Ren menekan tombol merah pada ponsel miliknya, mengakhiri panggilannya dengan Oleander yang merupakan sekretaris pribadinya di kantor. Dalam percakapannya tersebut, Oleander menjelaskan kembali jadwal sang CEO untuk hari ini. Padahal hari ini adalah hari kedua laki-laki bersurai hitam itu menyandang status baru sebagai seorang suami. Namun, laki-laki itu tidak memiliki niat untuk merayakan hal tersebut lebih lama karena banyak pekerjaan yang menunggunya.
Perlahan, Ren menyesap kopi hitam kesukaannya dari cangkir berwarna putih. Dibiarkan cairan hitam hangat dan yang sedikit pahit itu masuk ke dalam kerongkongannya guna menyegarkan kembali pikirannya. Laki-laki itu kemudian berjalan menuju pintu balkon yang terletak di samping ruang tengah. Masih terdapat cukup waktu untuk dirinya bersantai sebelum kembali melakukan rutinitasnya sebagai CEO Perusahaan Darmawan Grup.
Ren sedikit penasaran, perempuan yang kini menjadi istrinya bahkan belum keluar dari kamar sejak tadi. Diliriknya sekilas pintu putih yang menjadi pembatas antara ruang tengah dengan kamar tamu, belum ada tanda-tanda pintu itu akan terbuka. Dirinya tidak mau mengambil pusing dengan apa yang akan dilakukan perempuan itu. Selama tidak mengganggu dirinya, itu bukanlah urusannya.
“Sudah pukul delapan ternyata,” ucapnya melihat jam berbentuk bulat yang terpajang di dinding.
Setelah menghabiskan sisa kopi yang ada, Ren kemudian berjalan masuk menuju kamar. Ia harus bergegas karena hari ini dirinya ada meeting bersama dengan para petinggi perusahaan. Bersamaan dengan tertutupnya pintu kamar milik Ren, pintu kamar Kayana pun terbuka. Sebenarnya gadis itu sudah bangun sejak subuh tadi, tetapi dirinya masih sedikit canggung jika harus bertemu Ren. Sehingga, dirinya memilih berdiam di kamar sembari menunggu Ren pergi ke kantor.
Niat hati ingin menghindari, tetapi apa daya perut Kayana tidak dapat diajak bekerja sama. Cacing-cacing di perutnya bahkan sudah berdemo dan berteriak meminta untuk segera mendapatkan makanan. Kayana merutuki dirinya yang tidak mampu menahan lapar. Namun, ini bukan sepenuhnya salahnya, gadis itu bahkan belum memakan sesuatu yang mengenyangkan semalam, jadi pantas saja jika cacing-cacing di dalam perutnya berdemo memaksanya keluar dari kamar.
“Aku kira kasur di kamarmu ada lemnya,” sindir Ren melihat Kayana membuka lemari es.
Kayana menutup matanya rapat mendengar kalimat yang diucapkan oleh sang suami. Gadis itu kemudian berbalik menghadap laki-laki yang telah rapi dengan pakaian jas hitam serta dasi merah hati. Ia tersenyum kikuk, dirinya merasa seperti maling yang tertangkap basah saat sedang melancarkan aksi.
“Se.. Selamat pagi, Ren.” sapa Kayana sedikit menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Sudah mau berangkat ke kantor?” lanjutnya basa basi.
Ren hanya deham pelan, lalu dirinya berjalan menuju meja dapur dan mengeluarkan bungkusan stirofoam, “Ini makanlah, setidaknya bubur ini cukup untuk mengganjal perutmu.” tukas laki-laki itu meletakan bungkusan berisi bubur tersebut di samping Kayana.
Kayana menatap bungkusan di atas meja dengan tatapan curiga. Gadis itu tidak menyangka jika seorang Ren Nugra Darmawan berkenan merepotkan diri untuk membelikannya sarapan. Ya Tuhan, ternyata dibalik sikapnya yang menyebalkan, laki-laki itu juga bisa melakukan hal-hal seperti ini. Kupu-kupu di perut Kayana pun beterbangan, ia tidak tahu bagaimana ekspresi wajahnya saat itu.
