5. Kinesika Diskusi

...5. Kinesika Diskusi...

“Mbak Astha yakin LDR-an sama Mas Bimo?” Siang itu Asthari datang mampir ke rumah untuk makan siang.

Asthari mengangguk sambil makan kerupuk. Sementara Tiyuh menutup makan siangnya.

“Kalian baru menikah satu tahun masa sudah mau pisah lagi,” protesnya. Ia tahu masa pacaran kakaknya itu juga dipenuhi hubungan jarak jauh. Waktu itu Astha tinggal di Larantuka karena tugas kerja. Sementara Bimo di Jakarta. “Kenapa gak tunggu Mas Bimo sekalian beres pekerjaannya?”

“Mas Bimo masih ada kontrak dengan pekerjaannya 9 bulan lagi, Na,” sahut Asthari.

“Ya bagus. Berarti keberangkatan Mbak Astha bisa ditunda sekalian lihat aku wisuda,” cengirnya. Alasan yang masuk di akal.

Asthari menggeleng. “Skripsi lo saja gak kelar-kelar? Ya, kan Bu,” sindirnya.

“LDR-an gak masalah. Asal ada komitmen antara kalian berdua. Bimo nanti bisa menyusul ke Kanada. Dia juga bisa apply program beasiswa S2 di sana.” Tiyuh ikut berkomentar. “Dulu Ibu sama abah kalian juga sering LDR-an. Alhamdulillah baik-baik saja. Yang penting komit sama saling percaya.”

“Nah …!” tangkas Asthari mempertegas pernyataan ibunya.

Bibirnya mengerucut.

“Kasih kisi-kisi dia Bu biar Prof Gunadi lembek gak garang lagi,” ujar Asthari meledek. Ia berdiri membereskan piring-piring sisa makan mereka. Lalu membawanya ke dapur.

“Hus! Prof Gunadi itu kawan abah. Kalian harus hormat sama beliau,” sela Tiyuh. Meski usia Gunadi 10 tahun lebih muda dari suaminya.

“Ya, masalahnya beliau susah buat bimbingan Bu. Harus perfect banget. Bukan cuma, Na saja yang ngeluh tapi hampir semua anak bimbingannya. Mahasiswa pasca juga.”

“Beruntung aku dulu gak dapat Prof Gunadi, ya,” Astha muncul dari dapur. Disertai senyum lebar. Merasa keberuntungan menghampirinya.

“Gak ada satupun dosen yang bermaksud mempersulit anak-anak mahasiswa. Mereka hanya melatih mahasiswa buat berusaha maksimal. Bertanggungjawab dan disiplin. Agar kalian berkualitas sesuai kompetensi, tahan dan kuat setelah keluar dari kampus. Lihatlah lulusan-lulusan dari Prof Gun. Mumpuni semua,” kata Tiyuh.

“Dengerin itu,” imbuh Asthari.

“Berarti Mbak Astha gak mumpuni dong,” ledeknya melirik Asthari yang tengah mengupas buah apel.

Asthari melempar kulit apel ke arah adiknya dan berseru, “Enak saja!”

“Hus! Bukan begitu,” cegah Tiyuh.

“Enakan Mbak Sapta, dosennya abah sendiri. Bimbingan di kamar,” celetuknya. Ia ingat waktu itu masih sekolah di jenjang SMP. Mbak Sapta masuk kamar abah dan bilang jangan diganggu karena sedang bimbingan skripsi sama abah.

Sang ibu segera mengklarifikasi. “Waktu itu abah sedang sakit. Jadi gak bisa ke kampus.”

“Curang!” sergahnya tetap tak terima.

Meski sekedar celetukan namun Tiyuh kembali menyanggah, “Bukan curang. Tapi memang keadaannya seperti itu. Abah sakit gak bisa ke kampus. Ya, anak-anak mahasiswanya yang ke rumah. Kan, bukan cuma Mbak Sapta saja yang dapat kesempatan. Yang lain juga setara.”

