...15. Dialektika...
Ia sempat terpaku ketika Saba berani mencolek hidungnya. Pertama kali. Hal ini juga yang mengingatkannya akan kebiasaan Panca yang sering mencubit hidung hingga mengusap kepalanya.
“Pak, ada telepon dari Pak Yanri.” Bu Ning datang memberitahukan kepada Saba. Membuatnya lekas tersadar.
Saba mendesis, tampak berpikir. “Aku lupa kalau siang ini ada pertemuan,” ujarnya. “Aku ke perpustakaan sebentar.” Pamit meninggalkannya.
Ia mengangguk.
“Biar saya saja, yang membersihkan ikannya, Mbak,” pinta Bu Ning yang telah siap membawa ember.
“Cuma 2 ekor,” ucapnya.
“Biasa juga suami saya yang ambil ikannya, tumben-tumbenan Pak Saba mau nyerok ikan. Katanya lagi gak enak badan, malah nyemplung ke kolam,” tukas Bu Ning.
“Memangnya ikannya sering diambil untuk dimakan, Bu?”
“Yang sering diambil yang kolam bawah. Kalau kolam ini jarang,” terang Bu Ning. “Nanti biar ditambah dari kolam bawah saja untuk makan siang,” imbuh Bu Ning.
“Boleh saya bantu siapkan makan siang Bu?”
“Tunggu di atas saja, Mbak. Nanti kalau ikannya sudah dibersihkan saya bawa ke atas untuk di masak.”
Sementara menunggu Bu Ning membersihkan ikan, ia mencuci kaki dan tangannya. Memilih menunggu di rumah utama yang juga bergabung dengan dapur.
Ia menuangkan minuman rendaman buah jeruk ke dalam gelas. Meminumnya. Memilih membaca buku yang tergeletak di bawah meja seraya menunggu Bu Ning.
Sampul buku dengan tokoh yang hampir sama dilihatnya di suatu tempat itu tak asing. Ia berdiri dengan membawa buku tersebut. Lalu mencocokkan sampul buku dengan lukisan tokoh yang terpanjang di dinding. Ya, sama percis. Lukisan tokoh yang bersanding dengan dua tokoh terkenal itu sama dengan sampul buku yang tengah dipegangnya.
Tan Malaka.
Ternyata tokoh dalam lukisan itu adalah seorang pahlawan nasional.
Ia kembali duduk. Mulai membaca.
...***...
“Ngaco! Kita tidak perlu menangis Yan. Tapi kita harus mengepalkan tangan,” dengus Saba di akhir pertemuan secara daring tersebut. “Kalau perlu jangan sampai ada air mata dari kaum ibu-ibu maupun anak-anak. Tapi gak mungkin.”
“Bukan gak mungkin, air mata mereka telah kering,” sambut Leo.
“Omongan para penguasa sudah gak bisa dipercaya dan bisa dipegang. Survei dan data diotak-atik. Lima undang-undang dilahirkan penuh kontroversial. Salah satunya memberikan hak imunitas buat penguasa untuk mengambil keputusan saat pandemi kemarin. Aku dan Saba sudah berusah menggugat tapi ditolak,” tukas Deni.
“Ya, setuju Bang Deni,” sergah Yanri.
“Hukum sebagai landasan sudah diatur sedemikian rupa versi penguasa. Kebobrokan sudah ada di mana-mana. Manipulasi, ketidakadilan untuk kaum proletariat, korupsi dan nepotisme merajalela, demokrasi dibungkam, penguasa selalu mengontrol narasi, informasi bahkan membelokkan fakta dan data seperti yang dibilang Bang Deni tadi. Sama sekali tidak ada yang tersisa di hati nurani para pejabat,” Saba geleng-geleng kepala geram. Ia menyaksikan sendiri selama ini yang telah berkeliling dari ujung barat sampai timur. Kondisinya hampir sama. Memprihatinkan.
“Info Bang Ketua dapat kiriman Fortuner, apa betul?” tangkas Leo mengalihkan pembicaraan, sebab merasa tertinggal dengan berita yang baru saja diterimanya.
Saba menipiskan bibir. Mengangkat bahu.
Yanri tertawa. “Jangankan Fortuner, Alphard saja ditolaknya.”
Suasana tiba-tiba mencair.
“Intelektualitas harga mati. Salut, Bang!” sergah Leo.
“Gue pikir lo mau bilang NKRI harga mati,” cibir Saba.
“Dia sebagai ketua Malaka Institute sejauh ini integritasnya gak main-main. Kita selalu pegang visi dan misi Malaka, bahwa peradaban negeri ini harus dibangun di atas fundamental intelektual,” sambung Deni menambahkan.
“Setuju. Bang Deni sebagai advokat dan senior selalu backing Malaka. Kami bisa dengan tenang bekerja sesuai hati nurani,” timpal Yanri.
Leo menukas, “Bang Yanri mantan jurnalis istana, Bang Deni advokat YLBHI sekaligus ponakan pendiri YLBHI, Bang Saba ketua sekaligus pendiri Malaka. Gue paling junior bangga bisa gabung di Malaka.”
Saba berdecak.
“Itu kesimpulan pertemuan hari ini, Leo?” ucap Yanri menyindir.
“Bukan kesimpulan tapi penegasan,” sanggah Leo. Membuat Deni dan Yanri tertawa.
“Malaka selalu menggunakan dialektika untuk membangun pikiran dan membincangkan masalah. Memberikan paradigma baru dalam berpikir nalar. Apapun jalan terjal di depan, harus siap hadapi,” pungkas Saba.
