Semua yang ada di ruang tamu terkejut mendengar ucapan Aina, tapi tentu saja tidak dengan Bima dan Lidya.
"Kamu pasti bohong!" teriak Nella gusar. Ia menatap Aina, dengan wajah garang.
"Saya gak bohong Tante, tanya kan saja pada putri mu. Kami pernah bertemu di kantor Bima, dua hari yang lalu" balas Aina kesal.
"Ku pikir, kamu berbohong waktu itu" ucap Diandra.
"Pernikahan kami sah, dan tidak ada unsur kebohongan di dalamnya. Di saksikan oleh orang tua ke dua belah pihak, dan penghulu yang hadir juga saksi-saksi" terang Aina lagi.
"Tapi kenapa, Jeng Lidya gak pernah bilang kalo Bima udah nikah?" tanya Nella berbalik menatap Lidya.
"Karena aku gak setuju, Bima menikahi perempuan kampung ini. Aku kepengen punya mantu seperti Diandra, berpendidikan tinggi juga attitudenya baik" sangkal Lidya.
"Sudahlah Ma, kami memang sudah menikah. Untuk apa di tutup-tutupi?" Bima menengahi perdebatan, antara Nella dan Lidya.
"Diam kamu, Bima! Mama tetep gak setuju, kamu nikah dengan perempuan itu" tunjuk Lidya pada Aina, yang berdiri di samping sofa dekat dengan suaminya.
"Stop, kalian semua!" seru Seno, yang sedari tadi hanya diam. "Begini saja, kita gak bisa mengusik pernikahan Bima dengan istrinya. Kita pulang saja, lagi pula memang salah Diandra yang sudah memutuskan pertunangan dulu."
"Enggak bisa gitu Pi, Diandra maunya nikah sama Bima" tolak Diandra tegas. "Dulu aku masih muda, dan berpikiran sempit. Sekarang aku sadar, ternyata mimpi ku tak seindah ekspektasi" sambungnya lagi.
"Jadi kamu menyesal pernah meninggalkan ku, bukan?" tanya Bima, sambil tersenyum tipis.
"Iya Bim, aku terlalu tergesa-gesa memutuskan hubungan. Bisa kita berbaikan, seperti dulu?"
"Sorry, benang yang putus gak mungkin bisa utuh seperti sediakala. Lagipula, aku udah punya istri" ucap Bima tandas.
"Ayok kita pulang, dasar keluarga gak tau terimakasih. Udah di tolong, malah gak mau balik menolong. Enggak ada, timbal baliknya" gerutu Nella, mengajak suami dan putrinya meninggalkan kediaman Bima.
"Jeng Nella, tunggu!" pekik Lidya mengejar sahabatnya, yang berlalu bersama keluarganya. "Ini bisa di bicarakan, Jeng. Aku janji, bakal bujuk Bima untuk menceraikan istrinya" lanjutnya sembari memegang tangan Nella erat.
"Oke, aku tunggu kabar baiknya Jeng Lidya" balas Nella, melepaskan cengkraman tangan Lidya.
Tinggallah Lidya yang terpaku melihat kepergian keluarga Seno, membawa sejuta sesal di hatinya. Mengapa ia harus menyetujui, pernikahan Bima dengan Aina? Bila akhirnya harus begini, di jauhi sahabat karibnya sendiri. Mengingat itu, amarahnya langsung bergolak pada sang menantu. Ia berbalik arah menuju ruang tamu, dan semakin murka ketika mendapati Bima tengah bercengkrama dengan Aina.
"Bima, kenapa kamu menolak keinginan Diandra?" tanya Lidya ketus. "Dan kamu Aina, kenapa harus ikut campur dengan masalah kami?" tanyanya lagi, menatap bergantian wajah putranya dan menantunya.
"Karena aku, gak suka di bohongi Diandra. Dia bilang ingin fokus mengejar karir, nyatanya malah sibuk mencari lelaki kaya untuk di kencaninya" ujar Bima masgul. "Jijik aku membayangkannya, bila harus menerima bekas lelaki lain."
"Kamu juga bukan laki-laki baik, seorang petualang wanita. Memangnya Mama gak tau, kelakuan nakal mu itu!?"
"Ma, aku lelaki! Perempuan mengejar karena harta ku yang berlimpah, maka sayang bila aku biarkan. Ibaratnya, simbiosis mutualisme" sangkal Bima jumawa.
"Berarti, istri mu juga termasuk di dalamnya" balas Lidya sengit.
"Aina berbeda, Ma. Aku mencintai dia, layaknya lelaki mencintai wanitanya" ucap Bima, menatap mesra istrinya.
Sementara Aina yang di tatap Bima, membuang muka muak mendengar kalimat penuh kebohongan dari suaminya.
"Hah, bulshit! Omong kosong, Mama tetep gak percaya. Kamu udah di guna-guna, perempuan kampung itu..."
"Maaf Ma, bukan Aina gak sopan. Tuduhan yang Mama lontarkan, gak ada buktinya sama sekali. Aku di didik orangtua ku, dengan bekal ilmu agama yang cukup. Percaya sama guna-guna, sama dengan musyrik" potong Aina, mematahkan tuduhan mertuanya.
"Halah... sok-sokan agamis. Bapak mu sendiri, mati di lokalisasi" ejek Lidya meremehkan.
"Tolong Ma, jangan bawa-bawa Ayah. Ia sudah meninggal, dan mengenai kelakuannya semasa hidup biarkanlah Allah yang akan mengadilinya" pungkas Aina, berlalu pergi, dengan membawa rasa sakit. Karena dengan menyebut Ayahnya, sama dengan membuka luka lama.
"Ma, kenapa sih harus bawa-bawa Ayah mertua ku?" tanya Bima, sediki kecewa dengan tindakan Mamanya.
"Tuh kan bener, kamu tuh udah kena pelet si Aina"ucap Lidya, tak mau kalah.
"Hadeuh Mama ini, masih percaya takhayul. Berhenti berpikiran negatif terhadap Aina, Ma. Di era globalisasi, mana ada hal semacam itu" keluh Bima putus asa. "Udah lah, aku berangkat ke kantor aja. Mendinginkan cari duit, daripada mengurusi urusan remeh-temeh" ucapnya, sambil meninggalkan Ibunya.
"Iya sana pergi, bocah gak tau di untung" usir Lidya berang. "Bikin malu keluarga aja, mau taruh di mana muka? kalo ketemu dan berpapasan, dengan geng arisan sosialita Mama."
"Ya, muka Mama tetep di depan. Enggak akan berubah tempat, emangnya mau tetiba wajah Mama pindah ke lutut!?"
"Bima!" teriak Lidya histeris. "Kamu ya, bikin Mama tua berkali-kali lipat" omelnya berapi-api.
"Hahaha!" Bima yang mendengar Omelan Lidya, tertawa terbahak-bahak. Ia senang, bisa membuat marah Mamanya. Gegas ia berlari menyusuri anak tangga, menuju kamarnya.
Tiba di lantai dua, kamar Aina tak tertutup rapat. Bima bisa mendengar isakan wanita, yang menjadi istrinya. Dengan ragu, ia membuka pintu perlahan. Di depan meja rias, Aina menelungkupkan wajahnya.
"Aina, maafkan Mama ku" ucap Bima pelan.
Aina mengangkat wajahnya yang sembab akibat menangis, ia hanya menyeka bekas-bekas airmata di pipinya. Tanpa membalas ucapan Bima, Aina bangkit berdiri dari depan meja rias.
"Enggak perlu minta maaf, memang benar apa yang Mama bilang. Tapi aku tidak menyesal mempunyai Ayah seperti dia, karena baik atau buruk tetap Ayah ku."
"Oh ya, sebenarnya aku harus ke luar kota malam ini. Ada pekerjaan, yang harus aku selesaikan. Aku berangkat, dengan Doni dan Mira. Di rumah baik-baik, jangan bertengkar dengan Mama, atau seandainya kamu mau menginap di rumah Ibu juga gak pa-pa."
"Hmm! Perjalanan bisnis, atau perjalanan berlendir" sindir Aina telak.
"Kali ini perjalanan bisnis, swear! Kalo butuh uang, kamu bisa hubungi ku..."
"Kalo mau pergi, pergi aja. Jangan sok peduli dengan ku, aku bisa mengurusi diri sendiri" Aina menghentikan kalimat, yang akan di katakan Bima.
"Oke, kalo itu mau mu. Bye Aina!"
"Ya, selamat bersenang-senang. Mudah-mudahan kali ini, aku gak harus melakukan tindakan apapun."
"Aku bersama Doni, ia yang akan menyelesaikan setiap permasalahan ku."
"Huh! Hidup mu penuh dengan masalah, sehari aja gak buat keributan tentu tentram hidup ku."
"Untuk itulah, kamu di bayar. So, good bye my wife."
"Yeah! Have fun and good luck."
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
꧁♥𝑨𝒇𝒚𝒂~𝑻𝒂𝒏™✯꧂
dasar mertua jahat...bukanya ingin membahagiakan rumahtangga anak menantu malah memporak perandakan lg... aduhhhh kasihan Aina dpt mertua yg tdk menerimanya...
2023-11-08
1