...1. Terjebak Situasi...
Riuh rendah gemuruh suara para demonstran memenuhi jalan-jalan protokol. Di beberapa titik terlihat polisi berseragam lengkap dengan rompi anti peluru, helm keselamatan, pentungan juga tameng berwarna bening kaca. Namun juga terlihat sebagian polisi memakai tameng berwarna hitam yang jelas bertuliskan “polisi” di bagian depan. Mereka berbaris rapi dan rapat seperti shaf solat berjamaah.
Sementara massa yang melakukan longmarch entah ke mana terlihat antusias meski terik matahari masih menyengat. Bergandengan. Bersahutan. Kompak mengumandangkan narasi pembakar semangat.
Mereka sepertinya terdiri dari sebagian mahasiswa. Terbukti dari jaket almamater yang dikenakan. Tidak asing. Dan tentu sangat familier sekali, jika jaket almamater dari kampusnya juga berada di tengah-tengah kerumunan.
Lalu, ada sebagian iring-iringan motor yang juga berjalan melambat. Mereka memakai ikat kepala. Saling menggeber-geber kendaraannya satu dengan yang lain. Seperti parade. Bersorak-sorai, entah apa yang diucapkan. Terdengar seperti dengungan.
Ia memutar kepalanya. Melihat ke belakang. Tak jauh beda pemandangannya dari situasi di kanan-kiri dan sejauh mata memandang ke depan. Malahan makin riuh dan makin padat oleh massa yang berdatangan entah dari mana-mana. Sudah tak terhitung jumlahnya.
Makin maju laju motor yang ditumpanginya makin lambat kecepatannya. Masih kalah dengan iring-iringan pejalan kaki. Sebab jalanan yang dilalui makin sempit dan terhalang oleh orang-orang yang terus merangsek maju mengikuti mobil di depan sana. Mobil dengan bak terbuka. Di atasnya ada panggung berisi beberapa orang. Lantas sayup-sayup terdengar himbauan dari corong pengeras.
Demonstrasi seperti ini memang beberapa kali pernah dilihatnya. Tapi lebih sering ia melihat melalui siaran televisi. Seumur hidup hingga kini, ia tak pernah mengikuti acara-acara seperti ini. Meskipun pada saat menjadi mahasiswa baru, ia pernah dipaksa untuk memprotes kebijakan rektor yang dinilai menyimpang melalui jalur demonstrasi, namun itu tak bertahan hingga massa dibubarkan. Ia memilih kabur. Dan selalu menghindari setiap ajakan teman-teman aktivis untuk melakukan orasi protes terhadap suatu ketidakadilan atau penyimpangan.
Menurutnya ia punya alasan kuat untuk tak ikut berkegiatan seperti itu. Toh, satu suara dan sikapnya tidak akan berpengaruh banyak terhadap suatu perubahan. Dan tentu saja ia sudah disibukkan dengan kegiatan perkuliahan. Ditambah ia ingin segera menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. Ya, meski pada akhirnya meleset. Sebab, ia terpaksa memundurkan targetnya demi merawat ibunya yang tengah sakit akhir-akhir ini.
“Mbak ….”
Bagaimanapun itu semua pilihan bagi teman-temannya. Ia tak pernah membela diri ataupun menafikan teman-teman aktivisnya yang memilih jalan itu. Sebab semua menjadi pilihan masing-masing yang harus saling dihormati. Ia memilih pada jalannya. Netral. Meski ya, satu, dua, tiga temannya pernah mencibir keputusannya untuk tidak ikut dalam kegiatan-kegiatan tersebut.
“Mbak … Mbaknya yakin tetap mau ke Juanda?” tanya pak pengemudi ojek yang sore ini mengantarnya untuk menemui dosen pembimbing skripsinya.
Ia mengelap peluh yang telah membanjiri raut wajahnya. Disertai embusan napas berat membayangkan rencana hari ini sepertinya tidak akan berjalan mulus. Bisa jadi malah gagal. “Iya, Pak. Terus saja,” putusnya. Terdengar nada ragu akibat laju pergerakan motor tersendat-sendat. Situasi makin hiruk.