“Tapi mahasiswa abah yang lain duduknya di ruang tamu. Na, lihat Mbak Sapta sambil tiduran di samping abah,” ceplosnya.

“Kok lo tahu, Na?” selidik Asthari.

Tiyuh menatapnya. Bersamaan dengan Asthari yang juga menatap menunggu jawabannya.

Senyum yang dibuat-buatnya kentara. Memperlihatkan gigi miliknya berbaris rapi.

“Ngintip ya, lo?” tebak Asthari.

Terpaksa ia mengangguk dan berkilah, “Gak sengaja.”

Tiyuh menggeleng. Sementara Asthari mencangklong tasnya ke pundak. “Mana ada mengintip gak sengaja. Dosa lo harus ke surga minta maaf ke abah,” semburnya.

“Asthari,” ucap Tiyuh.

Asthari tersenyum. “Sudah ah, Astha harus kembali ke kantor, Bu,” pamitnya pada sang ibu. Ia mencium punggung tangan wanita yang telah berusia 70 tahun tersebut.

...***...

Sore harinya, ia menuju rumah Saba. Berniat untuk mengembalikan baju Bu Ning yang kemarin dipinjamkan untuknya. Sayang, ketika tiba di rumah laki-laki itu, ia tidak mendapati siapapun.

Ia sudah berusaha untuk menekan bel pintu pagar. Sepuluh menit ia berdiri di sana. Namun tetap tak ada respons dari penghuninya.

Bahkan ia sempat meragukan apakah rumah yang didatanginya ini benar rumah Saba. Tetapi keraguan itu perlahan sirna mengingat kemarin malam ingatannya masih jelas. Posisi pagar, warnanya, serta pohon-pohon besar yang terlihat jelas dari luar pagar tinggi menjulang. Dan jalan buntu yang satu-satunya menuju rumah Saba.

Mengingat kapan lagi ia punya waktu untuk ke sini, maka ia memaksa untuk tetap masuk. Beruntung pintu pagar tidak dikunci.

Tidak salah lagi. Rumah ini adalah rumah yang kemarin malam ia datangi. Jalan menurun berundak setelah tempat parkir mobil sebagai penanda. Di sini baru benar-benar terlihat jelas bahwa rumah Saba berada di tepi tebing.

Dikelilingi pohon-pohon rindang dari berbagai jenis tanaman. Kesannya rumah Saba berada di tengah hutan mini. Ya, mini sebutnya. Sebab tidak luas. Bahkan dari sini ia bisa melihat di bawah sana kehidupan kota yang ditanami pohon-pohon beton.

Ia melangkah hati-hati menapaki anak tangga menurun yang tampak lembab. Hal ini dikarenakan jalan setapak terlindungi oleh pohon-pohon besar sehingga matahari tidak bisa masuk secara sempurna.

Tiba di rumah utama suasana senyap tanpa ada tanda-tanda seseorang di dalamnya. Ia berusaha mengetuk pintu. Namun tetap saja tak ada jawaban dari dalam.

Entah mengapa mendadak ia penasaran dengan suara gemercik di bawah. Kembali menuruni anak tangga yang lebarnya mungkin kurang dari satu meter itu. Ia menuju ke sana.

Sebuah kolam ikan. Ia duduk di tepi kolam yang tidak terlalu besar. Memandangi beberapa ikan yang melenggak-lenggok mengitari kolam yang airnya begitu jernih.

Sebuah hunian yang pasti diidam-idamkan oleh banyak orang. Sejuk, asri, minim polusi, dan tenang. Dan satu lagi, Saba memakai konsep green living dalam pembangunannya.

“Maaf Bu, acaranya di pendopo atas,” ucap suara wanita kepadanya.

Ia menoleh ke belakang. Lantas berdiri menghadap seorang wanita paruh baya. Membawa dua ikat kantong plastik di tangan kanan-kirinya.

“Saya antar ke sana,” ujar wanita itu. Lalu berjalan lebih dulu.

Ia tersenyum dan mengikuti di belakang. “Bang Saba ke mana ya, Bu?”