“Setuju!” sambut Leo, Deni dan Yanri bersamaan.
...***...
Labih dari 30 menit menunggu. Ia telah menghabiskan beberapa lembar halaman buku. Bu Ning baru muncul dengan makanan yang telah siap untuk disantap.
“Banyak banget, Bu?” tukasnya melihat ikan yang awalnya dua ekor hasil tangkapan Saba sekarang mungkin hampir lima kali lipatnya.
“Mana sudah masak semua. Padahal saya menunggu di sini mau bantuin.”
“Takutnya Mbak Nawa nanti kotor kalau ikut bantuin,” ucap Bu Ning.
“Sudah biasa, Bu. Saya juga suka masak kok,” tukasnya. Meski pada kenyataannya Yani yang selalu masak untuknya dan ibu. “Jadi dua macam masakan, ya, Bu?”
“Guramenya saya sup seperti biasa, ikan lelenya digoreng,” sahut Bu Ning. “Kalau gak habis Mbak Nawa bisa bawa pulang.”
“Duh, jadi gak enak. Saya gak bantuin Bu Ning tadi masak kok malah suruh bawa pulang.”
“Gak apa-apa, memang tugas saya masak di rumah ini.” Bu Ning memindahkan hasil masakannya ke piring-piring saji di atas meja makan. Selain sup gurame dan ikan lele goreng, ada sambal sebagai pelengkap.
Bu Ning terlihat membuka kulkas. Mengambil beberapa sayuran mentah untuk dijadikan lalapan bersama sambal.
“Biar sama saya saja, Bu,” pintanya. Ia mencuci sayuran mentah tersebut. Meniriskannya dan memotongnya. Kemudian menyimpannya ke dalam piring.
Sementara Bu Ning menyiapkan piring makan dan gelasnya.
“Saya tinggal ke bawah ya, Mbak.”
“Bu Ning gak ikut makan sekalian?” tawarnya.
“Saya harus nyuapin cucu saya, Mbak. Biasanya sambil nyuapin, saya juga sambil makan,” tukas Bu Ning dengan senyum. Lalu pergi.
Ia kembali ke kursi hendak duduk. Namun suara Saba mengurungkannya. “Kita makan dulu,” ucap Saba. “Kamu suka lele goreng?” sambungnya.
Dengan anggukan ia menjawab.
“Sop ikan?” Saba menggeret kursinya dan duduk di sana.
“Suka,” jawabnya seraya duduk di depan Saba.
“Di rumah ini lebih sering mengolah menu ikan.”
“Karena ikan gratis,” sahutnya.
“Itu alasan ketiga.”
“Alasan pertama?” tanyanya. Ia mengisi piringnya dengan nasi dan ikan goreng.
Saba mulai menyantap makanannya. “Kesehatan dan gizi. Terutama absorpsi protein pada ikan lebih tinggi dibanding ayam maupun daging. Karena serat-serat protein ikan lebih pendek daripada serat protein pada ayam dan daging.”
Ia manggut-manggut sambil menyantap makanannya. Pernyataan ini mengingatkannya saat dibangku sekolah. Sayangnya, ia terlupa akan alasan ini. “Alasan kedua?” imbuhnya bertanya.
“Kami orang timur, kami pemakan ikan.”
Senyumnya samar.
“Alasan terakhir. Ikan mudah didapat, harganya relatif terjangkau, dan gampang juga dipelihara.”
“Dari semua jenis ikan, ikan apa yang Bang Saba suka atau sering untuk dikonsumsi?”
“Dulu ikan laut, kalau sekarang ya seperti ini. Gurame, nila, lele, terkadang suami Bu Ning dapat gabus dari hasil mancing. Gabus dimasak bumbu kuning lebih enak,” urai Saba.
“Pasti di daerah sana ikan-ikan masih banyak. Air laut belum tercemar. Gak kayak di sini.”
“Dulu. Tapi sekarang sudah banyak industri yang membuang limbahnya ke laut secara diam-diam. Hasil tangkapan juga berkurang. Nelayan dari negara sebelah juga cari ikan di tempat yang sama. Peralatannya lebih canggih. Dulu sering ketangkap dan kapal mereka ditenggelamkan. Sekarang … gak ada yang berani menenggelamkan,” papar Saba.
“Kalau ikan laut di sana paling banyak ikan apa?”
Saba mengakhiri makannya. “Ikan-ikan pelagis besar seperti cakalang, tuna, tongkol. Kalau pelagis kecil, kayak kembung, layang … sstt,” mendesis sambil mengingat. “sstt …ikan yang punya sirip kuning,” Saba menjeda untuk mengingat. “Ah, lupa itu ikan apa namanya, ya. Tapi dia mirip kembung.”
Ia sendiri juga tidak begitu mengenal nama-nama ikan berikut ciri-ciri fisiknya. Namun ia teringat jika Yani paling sering beli. “Ikan bawal?” celetuknya.
Saba menggeleng.
“Masa Abang sering makan ikan gak hafal nama-nama ikan? Pemakan ikan biasanya pintar,” protesnya.
“Nama-nama ikan bukan untuk dihafal. Tapi ikan untuk dimakan. Percuma juga hafal nama-nama ikan kalau mau makan ikan saja masih kesulitan dan gak terjangkau,” tukas Saba.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
💕Erna iksiru moon💕
beda mentri jadi beda keadaan y bang?😁beda pula sikap...kalo yg dulu2 ada kapal asing"tenggelamkan!"cadas
2023-11-24
3
Ros
author ko pinter bagt nyindirinya 🤭😁
2023-11-23
1
Rizkha Nelvida
👍👍
2023-11-22
1