Tetapi kapan lagi. Kesempatan bertemu dengan dosen pembimbingnya amat sangat langka. Sudah langka, terkenal killer pula. Predikat sebagai anak dosen di kampus yang sama tak mengubah statusnya menjadi “anak emas”. Atau paling tidak mendapatkan privilege. Tidak. Sama sekali ia tak mendapatkannya. Justru menjadi seorang anak pengajar di kampus makin terbebani. Nama besar ayahnya selalu menjadi bayang-bayang.
Napasnya kembali terasa berat. Ia menggaruk pinggiran kepalanya yang sebagian tertutup helm, saat pengemudi benar-benar menghentikan laju motornya. Cukup lama. Mereka tertahan.
“Mbak, kayaknya saya gak bisa ngantar sampai Juanda. Arah istana semua ditutup Mbak. Macet parah ini. Kagak bakalan bisa lewat ini mah ….”
“Tapi, Pak …,” sempat termangu sejenak. Namun pada akhirnya ia terpaksa turun dari motor. Meski berat ia merogoh uangnya dalam kantong celana jeans hitam yang dikenakan. Menyerahkan selembar uang bernilai dua puluh ribu rupiah. Pengemudi ojeg itu menerimanya.
“Terus saya ke sananya naik apa, Pak?” Pertanyaan polos itu keluar saja dari pikirannya. Sambil kepalanya celingak-celinguk melihat situasi di sekitarnya yang semakin padat, pengap polusi dan macet parah. Lambat laun kekhawatiran itu sempurna menyelimutinya. Dahinya mengerut. Membayangkan wajah Profesor Gunadi yang tidak bersahabat. Yang sangat terkenal disiplin tanpa ampun.
Perawakan kumis tebal dan panjang melengkung ke atas seperti stang sepeda tua itu pasti akan makin menukik tajam. Bulu alis mata bersambung di antara kedua matanya pasti ikut mengerucut akibat dahi mengerut. Belum lagi kata-kata yang keluar dari mulut profesor yang datar namun tajam seperti belati. Penuh intimidasi. Mengena langsung ke hati.
Bulu kuduknya langsung berdiri. Cukup sekali ia mendapat konsekuensi akibat terlambat mengikuti perkuliahan dosen pembimbingnya ini.
Ia melihat arloji di lengan kirinya. Lima menit lagi jadwal pertemuannya dengan Prof Gunadi. Telat 1 menit saja, ia sangat yakin tidak diterima untuk bimbingan.
Pengemudi ojeg yang telah menerima uangnya, lantas meminta helm yang berada di atas kepalanya dengan menunjuk. Ia tersenyum kecut, terpaksa mengembalikannya.
Sang pengemudi mengangkat bahunya yang tertutupi jaket kulit tebal berwarna hitam kusam, “Tunda saja Mbak besok,” sahutnya sebelum memutar balik motornya. Pengemudi itu memaksa meminta jalan membelah kepadatan di antara kerumunan.
“Lho …Pa, Pak.” Bibirnya mengerucut kesal. Tapi ia tidak bisa menahan pengemudi itu yang berlalu melawan arah di antara kerumunan yang terus mendesak maju. Gagal. Dengan terpaksa ia harus memutuskan untuk mengurungkan niatnya. Menerima saran dari pengemudi ojeg tadi.
Ia berusaha berjalan ke samping keluar dari barisan kerumunan. Sayangnya, justru ia semakin didorong dari belakang. Meski berusaha lagi untuk menepi, arus desakan terus merangsek dan memaksanya berjalan terus maju ke depan.
“Permisi, permisi. Permisi saya—“
“Maju Mbak. Maju! Jangan berhenti!” sergah seseorang. Lalu diikuti suara laki-laki lain yang berkata “Ayo maju…terus maju! Jangan berhenti kasihan yang di belakang.”
Sementara corong pengeras dari mobil komando menggemakan yel-yel:
“Mahasiswa bersatu-tak bisa dikalahkan.”
“Satu komando-satu perjuangan.”
Disambut massa dengan semangat berkobar dan kekompakan. Kemudian dilanjutkan dengan nyanyian Indonesia Raya dan lagu Totalitas Perjuangan. Nyanyian yang selalu digaungkan mahasiswa saat memperjuangkan keadilan.
Peluh tak lagi dibendung. Pakaiannya basah. Ia mulai kewalahan untuk terus berjalan di antara massa. Napasnya mulai terasa sesak. Bahkan berkali-kali ia membasahi bibir dan kerongkongannya yang kering.
Entah apa yang terjadi di depan sana. Sesaat terdengar letusan. Mendadak massa dari depan berbalik arah. Ada yang merangsek keluar jalan protokol. Berlari Kocar-kacir.
“Berlindung!” seru seseorang.
Ia melihat suasana makin tidak kondusif. Semua orang berlari menjauh dan mencari perlindungan.
Suara letusan kembali terdengar beberapa kali. Ia mencoba ikut mencari tempat yang aman. Berlari. Berusaha menepi. Malangnya, karena tak tahu apa yang terjadi, ia justru terus berlari mendekat pada sumber letusan.
Pengap. Napasnya terengah-engah. Matanya terasa perih, berair dan memerah.
Ia mulai terbatuk-batuk. Sambil memegangi perutnya yang terasa mual. Pandangannya mulai kabur. Disertai limbung. Namun ia masih bisa merasakan lengannya ditarik seseorang.
“Na, cita-cintamu berubah lagi gak?”
Ia menggeleng, “Aku mau jadi guru TK, Mas.”
Laki-laki berusia 22 tahun itu tertawa. “Waktu kamu TK katanya mau jadi dokter gigi. Terus kelas satu SD katanya mau jadi dokter hewan. Kelas dua mau jadi koki. Dua bulan lalu katanya mau jadi dosen kayak abah. Minggu lalu berubah lagi mau jadi guru SD. Sekarang malah guru TK. Alamak …,” tukasnya sambil menepuk jidatnya.
“Emangnya kenapa kalau guru TK?” protesnya.
Membuat laki-laki itu kembali tertawa. Namun kali ini sengaja tawanya ditutupi dengan telapak tangannya.
“Issh … Mas Panca,” dengusnya kesal. “Kata Mbak Sapta karena gaji guru itu kecil makanya guru TK saja, biar gak repot.”
“Hahaha ….” Tawa Panca meledak seketika.
Itulah percakapan terakhir kalinya dengan Panca di suatu sore di halaman depan rumah mereka. Dua hari kemudian ia melihat Panca berdiri di atas mobil komando menyuarakan orasi lewat pesawat televisi.
“Na, belajar yang rajin ya, jangan kayak Mas!”
“Kenapa Mas Panca berpesan begitu? Apa karena nilai Mas Panca jelek?” sergahnya. Sebab menurut cerita Mbak Sapta, kakaknya itu hampir di DO—drop out— karena nilainya jelek.
Panca tersenyum sambil mengusap kepalanya.
“Issh ….” elaknya dengan kepala menghindar.
“Pokoknya belajar yang rajin biar kayak abah,” sahut Panca sambil berlalu. Membuka pagar. Tapi tak lama ia berbalik sambil berseru, “Jangan kayak Mas, Na!”
Pesan itu selalu diingatnya. Dan selalu terngiang di antara waktu-waktu pertumbuhannya menginjak dewasa.
“Bangun! Hei …! Kamu dengar aku?”
Pipinya terasa ditepuk-tepuk.
“Apa kamu mau mati di sini?”
Pelan-pelan ia berusaha membuka matanya. Tepat saat pandangannya belum terbuka sempurna ia merasa melihat Panca di depannya. Senyum tipis muncul ketika sebuah tangan melepas tabung oksigen portabel di mulutnya.
“Mas Panca.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Tri Dikman
Hadir,,Waah ternyata aku udah ketingalan jauh
2024-06-13
0
Violet Agfa
setelaH baca yG di paijO sanaaa ggak ada yG barU lagi ,,eeehh tadi nengOk kesini lg ternyataa udah ada yG baru lgi dri kk cHoiii iniiii....😘😘KanGen Mas RU qoook😆😆
2024-03-26
0
Cut SNY@"GranyCUT"
Ini yang saya suka dari cerita mba Enel, selalu keren dengan ide cerita dan gaya bahasanya.
2023-11-26
3