“Sebentar lagi mungkin datang.”

Mereka tiba di sebuah pendopo terbuka. Tidak besar. Tidak juga kecil. Perkiraan cukup untuk 5-10 orang. Posisi pendopo ini justru lebih bisa menikmati pemandangan di bawah sana tanpa halang.

“Ibu baru ya, soalnya saya baru pertama ini lihat,” ucap wanita itu. Sambil meletakkan kotak makanan yang di bukanya dari kantong ke atas meja di tengah-tengah pendopo.

Ia mengangguk. “Saya Nawa, Bu. Panggil saja Nawa.”

“Saya, Bu Ning,” sebutnya. Melipat-lipat kantong pelastik yang isinya telah dipindahkan semua.

“Oo, Bu Ning.” Ia jadi teringat bukankah tujuannya untuk mengembalikan baju Bu Ning. Tanpa menunda lagi ia mengambil baju Bu Ning dari tas. Lantas menyerahkannya pada yang punya. “Makasih Bu. Saya yang pinjam baju Ibu kemarin malam.”

“Gak usah dikembalikan juga gak apa-apa, Mbak. Itu baju saya, yang gak kepakai lagi. Lagian saya gak pantas pakai baju seperti itu. Nanti dikira masih muda padahal sudah punya cucu,” tawa Ning pecah. Meski begitu ia tetap menerima bungkusan baju tersebut.

Ia ikut tersenyum.

“Pak Saba yang belikan baju ini, dikira umur saya masih 20 tahun kali ya,” imbuh Ning.

“Oo, yang belikan Bang Saba?” tukasnya lirih.

Ning masih mendengar, lantas mengangguk. Ia berpamitan pergi ke belakang untuk menyiapkan minuman lain.

Tidak berapa lama suara langkah kaki dan percakapan terdengar. Terlihat Saba dan beberapa orang di belakangnya menuju ke arahnya.

Saba tampak sedikit terkejut ketika tatapan mereka bertemu. Lalu menyapanya, “Aku pikir siapa?”

“Memang siapa?” tanya salah satu orang yang datang bersama Saba.

“Dia mahasiswa,” jawab Saba.

“Ehem … kenalkan aku Yanri.”

Suara deheman lain terdengar disambung dengan sahutan. “Masa dosennya setega ini suruh mahasiswinya nungguin.”

“Ah, Saba ini memang begitu … jangan sakit hati ya, Mbak.”

“Sudah ah … kalian ngaco saja. Kalian makan dulu nikmati kue. Lima menit aku ke sini lagi.” Saba lantas pergi dan mengajak Nawa untuk mengikutinya.

Sempat terdengar ancaman, “Kalau lebih dari 5 menit, kita bubar ya!”

Saba hanya mengibaskan tangan. Berlalu tanpa menggubris seruan itu.

“Kenapa gak kasih kabar kalau mau kemari?” tanya Saba.

“Aku lupa minta nomor teleponmu.”

Mereka menapaki anak tangga menuju ke rumah utama.

“Kenapa gak kasih tahu Arif?” sergah Saba selanjutnya.

“Aku juga gak punya nomor Arif.”

Namun bukan rumah utama tujuan mereka. Ia terus mengikuti Saba di belakangnya. Melewati seperti selasar di samping rumah utama. Belok ke kiri. Lalu naik lagi anak tangga. Terlihat bangunan lain yang berbeda. Saba berhenti tepat di depan pintu. Sempat melihatnya ke belakang. Lalu membuka pintu itu.

“Masuklah. Kamu tunggu di sini. Aku ada pertemuan sebentar dengan kawan-kawan di bawah,” tukas Saba.

“Tapi aku—“

“Kamu jurusan apa?” potong Saba.

“Kesehatan Lingkungan.”

Saba mendekati rak buku. Sibuk mencari-cari sesuatu pada rak-rak buku yang ditata sedemikian rupa di ruangan yang mirip perpustakaan.

