinnya.
“Rif,” sapanya pada Arif yang tengah berdiri di balik kap mobil yang terbuka.
Arif menoleh kepadanya, “Hei, Mbak.”
Suara mesin diesel mobil lawas milik Saba cukup berisik.
“Ada masalah, Rif?” tanyanya.
Arif menutup kap mobil. “Cuma cek saja, kemarin kata Bang Saba suaranya agak kasar,” tukasnya. “Mbak Nawa sudah siap?”
Ia mengangguk. “Bang Saba mana?” tangkasnya.
“Paling bentar lagi naik.”
“Aku kepagian, ya?” Ia melihat sekeliling. Tak ada orang lain kecuali ia dan Arif.
“Tuh, orangnya!” seru Arif. Melihat Saba muncul dengan menggendong tas punggung. “Aman, Bang. Kayaknya cuma kurang oli. Kalau sempat, Abang bisa bawa ke bengkel sebentar,” lapornya pada pemilik mobil. “Tapi kalau hanya ke Gunung Pancar sih masih sangat aman,” sambung Arif.
“Thanks, Rif.” Saba menepuk pundak Arif. Memasukkan tasnya ke jok belakang. “Kamu sudah siap?” Ia menyapa Nawa.
Dengan mengangguk ia menyahut, “Ya.”
“Masuklah,” perintah Saba.
Arif dengan cekatan membuka pintu sebelah pengemudi. “Silahkan, Mbak.”
Ia pun masuk ke dalam mobil. Menggeser tuas di sisi kursi, hendak duduk di belakang namun dicegah oleh Arif. “Mbak Nawa duduk saja di depan,” tukas Arif.
“Gak, Rif. Biar aku duduk di belakang.”
“Aku gak ikut, Mbak,” tangkas Arif.
Saba masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi.
“Kamu gak ikut?” tanyanya terlihat bingung. Lalu siapa saja yang akan hiking pada hari ini.
Arif tersenyum. “Gak, Mbak.” Mengacungkan jempol. Membantu menutup pintu.
Ia yang duduk di sebelah Saba, lalu bertanya, “Siapa saja yang ikut? Berapa orang?”
Saba mulai menjalankan mobilnya. Keluar dari gerbang dan mulai meninggalkan rumahnya.
“Hanya kita,” sahutnya.
“Kita?” Ia menoleh ke kanan-kiri.
“Ya, kita,” ulang Saba.
“Maksudmu kita? Kita berdua saja, gak ada orang lain lagi?” jelasnya.
“Ya, siapa lagi.” Saba menukas.
Ia menarik sudut bibirnya kaku. Ia kira perjalanan ini rombongan. Sebab ada ajakan bergabung dari laki-laki itu. “Aku pikir masih ada orang lain lagi.”
“Apa karena hanya kita saja, kamu berubah pikiran?” tanya Saba.
Gelengan kepalanya sekali.
“Jarang-jarang aku mengajak gabung seseorang untuk hiking, trekking, atau mountaineering sekalipun. Biasanya mereka yang mengajak,” urai Saba. “Tapi kalau kamu takut dan berubah pikiran, aku bisa menghentikan mobil ini. Kamu bisa pesan taksi. Dan aku bisa melanjutkan sendiri.”
“Bukan begitu. Aku hanya merasa …,” ia melirik Saba sejenak. Kemudian melanjutkan ucapannya, “merasa beruntung.” Kalimat itu terlontar begitu saja.
Sontak tawa Saba menguar.
...***...
Saba memarkirkan mobilnya. Mereka turun dari mobil dan membawa tas masing-masing.
“Kamu mau ke toilet dulu?” tawar Saba.
“Boleh,” sahutnya. Daripada ia harus menahan kencing sampai sekembalinya mereka ke sini lagi. Sebab ia belum tahu medan seperti apa yang akan dilalui.
Saba terlihat menempelkan ponsel di telinga. Ketika ia telah selesai buang hajat. Ia menghampiri Saba yang telah mengakhiri percakapannya.
