Sudah satu jam berlalu sejak kepulangannya dari rumah megah milik keluarga Darmawan. Daripada memilih pulang ke rumah, Kayana malah mengajak Ren untuk berhenti di sebuah cafe. Menurutnya ada hal yang perlu ia bicarakan dengan sang suami, tetapi ia tidak ingin membahasnya di rumah. Gadis itu tahu jika suasana hati laki-laki berambut brunet itu sedang tidak baik saat ini, terlebih sejak mendengar permintaan sang kakek tadi. Awalnya Kayana mengira jika laki-laki tampan itu akan menolak, ternyata Ren dengan cepat mengiyakan. Namun, laki-laki itu memberi syarat agar dirinyalah yang menentukan ke mana mereka pergi dan diiyakan oleh Kayana.
Ren mendorong pintu kaca hingga lonceng itu berbunyi, pertanda bahwa ada pelanggan yang memasuki cafe. Saat memasuki cafe, aroma khas biji kopi yang tersangrailah pertama kali tercium seakan menyambut kedatangan Ren dan Kayana. Lambang bunga dandelion yang bertaut dengan secangkir kopi terpatri jelas di dinding cafe sebagai hiasan utama. Keadaan cafe saat itu tidak begitu ramai, hanya terdapat sedikit orang. Mereka adalah tiga orang karyawan yang berdiri di balik counter table dan beberapa pasang pengunjung lainnya. Dengan langkah santai Ren menghampiri barista tersebut bermaksud untuk memesan segelas kopi yang diikuti Kayana dari belakang.
"Oh… Selamat datang tuan, Anda mau pesan apa?" tanya Barista ramah.
"Saya mau 1 coffe latte, dan kamu?" tanya si tampan pada sang istri.
Kayana melihat daftar menu yang terpajang di atas, lalu gadis itu menunjuk gambar segelas greentea latte sembari melirik Ren.
“Baik, silakan duduk dulu. Pesanan akan kami antar nanti.” Barista memberikan struk pembayaran pada Ren.
Setelah selesai dengan pesanan dan pembayaran, mereka kemudian berjalan menuju pintu samping cafe tersebut, begitu memasuki bagian dalam cafe Kayana cukup dikagetkan dengan tema yang mereka usung. Cafe ini menyuguhkan kebun semi indoor dalam ruangan tertutup oleh dedaunan lebat, dilengkapi dengan air terjun dan kolam buatan. Suasana yang sangat menyegarkan untuk ukuran sebuah cafe di tengah padatnya kota Jakarta. Ren memilih untuk duduk di kursi yang terletak disudut cafe, bukan tanpa alasan ia memilih tempat itu. Tempat itu di rasa cukup strategis karena dari sudut itu ia bisa melihat jalanan Jakarta yang cukup ramai hari itu padahal waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, seharusnya pada pukul tersebut jalanan mulai sedikit lengang mengingat ini sudah melewati waktu pulang kerja.
“Apa kamu sering ke sini, Ren?” tanya Kayana.
“Tidak sering, hanya beberapa kali saja,” jawabnya memandangi jalanan.
Kayana mengangguk tanda mengerti. Tempat ini cukup tenang, setidaknya memang ini lebih baik daripada kelab-kelab malam. Iringan musik klasik menemani malam mereka, sangat romantis. Kayana melihat Ren menutup matanya seakan menikmati sekali lagu yang sedang diputar, tanpa ia sadari dirinya tersenyum. Wajahnya yang tampan, dengan rahan tegas dan hidung mancung, membuatnya tampak sempurna. Kayana memandang lekat lelaki di depannya, jantungnya mulai berdegup kencang. Apakah dirinya terkena serangan jantung? Aneh karena ini pertama kalinya Kayana merasakan jatungnya berdebar seperti ini.
“Maaf tuan, ini pesanan Anda.” pelayan itu meletakan secangkir kopi dan segelas green tea pesanan mereka ke atas meja.
Mendengar teguran tersebut membuat Ren tersadar dan segera membuka mata. Bersamaan dengan terbukanya netra lelaki tampan tersebut senyum Kayana pun ikut menghilang. Tidak ingin tindakannya ketahuan, gadis manis itu lalu berpura-pura sibuk dengan ponsel miliknya seakan tidak terjadi apa-apa. Saat ini ia berharap Ren tidak melihat kelakuan bodohnya tadi, jika Ren melihatnya pasti ia akan digoda habis-habisan dan Kayana tidak mau itu terjadi.
Ren mengangguk dan memberikan tip pada pelayan tersebut. Setelah pelayan itu pergi, pandangan laki-laki itu teralihkan pada gadis berkaus merah muda di depannya. Sebenarnya netra laki-laki itu sempat menangkap gelagat aneh dari gadis didepannya. Namun, Ren tidak ingin bertanya ataupun mengambil pusing. Lalu dengan santainya laki-laki itu mengangkat cangkir kopi miliknya, menyesap sedikit kopinya dan mengangguk- anggukkan kepala pertanda kopi tersebut cukup enak. Laki-laki ini memang sengaja membawa Kayana ke cafe ini karena menurut Ren tempat ini memiliki kopi yang enak dan suasana yang nyaman.
“Minumlah." Ren mendorong gelas milik Kayana.
Kayana yang masih mencoba menata ritme detak jantungnya pun tersenyum agak kaku.
“Terima kasih,” balasnya.