Saat Saba menemukan sebuah buku. Laki-laki itu tak berhenti untuk mencari buku yang lain. Hingga kini dalam genggamannya ada tiga buah buku.

“Kamu bisa baca buku ini. Epidemiologi Kesehatan Lingkungan,” sebut Saba sembari menyerahkan buku tersebut kepadanya. “Atau ini, punya Prof Gunadi Makroplastik dan Nanoplastik,” tambahnya. “Dan ini juga bagus, Kesehatan Lingkungan Kontemporer. Karya Prof Gunadi juga.” Ketiga buku pilihannya itu diserahkan pada Nawa.

Ia terdiam sejenak melihat 3 buah buku di tangannya. Padahal tujuannya mau pamit pulang.

“Kamu bisa baca di mana saja. Senyamannya kamu. Oke, aku turun sebentar. Ya … paling sekitar … satu sampai dua jam,” tukas Saba. Lantas berlalu meninggalkannya buru-buru.

Hal itu baru menyadarkan akan tujuannya, “Hei, aku—“ menggantung tak lagi dilanjutkan. Lagian juga percuma, Saba telah berada di bawah bersama teman-temannya. Ia bisa melihat mereka dari jendela yang terbuka lebar.

Ia mendesakkan napas panjang. Meletakkan 3 buku pilihan Saba di atas kursi kayu panjang. Sama sekali tak ada semangat untuk membaca.

Mondar-mandir ia berjalan mengitari ruangan yang penuh buku-buku itu. Tidak luas. Mungkin hanya seukuran satu setengah kamarnya.

Dengan terpaksa ia mengambil buku karya Prof Gunadi yang berjudul Kesehatan Lingkungan Kontemporer. Ia duduk di kursi. Mulai membuka halaman pertama.

Gelegar tawa terdengar dari bawah. Ia bangkit melihat dari jendela. Entah apa yang mereka bahas sehingga terdengar lucu.

Ia kembali duduk di tempat semula. Mulai membaca halaman demi halaman. Merasa tak nyaman dengan posisinya ia berganti kursi. Memilih kursi santai di pojokan.

Entah sudah berapa lama ia membaca. Matanya terasa lelah. Ia memilih bangkit. Menutup buku dan membawanya ke dekat jendela.

Saba dan teman-temannya terlihat serius. Mereka terlihat berdiskusi. Ada 5 orang yang berkumpul di bawah sana. Semuanya laki-laki.

Tebakannya mungkin Saba mahasiswa pasca sekaligus dosen. Mengaku rakyat biasa rasanya tidak mungkin. Banyak koleksi buku dari berbagai bidang. Ratusan mungkin lebih. Bisa jadi ribuan. Koleksi buku abah masih kalah jauh dari koleksi buku Saba.

Gerak-gerik Saba di bawah sana terlihat jelas di panglihatannya. Bagaimana laki-laki itu duduk bersila, menyeruput minuman dari cangkir. Mengambil kue dari kotak snack. Bahkan gestur saat menjelaskan sesuatu. Gerak tangan, gerak kepala, gerak mimik wajah. Kinesika keseluruhan seperti orkestrasi.

Pandangannya tak sedikitpun bergeser pada Saba. Tanpa sadar bibirnya melengkung ke atas. Melekatkan buku ke dalam dekapan. Namun ia tiba-tiba gugup ketika Saba memergokinya. Ia jadi gelagapan.

Terpopuler

Comments

Athalla✨

Athalla✨

duh Nawa pasti salting karena terciduk ehehe malunya nembus layar nih 😂😂

2024-06-20

0

.

.

wahhh makin asyik aja nih...

2024-01-29

0

.

.

pas banget ya na ya...