“Bang Saba sudah berapa kali kesini?”
“Kamu bisa menebaknya.”
“Lima, tujuh kali mungkin,” tebaknya asal.
Saba tertawa ringan dengan khasnya.
“Aku ralat, 10 kali,” tukasnya.
“Nanti kamu pasti dapat jawaban di atas sana,” kelit Saba.
“Ah, tadi disuruh nebak. Sekarang suruh cari jawaban sendiri,” gerutunya.
Mereka melewati barisan pohon pinus yang tertanam rapi. Sejuk dan udaranya sangat segar.
“Apa ini jalur mudah untuk pemula?”
“Apa kamu belum pernah hiking?”
“Hari ini untuk pertama kali,” sahutnya.
“Jadi aku tidak salah pilih jalur,” sambut Saba dengan senyum kecil.
“Memangnya ada jalur lain?”
“Banyak. Dan ini jalur yang mudah.”
“Kenapa Bang Saba mengajak aku? Padahal aku pemula. Sementara Bang Saba pasti sudah real hiker,” tanyanya penasaran.
“Justru karena kamu pemula, kamu harus mencobanya. Minimal sekali dalam hidupmu.”
“Bang Saba gak takut kalau aku pingsan?”
Saba menoleh padanya yang berjalan di belakang. “Kalau kamu pingsan, tinggal disadarkan. Gampang, kan.”
“Maksudnya apa Bang Saba gak merasa repot dengan membawa pemula. Kan, resikonya lebih besar daripada sendiri atau mengajak yang sudah berpengalaman,” kilahnya.
“Kan sudah aku jawab tadi. Karena kamu pemula, kamu pasti akan banyak mendapatkan pengalaman ini lebih berkesan dan mendalam. Itu poinnya. Soal risiko itu soal lain. Bukan hanya pemula yang punya risiko, orang yang berkali-kali hiking mereka juga punya risiko,” terang Saba.
Napasnya mulai berat. Jalan makin menanjak. Berupa tanah dan bebatuan. “Masih berapa lama lagi Bang?”
“Ya, bisa 1-2 jam tergantung kamu.”
“Dengan kita berjalan seperti ini?”
“Kalau kamu ingin kita pulang saat gelap bisa diperlambat kecepatannya,” seloroh Saba.
“Sontak ia tertawa ringan. Berhenti sejenak. Sementara Saba terus berjalan di depannya.
“Bang, tunggu!” serunya.
Saba berhenti. Menoleh kembali ke arahnya. “Ini jalur paling mudah dan cepat,” tukasnya.
“Bagiku ini menantang.”
“Di atas lebih menantang lagi.”
Ia kembali melanjutkan jalannya. Melihat Saba berhenti untuk menunggunya.
“Jalan terjal membuat kita rasional. Tapi sampai puncak akan membuat kita sentimental. Semua berproses gak ada yang instan, kecuali mi instan,” ucap Saba dengan berkelakar.
Sudut bibirnya merekah. Saba pandai juga berfilosofi.
“Kenapa Abang memilih hari kerja untuk hiking?” Keduanya berjalan hampir beriringan. “Apa Abang gak kerja?”
“Sabtu-Minggu padat. Banyak pengunjung dari Jakarta yang datang. Aku bisa libur kapan saja.”
“Bukannya Abang ngajar?”
“Mengajar, kan bisa diatur jadwalnya.”
“Enak banget. Kerja tapi bisa menyesuaikan waktu kita.” Pekerjaan apa itu? Ia makin penasaran.
“Abang gak takut dikasih sanksi sama atasan?”
“Takut itu implementasi dari penjajahan. Dia muncul dari perasaan dan pikiran kita yang dikendalikannya. Jadi, caranya beranilah untuk kehilangan,” urai Saba.
Ia terdiam. Bergeming di tempatnya.
“Lari, Na!” seru Saba. Mendadak mempercepat langkah dengan kecepatan maksimum.
Ia melihat Saba berlari di antara anak tangga dari tanah liat berundak yang menanjak. Seperti tak ada lelah di tubuhnya. Mau tidak mau ia pun pada akhirnya ikut berlari.
Kini pemandangan sekitar mulai diwarnai berbagai vegetasi. Mulai pinus, pohon mangga, durian, dan tanaman-tanaman lain yang tumbuh acak.
“Sini Na, lihat di sana itu!” tunjuk Saba pada pemandangan di depan mereka yang tidak terhalang pepohonan meskipun tampak kabut tipis. Napas Saba terdengar terengah-engah. Begitu juga dirinya.
“Yang mana?” ulangnya.
“Itu tuh, barisan bukit. Nanti kita ke sana tuh. Paniisan namanya.”
“Yang mana? Yang paling atas?” Sebab ada tiga lapisan bukit yang terlihat.
“Bukan. Yang nomor dua.”
“Kok jauh?!” tangkasnya protes.
Saba tertawa ringan.
“Kayaknya jauh banget. Katanya satu jam?! Mana mungkin satu jam sampai ke sana?” berondongnya. “Ketawa saja terus!” imbuhnya mencibir sedikit kesal karena Saba terdengar tertawa mengejek.
“Kalau kamu gak ngejalani dengan ikhlas dan enjoy pasti akan terasa berat,” tukas Saba yang berhenti untuk menegak minumannya.
Ia ikut membasahi kerongkongan yang mulai kering.
“Halo, Bang. Gak nyangka bisa jumpa kita di sini?” Sapa dua orang laki-laki yang berpapasan dengan mereka.
“Kalian gak kuliah?” tanya Saba.
“Off, Bang. Kebetulan mau ambil magang minggu depan.”
“Jam berapa tadi berangkat?” tukas Saba.
“Kami dari kemarin, Bang. Biasa ngecamp.”
“Okelah … gue mau lanjut,” pamit Saba. Mereka terlihat bersalaman.
Ia tersenyum ketika dua orang itu melewatinya dan membalas senyum kepadanya.
“Siapa?” tanyanya pada Saba.
“Teman-teman dari Yarsi,” sahut Saba. “Kamu sudah lapar?” sambungnya.
“Belum.” Ia menggeleng.
“Kita makan siang di Paniisan,” tukas Saba.
Jalan yang kini mereka lewati menurun bebatuan. Berulang kali ia hampir terpeleset dan tergelincir akibat terselip dan kurang awas. Berulang kali juga Saba mengingatkan untuk, “Hati-hati dan fokus lihat jalan.”
Medan yang dilewati kembali menanjak. Vegetasi mulai didominasi tanaman kopi.
“Mas Saba!” seru seseorang yang mencegat mereka. Menyalami Saba dan dirinya.
Saba menyahut, “Lagi panen?”
Orang itu menunjukkan hasil panen kopinya di wadah bambu. “Mampir ke pondok nanti?”
“Pasti,” jawab Saba.
Mereka kemudian melanjutkan kembali perjalanan. Benaknya makin banyak pertanyaan yang hendak diungkapkan.
“Berapa lama lagi kita sampai di Paniisan?” tanyanya penasaran. Sepertinya mereka telah lama berjalan. Namun sepertinya belum ada tanda-tanda sampai tujuan.
Saba mendesis tampak berpikir. “Kamu mau cepat atau lambat?”
Bibirnya mengerucut. Pertanyaan yang ditunjukkan pada laki-kalau itu sering dikembalikan lagi dengan sebuah pertanyaan. Yang memunculkan kekesalan.
Senyum tipis muncul dari bibir Saba. “Lari, Na!” Seruan itu terucap bersamaan dengan Saba yang berlari meninggalkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Athalla✨
berarti Na spesial dong bang 🤭
2024-06-20
0
Athalla✨
kirain rame-rame bang 😅
2024-06-20
0
.
dan aku sedang membayangkan nawa lari ngos-ngosan dan siabang tertawa...
2024-01-29
0