Alis Ren terangkat melihat gelagat aneh Kayana. “Kamu tidak perlu takut, tidak ada racun di dalamnya. Tapi jika tidak mau, kamu bisa membuangnya,” lontarnya kemudian.
Ren kemudian berlalu dari hadapan Kayana, ia tidak ingin peduli dengan apa yang akan dilakukan gadis itu. Setidaknya ia masih berusaha terlihat baik agar gadis itu tetap mau diajak bekerja sama, selain itu ia tidak mau repot mendengar ocehan sang kakek jika sesuatu yang buruk terjadi pada cucu menantunya ini. Kayana yang termenung pun akhirnya sadar ketika melihat kepergian Ren, dengan cepat mengejarnya.
“Terima kasih,” lirihnya.
“Masuklah.” ucap Ren menutup kaca mobilnya.
Kayana mengangguk dan tersenyum cerah. Gadis itu kemudian kembali ke dalam dan menutup pintu rumahnya. Sesampainya di meja dapur, Kayana kemudian segera membuka laci-laci kitchen set bermaksud mencari mangkok dan sendok. Dirinya sudah sangat kelaparan, dengan tenang gadis itu menyuapkan sendok berisi bubur ke dalam mulutnya.
“Ini enak,” gumamnya.
Di sisi lain, Ren yang sedang asyik mengemudikan mobil hitam miliknya tidak bisa berhenti tersenyum. Bibirnya menukik ke atas sejak dirinya meninggalkan gerbang rumahnya. Ia tidak menyangka jika gadis yang kini menjadi istrinya ini sangat menarik. Selain pintar dan tidak memiliki ambisi seperti kebanyakan gadis yang mendekatinya, Kayana juga ternyata bisa bertindak polos layaknya anak kecil.
“Bagaimana bisa ia berdandan seperti itu?” ungkap Ren sedikit tertawa.
Ren masih terbayang tampilan Kayana tadi, dengan rambut yang diikat cepol dua serta kaus berwarna pink bergambar beruang terpasang indah di tubuh gadis manis itu. Sangat berbeda dengan tampilannya beberapa hari terakhir. Bagi beberapa orang menggunakan kaus di rumah itu adalah sesuatu yang wajar, tetapi bagi Ren yang besar di keluarga pengusaha, tampilan seperti itu tidak pernah ia temui sebelumnya. Selama ini ia hanya bertemu dengan perempuan yang berdandan rapi dan wangi serta elegan layaknya seorang putri dari keluarga bangsawan lainnya. Laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepalanya, bermaksud untuk menghilangkan bayangan Kayana dari kepalanya.
“Selamat pagi pak direktur,” sapa laki-laki berjas abu-abu yang sudah menunggunya di depan lobby perusahaan.
“Bagaimana persiapannya?” tanya Ren sembari berjalan memasuki gedung utama.
Diikuti oleh beberapa orang yang berjalan di belakangnya, Ren melangkah dengan pasti menuju ruang rapat. Didengarkannya beberapa laporan mengenai bahan-bahan rapat secara singkat dari salah satu sekretarisnya. Ren kemudian berhenti ketika sampai di depan pintu rapat, dirinya sengaja tidak langsung masuk.
“Apa kamu yakin ini akan berhasil?” ucap seseorang di dalam ruangan.
“Setidaknya kita dengarkan dulu penjelasan proyek kali ini,” sahut lainnya.
“Apakah kita perlu menuruti perintah anak itu? Dirinya bahkan bukan apa-apa tanpa sang kakek,” timpalnya kemudian.
Suara mereka sungguh cukup keras hingga dengan mudah Ren mendengar percakapan yang terjadi di ruangan rapat tersebut. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya ia mendengar hal-hal seperti ini. Mereka memang selalu menganggap remeh pemuda itu, padahal Ren sudah banyak diakui atas kecakapannya dalam mengelola perusahaan. Ren sendiri tidak mengambil hati, baginya orang-orang tersebut hanya berani mengumpat di belakang seperti seekor serangga.