2024-01-29

0

lihat semua
Episodes
1 Pengumuman
2 1. Terjebak Situasi
3 2. Ceramah Intimidasi
4 3. Suka Ceplas-Ceplos
5 4. Obrolan Keluarga
6 5. Kinesika Diskusi
7 6. Dendrophile
8 7. Persiapan Hiking
9 8. Real Hiker
10 9. Es Cincau dan Sambal
11 10. Amunisi dari Paniisan
12 11. Kunjungan Bermakna
13 12. Artikel Opini
14 13. Proletarnya Prolateriat
15 14. Pertama Kali
16 15. Dialektika
17 16. Dialektika Lanjutan
18 17. Reuni
19 18. First Impression
20 19. Perpisahan Sekaligus Perjumpaan
21 29. Monolog Internal
22 21. Di Bawah Pohon Jengkol
23 Visual Abang Saba
24 22. Peserta Seminar
25 23.Singgah
26 24. Tentatif atau Definit
27 25. Aksi Nyata
28 26. Argumen dan Sentimen
29 27. Senayan
30 28. Seni Semiotik
31 29. Segelas Teh dan Speculaas
32 30. Act of Service
33 31. Attraction and Curiosity
34 32. Eros
35 33. Gundah
36 34. Firasat
37 35. Katarsis
38 36. Antara Perasaan dan Emosi
39 37. Tafsiran
40 38. Obrolan (Tak) Terbatas
41 Visual Nawa
42 39. Storge
43 40. The Big Family
44 41. Sembilan Dinar Emas, Sembilan Slot Saham dan Sembilan Kambing
45 42. Absurditas Romansa
46 43. Patron Pasangan
47 44. Momen Bukan Momen
48 45. You are What You Think
49 46. Absurditas Romansa Lanjutan
50 47. Eh
51 48. Interpretasi Di Atas Interpretasi
52 49. Riak-Riak Hubungan
53 50. Pasangan Adalah Puzzle
54 51. Kembalinya Momentum
55 52. Koneksi Panca
56 53. Tiga Hari Pertama
57 54. Pendopo Talks
58 55. Sublimasi Perasaan
59 56. Tengil Namun Mentereng
60 57. Avonturir
Episodes

Updated 60 Episodes

1
Pengumuman
2
1. Terjebak Situasi
3
2. Ceramah Intimidasi
4
3. Suka Ceplas-Ceplos
5
4. Obrolan Keluarga
6
5. Kinesika Diskusi
7
6. Dendrophile
8
7. Persiapan Hiking
9
8. Real Hiker
10
9. Es Cincau dan Sambal
11
10. Amunisi dari Paniisan
12
11. Kunjungan Bermakna
13
12. Artikel Opini
14
13. Proletarnya Prolateriat
15
14. Pertama Kali
16
15. Dialektika
17
16. Dialektika Lanjutan
18
17. Reuni
19
18. First Impression
20
19. Perpisahan Sekaligus Perjumpaan
21
29. Monolog Internal
22
21. Di Bawah Pohon Jengkol
23
Visual Abang Saba
24
22. Peserta Seminar
25
23.Singgah
26
24. Tentatif atau Definit
27
25. Aksi Nyata
28
26. Argumen dan Sentimen
29
27. Senayan
30
28. Seni Semiotik
31
29. Segelas Teh dan Speculaas
32
30. Act of Service
33
31. Attraction and Curiosity
34
32. Eros
35
33. Gundah
36
34. Firasat
37
35. Katarsis
38
36. Antara Perasaan dan Emosi
39
37. Tafsiran
40
38. Obrolan (Tak) Terbatas
41
Visual Nawa
42
39. Storge
43
40. The Big Family
44
41. Sembilan Dinar Emas, Sembilan Slot Saham dan Sembilan Kambing
45
42. Absurditas Romansa
46
43. Patron Pasangan
47
44. Momen Bukan Momen
48
45. You are What You Think
49
46. Absurditas Romansa Lanjutan
50
47. Eh
51
48. Interpretasi Di Atas Interpretasi
52
49. Riak-Riak Hubungan
53
50. Pasangan Adalah Puzzle
54
51. Kembalinya Momentum
55
52. Koneksi Panca
56
53. Tiga Hari Pertama
57
54. Pendopo Talks
58
55. Sublimasi Perasaan
59
56. Tengil Namun Mentereng
60
57. Avonturir

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!