Aina yang melihat kedatangan Bima sama sekali tidak bergeming, ia hanya diam menatap ke arah teras dimana suaminya itu berdiri. Ada Diandra yang menyambutnya, dan seperti biasa perempuan muda itu cari perhatian pada sang suami. Lagipula untuk apa ia susah payah turun, ada Lidya yang juga akan memberikan perlakuan ekstra. Aina yang pada dasarnya pendiam, memang jarang memperlihatkan keperduliannya. Apalagi terhadap Bima, lelaki yang bergelar suami kontraknya. Ia hanya memberi perhatian lebih pada sang Ibu, yang tengah berjuang melawan penyakitnya. Ibunyamg telah membesarkannya, dengan keringat dan airmata. Betapa tidak, semenjak ia terlahir di dunia sudah mengalami penolakan dari Ayahnya. Seorang anak perempuan, yang tidak diinginkan kehadirannya. Ayahnya mendambakan memiliki anak lelaki, sebagai putra pertamanya. Untuk melampiaskan rasa kecewanya, Ayahnya mulai berjudi, mabuk-mabukkan dan main perempuan. Hampir semua gajinya sebagai supervisor di sebuah pabrik tekstil habis, karena kegemarannya menghambur-hamburkan uang untuk hal maksiat.
"Hai Aina!" sapaan akrab terdengar di rungunya, dengan disertai sentuhan lembut terasa di bahunya. "Kenapa, kau tak meyambut kehadiran ku?" tanyanya, seraya mengambil tempat duduk di kursi sebelah Aina.
"Aku rasa sudah cukup, Diandra dan Mama mu yang hadir" balas Aina malas.
"Setidaknya, istri ku yang lebih penting daripada mereka" ucap Bima.
"Aku hanya istri kontrak, yang diumpankan untuk menghalau para betina yang ingin memiliki mu."
"Untuk itulah kamu ku bayar, dengan harga tinggi..."
"Sepertinya, aku pernah dengar kalimat sama yang selalu kau ucapkan berulangkali" balas Aina memotong ucapan Bima. "Aku gak akan lupa, karena aku bukan perempuan yang gak tau balas budi."
"Bagaimana seandainya, kita lupakan saja soal perjanjian kontrak?" tanya Bima memancing reaksi Aina. "Kita bisa berperan sebagai pasangan suami-istri, yang sesungguhnya."
"Kalo gitu, berarti tuan Bima bersedia meninggalkan predikat seorang player sejati!?"
"Hmm, gimana bila keduanya berjalan berdampingan? Satu sisi aku gak mau para kekasih ku kesepian, dan ke dua posisi mu aman gak mungkin tergantikan."
"Hah! Dasar pikiran ngawur, yang keluar dari mulut seorang playboy mana bisa di percaya?!"
"Hehe! Itu kamu tau, munafik bila aku gak menikmati setiap perlakuan manis mereka para wanita ku."
"Jadi jangan berharap, kamu juga akan mendapatkan bonus tambahan dari ku."
"Yah sial! Ku kira kucing manis yang menjadi istri ku, ternyata kucing liar" keluh Bima, pura-pura menyesal.
"Simpanlah wajah melas mu itu, aku tau kamu cuma berakting jadi suami teraniaya."
"Oo ya, ngomong-ngomong. Kenapa Diandra balik lagi, ke rumah ini? Apa kamu mengundang saingan mu, untuk berkompetisi memperebutkan ku?"
"Huh tuan sombong, jangan berpikir aneh-aneh. Tanyakan saja pada Mama mu, kenapa mantan tunangan mu itu betah sekali di sini?!"
"Ya, mungkin aja kamu tau alasannya" kata Bima enteng.
"Enggak mau tau, dan enggak tertarik ingin tau urusan orang lain" jawab Aina singkat dan padat.
"Bagaimana hubungan mu dengan Mama? Apa ada kemajuan?"
"Mama tetap gak mengganggap aku ada, ia malah mengundang teman-temannya untuk mempermalukan ku. Jagi maafkan aku, bila Mama mengadu itu bukan salahku. Mama dan Diandra, yang mengajak ku untuk beradu mulut. Aku merasa harga diri ku terusik, hingga ku balas semua hinaan mereka."
"Good girl! Aku suka semangat mu, untuk itulah kamu menjadi tameng ku" ucap Bima, mengacungkan jempolnya. "Sekarang aku mau mandi dulu, setelah ini layani aku!"
"What!" pekik Aina keras, sembari matanya melotot ke arah Bima.
"Maksudku bukan melayani di ranjang, tetapi persiapkan makan malam buat ku. Dasar otak mu mesum, katanya masih segel" ucap Bima menyentil pelan dahi Aina. "Tapi kalo kamu mau, aku bisa menjadi yang pertama buat mu."
"Enak aja, aku pengen melakukannya dengan suami ku."
"Lho, apa kamu lupa? Aku suami mu, tercatat di KUA dan negara mengakuinya."
"Udah, sana pergi!" usir Aina kesal. "Ngomong sama kamu, sepertinya aku tambah ketularan oon."
"Hehe! marah nih ye."
"Bodo, amat!"
****
Makan malam kali ini aku persiapkan seadanya, maklum Mas suami gak bilang mau pulang. Dengan di bantu Mbok Jum aku masak capcay dan ayam goreng crispy ala-ala k*c, memasak di dapur jadinya cepat selesai. Sambil melayaninya, aku duduk menemaninya menikmati santapan malam.
"Kamu gak sekalian makan" Bima menghentikan suapannya, ketika melihat Aina hanya diam.
"Aku udah makan" jawab Aina singkat.
"Kapan?" tanya Bima lagi. "Aku gak liat, tuh!"
"Tadi, selepas isya" balas Aina. "Teruskan makannya, jangan mikirin aku. Kapan pun, aku bisa mengisi perut di dapur ku sendiri?!"
"Tambah lagi, biar aku ada temannya. Dari pada bengong liat aku makan, mending sama-sama kita habiskan masakannya."
"Enggak ah, aku takut gendut" tolak Aina halus.
"Kamu terlalu kurus, untuk perempuan seusia mu."
"Aku pergi nih, kalo terus-terusan protes" ucap Aina, sambil berniat bangkit dari kursinya.
"Jangan, aku teruskan makannya" cegah Bima, menyentuh jemari tangan Aina yang ada diatas meja.
Kembali Aina duduk menemani suaminya, menghabiskan makan malamnya. Tetapi di tengah-tengah makannya, Lidya dan Diandra ikut bergabung bersama mereka.
"Bima, ada yang ingin Mama bicarakan" ucap Lidya, ketika melihat putranya sudah selesai.
Ya, ada apa Ma. Katakan saja, aku siap mendengarkan" balas Bima, setelah meletakkan gelas minumnya.
"Orangtua Diandra sedang keliling Eropa, jadi mereka menitipkan anaknya sama Mama. Bagaimana kamu gak keberatan, bukan?"
Sebelum menjawab pertanyaan Mamanya, Bima melirik sang istri meminta pendapatnya. "Aku sih, gak keberatan Ma. Tapi kan yang sehari-harinya ada di rumah Aina, lebih baik Mama tanya dia aja" jawab Bima, mengalihkan perhatian pada istrinya.
"Yang punya rumah ini kan, kamu. Kenapa, harus minta pendapat perempuan udik itu?!"
"Ma, harta suami ya milik istri juga. Mama tau, kan!"
"Itu lain soal, kamu nikah aja gak minta restu Mama. Jadi harta mu, milik mu sendiri. Apalagi keberhasilan mu selama ini, atas doa ke dua orangtua."
"Tante, biar aku cari apartemen aja" sela Diandra menengahi percakapan antara Lidya dan Bima.
"Jangan, apa kata orangtua mu? Tante pastikan, Bima bakal menerima kamu tinggal di sini "bcegah Lidya tegas. "Yang harus angkat kaki dari rumah anakku Bima, ya perempuan udik ini."
"Walaupun udik atau kampungan apalah namanya, aku tetap menantu di keluarga Bagaskara. Jadi mau tidak mau, atau gak suka sekalipun Aina Larasati adalah istri dari Bima Bagaskara" ucapan Aina, memukul telak ego Lidya.
Sambil memegang dadanya, Lidya menunjuk wajah Aina dengan melotot. "Aku gak sudi, punya menantu seperti kamu. Bawa dia pergi Bima, Mama muak melihat mukanya yang sok polos. Argh!" keluhnya, kesakitan.
"Ma, Mama kenapa? Kita ke dokter, sekarang!" pekik Bima khawatir.
"Enggak usah, Mama hanya perlu beristirahat sejenak" tolaknya halus.
"Ayok Aina, biarkan Mama dengan keinginannya" Bima menarik tangan Aina, untuk di bawanya pergi. "Kita ngalah aja, kasihan Mama jadi tertekan."
Tinggal Lidya dan Diandra yang tersenyum sembunyi-sembunyi, melihat kepergian sepasang suami istri itu.
"Hebat Tante, aktingnya pantas mendapatkan piala citra" ungkap Diandra, mengacungkan jempol. "Emang Tante, punya riwayat penyakit jantung?"
"Enggaklah, seperti kata mu tadi itu cuman pura-pura."
"Hihihi!" ke duanya tertawa cekikikan, puas sekali berhasil memainkan drama satu babak.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
꧁♥𝑨𝒇𝒚𝒂~𝑻𝒂𝒏™✯꧂
Jgn coba2 menipu tntng penyakit Lydia, kelak betul2 sakit jantungnya ada dan terus mati lho
2023-11-08
1
yayan
penyakit bt main2 sekalinya kena lgsg mati tuh lidya
2023-10-22
3