Setelah dirasa cukup mendengar orang-orang itu berbicara, Ren kemudian masuk ke dalam ruang rapat. Seketika pula para petinggi perusahaan yang membicarakannya tadi terdiam. Ren tersenyum remeh, dirinya sudah mengira jika orang-orang tersebut tidak lebih dari seorang penjilat. Sungguh Ren sebenarnya sudah muak berurusan dengan para petinggi ini, namun dirinya tidak bisa membuang mereka begitu saja. Bagaimana pun mereka pernah berjasa bagi perusahaan.
“SELAMAT PAGI DIREKTUR,” ucap mereka bersamaan.
“Pagi, silakan duduk. Mari langsung saja kita mulai rapatnya.” balas Ren menduduki kursi miliknya.
Ren kemudian memberikan kode pada Oleander untuk segera menampilkan bahan rapat yang sudah disiapkan. Dengan fasih Ren menjelaskan proyek yang akan diluncurkan. Dipaparkannya data-data yang sudah ia olah dan rumuskan sebelumnya. Jika diperhatikan lebih dalam, ia menunjukkan kualitasnya sebagai orang yang pantas menjabat direktur di perusahaan Darmawan. Bahkan, di saat Ren melakukan presentasi, tidak ada orang yang berani menyela sampai akhir.
“Saya yakin proyek ini akan booming di masyarakat terutama di kalangan muda-mudi,” ucapnya mengakhiri presentasi.
Setelah menjelaskan secara detail, Ren kemudian berdiskusi dengan jajaran direksi tentang proyek barunya yang diberi nama “Dandelion”. Dandelion akan menjadi merek baru yang dikeluarkan oleh Perusahaan Darmawan Grup. Proyek tersebut berupa barang-barang rumah tangga yang mengusung gaya modern dipadukan dengan gaya industrial yang sedang marak. CEO muda itu yakin jika proyek ini akan sukses besar di kalangan pasangan muda saat ini.
Rapat tersebut berjalan cukup alot dan panjang, Ren sudah menduga bahwa tidak akan mudah mengambil hati para direksi agar menyetujui proyek tersebut. Beberapa petinggi yang berada di oposisinya beranggapan bahwa inovasi ini akan memakan banyak biaya dan merusak pasar yang sudah mereka bangun sebelumnya. Namun, laki-laki itu enggan menyerah. Ren yakin jika proyek ini akan berhasil. Pemungutan suara pun menjadi opsi terakhir yang harus dilakukan dalam pengambilan keputusan karena tidak mencapai kesepakatan, dan hasil yang di dapat pun tidak terduga. Dengan hasil lima banding dua puluh suara, maka ia berhasil mendapatkan kepercayaan para petinggi dan harapan bagi Ren bisa meluncurkan proyek tersebut terbuka lebar.
“Terima kasih. Saya akan jamin jika proyek ini tidak akan gagal.” ucapnya tersenyum meninggalkan ruangan.
Ren berjalan menuju lobby perusahaan ikuti oleh sekretaris pribadinya. Sepanjang perjalanan ia mengeluhkan sikap para direksi yang awalnya sangat angkuh menganggap dirinya anak muda tak berguna, tetapi mereka akhirnya menyetujui rencananya. Setelah puas dengan keluhan tersebut, Ren kembali menanyakan jadwal selanjutnya pada sang sekretaris.
“Setelah ini Anda kosong, namun nanti sore Tuan Besar meminta Anda dan Nyonya Kayana untuk datang makan malam,” ucap Oleander.
“Bahkan belum genap satu hari kami berpisah, tapi pak tua itu sudah banyak mau,” sahut Ren.
Laki-laki itu kemudian duduk di kursi yang memang diperuntukkan untuknya. Setelahnya ia meminta Oleander untuk keluar, dirinya butuh ketenangan saat ini. Tenaganya terkuras karena rapat yang cukup alot tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments