Bab 2

Dengan diantar sopir yang merangkap sebagai bodyguard, Aina pergi ke salon langganannya yang ada di pusat kota. Ia melakukan body treatment untuk menjaga penampilannya, agar senantiasa cantik paripurna. Mungkin bagi sebagian wanita, hidup Aina sungguh bahagia. Mempunyai suami kaya pemilik perusahaan ternama, yang bisa memanjakannya setiap saat. Tetapi sesungguhnya hatinya kosong, tak ada cinta di dalamnya hanya ada pernikahan semu.

"Setelah ini, Nyonya bermaksud ke mana lagi?" tanya sang sopir pada majikannya yang tengah melamun, sambil melirik sekilas lewat kaca spion tengah.

"Panggil aku Aina, Ram" jawab Aina, mengabaikan pertanyaan dari sopirnya. Wanita cantik itu agak tersentak, saat lamunannya terganggu.

"Saya tidak berani, Nyonya" balasnya, dengan mata tertuju pada jalanan di depannya. "Tuan Bima, bisa marah besar pada saya kalau tau."

"Kamu harus bisa, kita teman semenjak kecil. Suami ku tak perlu tau, cukup sebagai rahasia kita berdua."

"Baiklah, mudah-mudahan tuan Bima tak menyadarinya."

"Oke, sekarang antarkan ke rumah Ibu, ku dengar beliau tensi darahnya naik" ucap Aina memberi perintah.

"Iya Aina."

"Nah itu baru benar, nama ku Aina seperti yang kamu tau" senyum kecil, tersemat di bibir sewarna ceri itu.

Mobil melaju cukup kencang, meliuk diantara kepadatan lalu lintas. Hanya memerlukannya waktu sekitar satu jam, tempat yang di tuju sudah tampak. Sebuah hunian sederhana, yang letaknya di tengah-tengah kampung di pinggiran kota besar. Tempat Aina dulu di besarkan, dan menghabiskan masa kecil hingga remaja di sini.

Pintu berwarna putih itu segera terbuka, begitu mobil memasuki halaman rumah. Sesosok wanita paruh baya dengan gamis berwarna cream, keluar sambil tersenyum sumringah. Ia menyambut kedatangan putrinya tercinta, dengan gembira dan hati bahagia.

"Aina, putri Ibu" pelukan hangat, sang Ibu terasa sampai ke dalam hatinya. "Apa kamu sehat, Nak?"

"Alhamdulillah Bu, Aina sehat. Bagaimana dengan Ibu? Aku dengar dari suster Nina, Ibu naik lagi tensinya" lanjut Aina dengan wajah khawatir.

"Ibu sehat, suster Nina saja yang terlalu berlebihan" ucapnya, sambil menuntun putrinya untuk duduk di kursi teras. "Diantar siapa, Aina ke sini?" tanya lagi, mengedarkan pandangannya ke arah mobil yang terparkir.

"Seperti biasanya dengan sopir, Bu" jawab Aina, duduk sambil menumpangkan sebelah kakinya.

"Keterlaluan sekali suami mu, istrinya di biarkan pergi sendiri" Halimah tampak sedikit kecewa, dengan menantunya.

"Aku sudah besar Bu, Bima sedang banyak pekerjaan. Jangan berharap banyak Bu, pernikahan ku tidak seperti biasanya."

"Ibu tau, tapi setidaknya Bima bisa datang sekali-kali ke sini. Ibu ingin mengucapkan terimakasih, karen suami mu sudah menyediakan seorang tenaga medis untuk memantau kondisi Ibu."

"Iya, nanti Aina sampaikan keinginan Ibu. Tapi aku gak janji ya, Bu" sambil menggenggam tangan Ibunya, Aina berucap lembut.

"Eh, ada Non Aina" seorang wanita bertubuh gempal, keluar dari dalam sambil membawa nampan.

"Iya, Mbok Jum" balas Aina riang. "Mbok Jum, betah tinggal di sini?" tanya Aina, membantu mengambil cangkir yang di bawa pembantu Ibunya.

"Betah sekali, di sini hawanya adem" jawabnya jujur.

"Titip Ibu ya, Mbok. Kalo ada apa-apa, secepatnya hubungi saya."

"Baik Non, Mbok permisi dulu."

"Silahkan, Mbok Jum!"

"Suster Nina kemana Bu? Dari tadi, kok gak kelihatan."

"Dia lagi ke apotik, nebus obat yang di berikan dokter Reni" balas Halimah, sembari mengangkat cangkir tehnya. "Di minum dulu, nanti keburu dingin."

"Iya Bu."

"Nak, Ibu sepertinya pernah melihat sopir mu itu. Tapi di mana, ya?" tanya Halimah, memperhatikan lelaki muda yang tengah membersikan mobil.

"Dia Rama Gustian, teman ku waktu SD anak Bude Murni. Masa Ibu lupa, sama anak yang suka manjat pohon jambu kita" tutur Aina tersenyum menatap lekat wajah Ibunya.

"Lho dia Rama toh, Ibu pangling liatnya. Panggil ke sini, sekalian ngopi bareng" pinta Ibu Aina.

"Rama!" teriak Aina keras, sambil melambaikan tangannya agar mendekat.

Orang yang di panggilnya, segera datang menghampiri. Sebelumnya, Rama sudah selesai mencuci mobil tuannya. Berjalan cepat ia mendatangi tempat Ibu dan anak, yang sedang bercengkrama.

"Iya, ada apa Nyonya?" tanya Rama, sembari menundukkan pandangannya.

"Aku Aina, Rama" protes Aina kesal.

"Kamu Rama, anaknya Murni bukan?" tanya Halimah, menyela ucapan Aina, wanita paruh baya itu menatap wajah Rama lekat-lekat.

"Iya Bu, Saya memang putra Ibu Murni" jawab Rama penuh hormat.

"Duduk, dekat sini" bujuk Halimah, sembari mengangkat tangannya menunjuk kursi di depannya.

Dengan ragu-ragu Rama mau menuruti keinginan Halimah, ia duduk menunduk di hadapan mereka.

"Bagaimana kabar Ibu mu, Rama?"

"Ibu sudah meninggal, Bu."

"Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un, kapan Murni meninggal?" tanya Halimah syok.

"Setahun yang lalu, Bu."

"Sakit apa, Ram?"

"Lambung kronis, juga diabetes."

"Ya Allah, Murni mudah-mudahan di terima di sisi Tuhan yang maha esa" doa tulus Halimah, untuk temannya.

"Aamiin!"

      ****

Aina meninggalkan rumah Ibunya, ketika hari menjelang sore. Ia teringat dengan janjinya pada sang suami, yang akan menghadiri pesta pernikahan salah satu kolega bisnisnya. Rumah dalam keadaan sepi, ketika Aina memasukinya. Langsung ia menuju kamarnya di lantai atas, melewati kamar Bima suaminya. Mereka memang tidurnya terpisah, karena Aina benci dengan suaminya yang suka main perempuan.

Aina tau Bima ada di rumah, itu terlihat dari mobil sportnya yang terparkir didepan rumah. Ketika ia akan mengetuk pintu, terdengar suara-suara menjijikkan dari dalam.

"Yes baby! Ugh...nikmat sekali, once more again" ******* laknat terdengar keras, di pendengaran Aina. Ia langsung naik pitam, Bima ternyata melanggar janjinya untuk tidak bercinta di rumahnya.

"Braak!" Aina menendang pintu kamar hingga terbuka, ia terbelalak lebar melihat suaminya yang sedang mendesah-desah keenakan. Karena rudalnya di hisap oleh perempuan, yang entah perempuan sundal yang mana lagi.

"OMG, kalian berani mengotori rumah ini!" pekik Aina keras. "Pergi kamu, jangan pernah kembali!" ancamnya, sembari melemparkan baju-baju milik perempuan gatal itu.

"Hei! Kamu mengganggu kesenangan ku, sayang" ucap Bima santai, ia segera menaikkan kembali celana boksernya. "Apakah kamu jadi penggantinya?" tanyanya dengan seringai mesum.

"In your dream" kata Aina ketus, sembari berkacak pinggang. "Tuan Bima, anda sudah melanggar point pertama dari perjanjian kita. Hati-hati, dua kali lagi terjadi pelanggaran maka we broke up."

"Huh, terserah kamu!" dengus Bima kasar. "Kamu memang istri bar-bar, yang selalu mengganggu privasi ku."

"Sedemikian miskin kah tuan Bima? Sehingga berkencan di rumah, carilah hotel berbintang di luar sana" sindir Aina jijik. Mata beningnya, memindai penampilan perempuan yang di sewa suaminya. "Sebenarnya kamu cantik, tapi sayangnya di jual murah" perhatian Aina kini beralih, pada perempuan muda yang berdandan seronok.

"Jangan, ikut campur Aina!" seru Bima, langkah kakinya menghampiri perempuan itu. "Jenny, kita lanjutkan di tempat biasa. Tunggu aku sebentar lagi, Kamu bisa pesan taksi online ke lokasi tujuan" katanya dingin.

"Ya, pergilah ke neraka! Tempat, yang layak buat kalian berdua" Aina berkata penuh amarah, sambil keluar dari kamar Bima.

     *****

Terpopuler

Comments

꧁♥𝑨𝒇𝒚𝒂~𝑻𝒂𝒏™✯꧂

꧁♥𝑨𝒇𝒚𝒂~𝑻𝒂𝒏™✯꧂

Aina bersikap tegaslah dgn suami mu yg suka main sama perempuan bayarannya.... Bima belum mendapat haknya sebagai suami jd suka main celup sana sini...😅😅

2023-11-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!