“Kamu sangat suka kopi?” tanya Kayana mencoba mengambil alih keadaan.
Laki-laki itu mengangguk, lalu Ren menjelaskan alasannya menyukai kopi. Ren mengatakan jika aroma kopi yang diolah dengan baik akan mengeluarkan aroma yang enak, sedikit asam yang bercampur dengan aroma burn biji kopi yang disangrai. Laki-laki itu juga menyebutkan jika rasa pahit kopi membuatnya sadar bahwa sesuatu yang pahit tak selamanya menyedihkan. Kayana mendengarkan ucapan laki-laki itu dengan khidmat, walau tidak sepenuhnya paham alasan lelaki bernama lengkap Ren Nugra Darmawan ini sangat tertarik pada segelas kopi, tetapi setidaknya ia tahu cerita dibalik secangkir kopi. Bahkan, saat ini ia sadar, jika Ren memiliki banyak toples berisi biji-biji kopi yang tertata rapi di etalase kecil dekat meja dapur.
“Untuk menyajikan sebuah kopi yang enak, dibutuhkan proses yang panjang. Selain itu kopi juga mengajarkan pada kita jika rasa pahit dan manis dapat dinikmati secara bersamaan hingga menghasilkan kepuasan pribadi,” jelasnya sedikit panjang.
Melihat Kayana mengangguk-angguk, laki-laki itu kemudian membenahi posisi duduknya. Dilihatnya jam hitam yang melingkar di tangan kirinya, waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Setelahnya ia mulai menatap gadis di depannya dengan tatapan serius. Sebelum terlalu larut, laki-laki itu ingin mengetahui apa yang ingin disampaikan gadis berambut hitam sebahu itu.
“Jadi apa yang ini kamu bicarakan?” ucap Ren memainkan cangkir miliknya.
Kayana yang sedari tadi diam mendengarkan cerita dari Ren pun tersontak. Lalu dengan cepat ia mengubah posisi duduknya menjadi tegap, ia letakan pula ponsel yang sedari tadi dirinya genggam. Kayana sadar jika tujuan utamanya mengajak sang suami berhenti sebentar di sebuah cafe bukanlah untuk mendengar cerita atau kisah tentang sebuah kopi. Dengan napas tenang, Kayana mulai menjelaskan maksud dan tujuannya.
Kayana tahu jika hari ini adalah hari yang cukup melelahkan bagi Ren. Bekerja sejak pagi, lalu bertemu dengan perempuan yang menurut Kayana cukup mengganggu, lalu kejadian setelah makan malam yang sangat tidak terduga. Sama dengan Ren, Kayana pun terkejut mendengar permintaan sang kakek, terlebih ucapan sang bibinya. Teringat dengan jelas bagaimana bibi sang suami menyebutnya sebagai perempuan miskin yang tidak berguna. Sangat menjengkelkan, tetapi Kayana dapat memahami itu semua. Kemarahan sang bibi adalah hal yang wajar mengingat dirinya yang tidak bisa menjadi pewaris tunggal hanya karena dirinya perempuan. Namun, ia dan Ren juga tidak bisa berbuat apa-apa. Semua itu adalah keputusan sang kakek. Untung saja, saat mengatakan hal tersebut, kakeknya sudah pergi ke kamar, sehingga tidak mendengar hal-hal buruk yang diucapkan putrinya itu. Selain itu, Kayana juga berterima kasih pada Jasmine yang langsung menarik ibunya untuk memasuki kamar meninggalkan mereka berdua.
“Pertama mengenai kejadian hari ini, aku harap kamu tidak perlu mengambil pusing. Aku tidak apa-apa. Jadi aku ingin kamu juga bisa bersikap biasa saja, Ren,” ucap Kayana. “Sama seperti yang kamu jelaskan sebelumnya, jika dalam hidup kita bisa saja mengalami hal pahit, tapi itu bukanlah hal yang menyedihkan,” lanjutnya.
Ren tersenyum kecil mendengar ucapan gadis itu. Tampaknya gadis itu tengah mencoba menenangkannya. Ya, bukan hal buruk. Hanya saja, Ren sebenarnya sudah melupakan hal-hal buruk yang terjadi hari ini. Laki-laki itu bersyukur jika Kayana tidak terlalu sakit hati dengan ucapan sang bibi.
“Baiklah, terima kasih sudah mengatakannya Kayana. Aku akan mengingatnya,” balas Ren.
Ren tersenyum manis membuat gadis di depannya ikut tersenyum. Kayana mengangguk dan mengatakan jika mereka adalah partner yang cocok. Ia berharap yang terbaik untuk Ren dan dirinya sendiri.
"Lalu untuk permintaan kakek tadi, aku rasa kita tidak perlu buru-buru. Karena aku juga sedang dalam rencana melakukan penelitian, jadi aku pikir kakek akan mengerti jika kita menunda untuk memiliki keturunan," lanjutnya.
Ren sempat terhenyak, seperti ada sesuatu yang menikam tepat di jantungnya saat mendengar ucapan Kayana. Entah mengapa laki-laki itu merasa tidak senang dengan hal tersebut. Namun, Ren tidak mau mempermasalahkannya. Toh, memang mereka menikah hanya untuk formalitas.
"Baiklah, aku rasa kakek akan mengerti jika kamu yang mengatakannya," tukas Ren.
Kayana pun tersenyum, beruntung baginya karena Ren juga setuju dengan keputusannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments