Sesuai perjanjian Aina harus tidur satu kamar dengan Bima, itu mereka lakukan untuk mengelabui Nyonya Lidya. Walaupun Aina merasa keberatan, tetapi ia harus melaksanakan tugasnya agar sandiwara mereka berhasil. Setelah makan malam yang penuh drama, Aina mengurung diri di kamar Bima. Ia lebih baik berteman sepi daripada mendengarkan ocehan Mama mertuanya, yang sepertinya tak pernah kehabisan kata untuk mencaci maki dirinya. Bukan keinginan Aina terlahir di keluarga miskin juga berantakan, tetapi mau bagaimana lagi bila takdir yang berkehendak. Sambil memandang langit dengan bintang yang bertaburan di angkasa, Aina menyepi di balkon kamar suaminya. Ia membawa serta laptopnya, untuk menyelesaikan beberapa bab novel yang tengah di garapnya. Satu-satunya cara untuk mengalihkan kesedihannya dari sikap Bima, yang seenaknya dan tak pernah berubah. Andai ia terlahir dari keluarga berada, tentu nasibnya tak akan menyedihkan seperti sekarang.
Pintu yang menghubungkan balkon dan kamar tidur terbuka, Bima membawa serta dua cangkir minuman di tangannya. Ia mengangsurkan satu cangkir coklat panas, yang masih mengepulkan uapnya pada sang istri.
"Minum lah selagi hangat" titahnya lembut.
"Thanks hubby, it's so romantic" ucap Aina, sambil tersenyum manis menerima cangkirnya.
"Yeah, harusnya seperti itu" balas Bima, menatap lekat wanita di hadapannya. "Are you busy?"
"No, at all" jawab Aina lugas. "Aku hanya mengisi waktu luang, daripada melamun. Banyak yang di dapat dengan menjadi seorang penulis, ketenaran juga pundi-pundi rupiah masuk rekening, bagi yang sudah memiliki nama besar."
"Hmm, pekerjaan sampingan yang menghasilkan uang" Bima menyetujui pendapat Aina. "Tetapi kamu sudah cukup kaya, tanpa susah payah menjadi seorang penulis. Di tambah bila kita berpisah, ada beberapa keuntungan yang akan kau dapatkan. Cukup untuk membiayai mu hidup berdua bersama Ibu mu, jadi apalagi yang kau cari Aina!?" Panjang lebar, Bima mengutarakan pendapatnya.
"Tetapi akan lebih nikmat, bila uang yang ku hasilkan adalah dari jerih payah sendiri" sangkal Aina ketus.
"Aku setuju itu, tetapi kamu adalah wanita yang paling beruntung. Tanpa susah payah bekerja, uang masuk rekeningmu secara otomatis."
"Iya, tentu aku patut bersyukur."
"Jadi apa rencana mu, setelah pergi dari hidupku?"
"Mungkin, aku akan meneruskan pendidikan ku?"
"Bagus Aina, aku setuju dengan jalan pikiran mu. Setelah selesai tidurlah, jangan forsir otak mu. Aku akan ke club dulu, ada kekacauan di sana" pamit Bima pada Aina.
"Oke, be careful hubby!"
"Thanks my beloved wife" goda Bima sembari melambaikan tangannya.
Selain perusahaan tekstil yang di ketahui Aina, suaminya juga memang memiliki beberapa restoran dan club malam yang bertebaran di mana-mana. Untuk itulah Bima, meminta bantuan Aina untuk mengusir perempuan-perempuan di sekitarnya. Pekerjaan yang tampaknya sepele, tetapi berakibat fatal bagi Aina. Ia kerap kali harus menerima tuduhan yang merendahkan dirinya.
Sebagai seorang suami Bima sangatlah baik, tetapi kadang dingin seperti es. Apalagi sifat mesumnya yang akut, membuatnya ketar-ketir ketakutan. Oleh sebab itu, Aina lebih senang bila Bima berkencan dengan wanita lain. Tetapi kadang ada sedikit rasa cemburu, menyusup di bilik hatinya. Mungkin akibat dari seringnya mereka bertemu, menimbulkan benih-benih asmara. Tapi Aina takut kecewa bila berharap pada Bima, lelaki flamboyan pecinta ************. Hih! Aina bergidik bila memikirkannya.
Malam semakin larut, angin agak kencang bertiup. Aina menggigil menahan dingin, yang menelusup ke dalam tubuh. Di tekannya tombol off pada laptopnya, begitu selesai dengan bab terakhir tulisannya.
Aina merenggangkan kedua tangan, lalu meliukkan pinggangnya ke kiri dan kanan untuk menghilangkan rasa pegal akibat duduk terlalu lama. Ia melirik pergelangan tangannya, yang di lingkari jam mungil mewah merek ternama. Waktu sudah mendekati tengah malam, pantas saja matanya terasa ngantuk dan lelah.
Aina menata bantal dan guling di sofa , yang di ambil dari kamarnya. Tak sudi, ia berbagi barang dan tempat dengan Bima. Walaupun ranjang king size milik suaminya menggoda untuk di tiduri, tetapi bila mengingat di bed itu ada bekas-bekas Bima bercinta dengan para gundiknya, membuatnya bergidik mual.
****
Aina semakin merapatkan selimutnya, dingin yang menyusup semakin membuatnya lebih dalam meringkuk. Tetapi ada yang aroma lain yang masuk hidungnya, segera ia membuka matanya yang terpejam. "Aaaa!" teriaknya kencang, sembari melepaskan diri dari belitan tangan besar suaminya.
"Shut! Jangan teriak, kamu mau membangunkan seisi rumah!?"
"Pergi, apa yang kamu lakukan?"
"Aku hanya memeluk mu, berhentilah histeris semacam itu."
"Kamu mengambil kesempatan, dalam kesempitan" tuduh Aina marah. Gegas ia turun dari ranjang milik Bima, sambil membawa selimutnya.
"Hei, aku hanya kasihan melihat mu tidur kedinginan sendiri" ucap Bima tanpa rasa bersalah.
"Tapi aku gak mau tidur di sini, kasur mu penuh dengan bakteri dan kuman menjijikan" Aina kembalikan meluapkan emosinya.
"Nanti ku suruh suami Mbok Jum membuang kasurnya, supaya kamu mau tidur berdua dengan ku. Lagi pula kita suami-istri, gak ada larangan tidur bersama."
"Tapi kamu udah janji, gak akan menyentuh ku."
"Aku gak menyentuh mu, hanya pelukan biasa tanpa ada unsur birahi di dalamnya. Kamu ketakutan sekali, macam perawan desa."
"Iya memang aku masih perawan, kalo tuan Bima gak lupa!"
"Itulah sebabnya, aku lebih suka wanita pengalaman daripada perawan bau kencur seperti mu."
"Halah, munafik! Lantas kenapa kamu memeluk ku?"
"Karena aku suami mu, wife!"
"Huh, dasar mesum. Enggak bisa liat perempuan nganggur, pengennya main peluk" Aina ngeloyor keluar dari kamar suaminya, tetapi langkah kakinya tertahan ketika melihat Mama mertuanya tengah menaiki undakan tangga. "Ups! gawat ada nenek lampir." Ia kembali masuk kamar, dan berdiri di belakang pintu.
"Kenapa balik lagi?" tanya Bima heran, dengan kelakuan Aina.
"Ada Mama mau ke sini, kayaknya" bisiknya pelan.
"Ya udah, kita tidur lagi aja" usul Bima yakin.
"Jangan, aku takut di kira menantu gak tau diri" tolak Aina tegas. "Lebih baik, aku mandi aja."
"Bim... Bima! Bisa keluar sebentar, Mama ada keperluan sama kamu" ucap Mamanya Bima, dengan intonasi suara agak keras.
"Iya Ma, ada apa?" tanya Bima. "Hwaah!" ia pura-pura menguap lebar, begitu membuka pintu.
"Cepetan mandi, sebentar lagi keluarga Diandra datang kemari" ucap Lidya menutup hidungnya, lalu mendorong tubuh putranya agar segera membersihkannya diri.
"Ma, aku udah nikah. Istri ku malah ada di sini, jangan buang-buang waktu ku" balas Bima, kesal.
"Bima, Mama membesarkan kamu bukan untuk menjadi seorang pecundang. Dulu orang tua Diandra pernah menolong kita, saat perusahaan Papa mu mengalami kebangkrutan."
"Tapi Ma, Diandra sendiri yang memutuskan hubungan" sangkal Bima dengan tegas.
"Saat ini, keluarga Om Seno sedang butuh pertolongan..."
"Pertolongan seperti, apa?" tanya Bima gusar, ia memotong ucapan Mamanya.
"Kamu harus segera, menikahi Diandra!"
"Apa?"
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Putu Suciptawati
ada ya mama yg o on dan bego sprt lidya?
2023-11-08
1