Semalaman Bima benar-benar tidak pulang ke rumah, ia menyewa sebuah hotel untuknya beristirahat. Setelah pertempuran yang melelahkan dengan Jenny, Bima mengusir perempuan muda itu pergi. Baginya Jenny hanyalah satu dari sekian banyak wanita bayaran, yang telah di sewanya. Bima tidak pernah melibatkan emosi di dalamnya, ia bersikap profesional dalam menghadapi semua wanitanya.
"Dret...dret...dret!" bunyi getaran gawai yang berulangkali, membangunkan tidur nyenyak Bima. Masih sambil memejamkan mata, ia meraba-raba nakas di samping tempat tidur. Di raihnya benda yang masih bergetar itu, lalu perlahan ia membuka matanya. Bima kaget mendapati beberapa panggilan dari Mamanya, dan ada juga chat-an Papanya.
(Bim, kemana kamu? Cepat pulang, Diandra masuk RS pusat)
"Astaga!" Bima langsung loncat dari atas tempat tidur, ia grasak-grusuk memakai pakaiannya. Sambil memasukkan hape ke dalam saku celananya, ia menyambar kunci mobil di atas nakas. Secepat kilat, ia berlari menyusuri lorong hotel menuju tempat mobilnya terparkir.
Perlahan kendaraan Bima keluar dari pelataran parkir, begitu memasuki jalan raya ia memacu mobilnya kencang. Hanya butuh setengah jam, Bima sudah sampai di rumah sakit. Setelah menanyakan ruangan tempat Diandra di rawat di meja informasi, ia segera berjalan bersama dengan orang-orang yang hendak menjenguk.
Ruangan VVIP tempat Diandra di rawat, letaknya di lantai dua. Kamar dengan fasilitas lengkap dan modern. Bima melihat Diandra masih memejamkan matanya, dengan Lidya yang tertidur di tempat tidur penunggu. Sedangkan Papanya, tengah duduk sambil memainkan gawainya. Suara pintu terbuka disertai dengan langkah kaki memasuki ruangan, membangunkan tidur Lidya. Sementara Baskoro mendongakkan kepalanya, menatap kesal wajah putranya.
"Ayok, kita bicara di luar!" Baskoro langsung bangkit dari duduknya, ia memimpin putranya keluar.
Mereka berjalan bersisian, menuju kantin di bagian tengah rumah sakit.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Baskoro melirik putranya.
"Kopi hitam aja, Pa" sahut Bima pelan. Ia segera melepas jaket kulit yang di kenakannya, lalu menyampirkan di kursi.
Baskoro memesan kopi hitam, serta makanan ringan sebagai temannya pada Ibu pemilik kantin. Setelah itu, ia kembali lagi menemani putranya duduk.
"Darimana saja kamu, Bima? Sudah di telpon berulangkali, malah di abaikan" ucap Baskoro dengan pandangan berkilat-kilat marah.
"Aku semalam ke club, Pa. Bosan sekali di rumah, apalagi Aina juga menginap bersama Ibunya."
"Setidaknya ketika Mama mu menghubungi, harus di angkat. Barangkali butuh pertolongan, atau sesuatu hal yang penting."
"Aku kesal dengan Mama, yang membiarkan Diandra tinggal di rumah. Sedangkan hubungan Diandra dengan Aina, gak berjalan baik. Mereka selalu bertengkar, dan Mama seolah memberi kesempatan pada Diandra untuk masuk dalam rumah tangga ku. Lalu, kenapa Diandra bisa masuk RS?"
"Menurut Mama mu, Diandra mencoba bunuh diri. Karena kamu, telah melecehkannya."
"Apa? Kenapa bisa begini?" tanya Bima bingung, dengan keadaan yang sedang terjadi. "Aku sama sekali gak melecehkannya, malah Diandra sendiri yang memasuki kamar. Ia mencoba menggoda ku, Pa. Sebagai lelaki dewasa dan normal, perlakuan yang Diandra berikan membuat ku bernafsu. Tetapi gak sampai terjadi, perbuatan yang di luar batas. Aku segera menyuruhnya pergi, dari kamar ku. Itulah kejadian yang sebenarnya, tanpa di tambahi ataupun di kurangi."
"Tapi kenapa, Diandra harus mengambil jalan pintas?" tanya Baskoro, lebih kepada dirinya sendiri.
"Tanyakan padanya, kalo udah sadar dan bisa mengingat kembali kejadiannya" usul Bima.
"Ya, itu lebih baik daripada menebak-nebak" ucap Baskoro menyetujui. "Kita nikmati kopinya, nanti keburu dingin" lanjut sang Papa, begitu pesanan mereka telah terhidang.
Ayah dan anak pun akhirnya menikmati kopinya, sambil merenung sejenak tentang segala hal yang telah terjadi.
****
Sementara Aina yang masih berada di rumah kenalan Ibunya, tengah menikmati sore yang hangat di teras bersama dengan Abyan. Ternyata putra sahabat Ibunya ini seorang humoris, dan selalu berkata ceplas-ceplos. Mereka berdua menjadi dekat, karena Abyan bekerja di sebuah perusahaan penerbitan. Obrolan mereka seputar kepenulisan, dan lingkup pekerjaan Aina sebagai penulis online.
"Kak saya tuh sebenarnya ingin menerbitkan buku sendiri, tapi bagaimana caranya? Karena selama ini saya tuh, mengirimkan tulisan untuk di konsumsi secara online."
"Oo jadi, Aina ini seorang penulis?! yang ingin menerbitkan naskah novel, secara self published" tanya Abyan menegaskan.
"Iya Kak, bisa bantu Aina kan?!"
"Gampang kok, nanti kita cari waktu senggang. Soalnya ada beberapa naskah yang di kirim ke kantor, butuh penyuntingan untuk novel cetak" ucap Abyan, memandang lekat wajah Aina yang tengah memohon.
"Siplah, makasih ya Kak untuk bantuannya" sahut Aina tersenyum senang, mendengar ucapan Abyan.
"Terimakasihnya nanti aja belakangan, kan saya belum membantu."
"Hehe, abis saking senengnya" kekeh Aina pelan. "Oh ya kata Tante Ayu, kak Abyan tinggal dan bekerja di Jakarta juga."
"Iya, saya nge-kost dengan teman satu pekerjaan" jawabnya tenang. "Aina masih tinggal dengan Tante Halimah, atau sudah hidup mandiri?"
"Saya tinggal dengan suami, kapan-kapan main ke rumah Kak" tawar Aina ramah.
"Insyaallah, kalo ada waktu. Sekarang saya masih cuti dari pekerjaan, untuk membereskan rumah juga mengantarkan Ibu ke rumah adik. Tapi kira-kira suaminya gak keberatan, seandainya berkunjung ke rumah."
"Enggaklah, suami orangnya baik tentu dia mengijinkan" ucap Aina yakin. "Nanti kapan-kapan, saya pertemukan dengan beliau."
"Oke Aina, saya tunggu undangan makan malamnya" canda Abyan serius.
"Lho, kalian berdua di sini? Tante kira, sedang jalan-jalan" Ayu datang, dengan nampan di tangannya.
"Capek Tan, rasanya mager keluar rumah. Di sini udara segar, apalagi angin bertiup sepoi-sepoi jadi bikin ngantuk."
"Daripada ngantuk, Tante bawakan teh hangat. Buat temannya, ada asinan terkenal dari Bogor" Ayu menyodorkan sepiring asinan buah untuk Aina.
"Wah, Tante tau aja untuk pengusir kantuk. Punya Kak Abyan mana, Tan?" tanya Aina heran, melihat hanya ada satu piring saja.
"Saya udah bosan, Aina" ucap Abyan, mengomentari keheranannya.
"Hmm, asam manis juga pedasnya pas di mulut" ucap Aina,begitu merasakan kuahnya menyentuh lidah.
"Nanti deh, kalo udah tinggal di sini bakalan kenyang makan asinan buah maupun sayuran" ujar Ayu, sembari ikut duduk bersama mereka.
"Oo ya Tan, gimana kalo urusan surat-surat pemindahan balik nama di Jakarta aja?" Aina mengalihkan pembicaraan pada inti masalah. "Saya akan hubungi teman, yang juga seorang notaris."
"Buat Tante sih, gak jadi masalah. Karena urusan penjualan rumah, sudah Tante limpahkan pada Abyan" Ayu melirik putranya sekilas.
"Jadi gimana pendapat Kak Abyan? Enggak pa-pa, kalo transaksinya di rumah Ibu aja."
"Boleh, boleh aja. Sekalian berkunjung, ke rumah Tante Halimah" Abyan menyetujui keinginan Aina.
Ah lega rasanya, bisa mempersembahkan sebuah rumah impian buat Ibunya. Selama ini, kehidupan mereka sungguh menderita. Tak ada salahnya, menikmati hasil dari jerih payahnya menghalau para betina kekasih suaminya.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments