Sudah tiga hari Bima pergi ke luar kota untuk suatu pekerjaan, dan selama itu pula terjadi perang yang tak pernah ada akhirnya. Lidya yang merasa sebagai Ibu mertua tak dianggap kehadirannya, olah sang menantu Aina Larasati. Sehingga ia selalu memancing keributan setiap kali mereka berpapasan, baik di dapur maupun di tempat lainnya di seputaran rumah. Ibaratnya untuk bernafas pun, Aina merasa kesulitan. Di tambah lagi kehadiran Diandra, yang keukeuh ingin memiliki Bima. Sebagai menantu yang tak dianggap, ia bisa apa? Mereka berdua seolah kompak memusuhinya, membuat gerah setiap langkah kakinya di rumah.
Seperti hari-hari biasa, Aina selalu bangun pagi. Di awali dengan membantu Mbok Jum di dapur, menyiapkan sarapan pagi. Setelah itu barulah ia ke taman di samping rumah, untuk menyiram tanaman bunganya. Bermain dengan belasan ikan koi peliharaannya, serta memberinya makan. Setelah semua selesai, barulah ia duduk di gazebo. Menikmati secangkir teh hangat, dan sepiring lontong sayur kesukaannya. Sambil sesekali mata berbulu lentik itu, mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Mencari inspirasi buat tulisannya, dalam suasana pagi yang hening. Tetapi kesendirian Aina terusik, ketika dari arah dapur Mbok Jum datang sembari bersungut-sungut.
"Ada apa, Mbok?" tanya Aina, menyapanya.
"Mbok di suruh pergi, gak boleh makan di dalem" ucapnya mengadu.
"Siapa yang berani mengusir Mbok Jum?" tanya Aina lagi.
"Nyonya besar, sama anteknya" jawab Mbok Jum pelan.
"Ya udah, Mbok sarapan di sini aja. Temani aku nge-teh, sambil menyelesaikan pekerjaan" ucap Aina memutuskan.
"Enggak pa-pa, saya di sini Non" katanya senang.
"Boleh aja, kan Mbok Jum juga penghuni rumah ini. Jadi gak ada larangan, untuk berada di lingkungan sini.
"Wah makasih ya, beda banget sifat Non Aina dengan yang di ono."
"Hust, gak boleh ngomong begitu. Siapa tau, malah nanti Diandra yang jadi majikan Mbok Jum!?"
"Yah jangan sampai Non Diandra jadi majikan Mbok, bisa-bisa di pecat begitu jadi Nyonya pengganti Non Aina."
"Jangan suudzon lho, Mbok. Harus berprasangka baik, siapa tau dari yang tadinya menyebalkan berubah jadi menyenangkan."
"Aamiin!"
"Nah gitu, sekarang aku mau nerusin bab selanjutnya. Mbok Jum sarapan dulu, setelah itu terserah mau apa? Di dapur udah beres, kan?"
"Udah Non, tinggal nyuci piring bekas mereka makan aja.
"Sekarang Mbok Jum makan, nanti keburu di panggil lagi."
"Iya, Non."
Aina kembali fokus mengerjakan tulisannya, ia tenggelam dalam alur cerita yang di buatnya. Sementara Mbok Jum, menghabiskan makanannya dengan cepat. Ia segera membereskan, piring juga gelas kotor ketika selesai.
"Udah beres, Mbok!?"
"Sudah Non."
"Kalo gitu Mbok duduk-duduk santai atau mau tiduran, tergantung Mbok Jum tinggal pilih yang mana?"
"Mending Mbok Jum beres-beres taman aja, daripada nanti ketauan mereka cuman diem. Bisa-bisa di pecat secara tidak hormat, sama Nyonya besar."
"Eh Mbok Jum, ngomongnya keren. Kayak orang kantoran aja, di pecat secara tidak hormat."
"Hehe! Abis Mbok suka nonton sinetron di tivi, jadi suka ikut-ikutan."
"Oo jadi kamu di sini Mbok, di cari-cari malah sembunyi!" suara menggelegar Lidya membuat Mbok Jum ciut, ia bersembunyi di balik punggung Aina. "Kenapa, takut sama saya?" tanyanya dengan mata melotot. "Mau ngadu kamu, sama majikan mu itu!"
"Enggak Nyonya, kan tadi di suruh minggat katanya" balas Mbok Jum takut-takut.
"Iya tadi, sekarang udah beres. Sana cuci semua peralatan bekas makan, terus beresin kamar tamu. Malam ini dan seterusnya, Non Diandra akan tinggal di sini."
"Lho, Mama kok gak rundingan dulu sama aku" ucap Aina kaget.
"Terserah aku saja, ini rumah anakku. Kamu hanya orang luar, yang diambil Bima dari jalanan" sentaknya kejam.
"Ma, setidaknya tunggu Mas Bima pulang dahulu" protes Aina, mengabaikan kata-kata menyakitkan Lidya.
"Halah...Bima pasti mengijinkan. Lagipula, orangtua Diandra mau keliling Eropa. Kasihan di tinggal sendiri, jadi bisa temenin Mama shopping."
"Iya kasian, terbuang dari keluarganya. Dan di pungut secara sukarela oleh Mama" ucap Aina sinis.
"Aina! Apa mulut mu, gak pernah di sekolahin?" tanya Lidya, sambil berkacak pinggang.
Aina hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, tersenyum tipis sembari meneruskan mengetik pada laptopnya. Mengakhiri konfrontasi, dengan Mama mertuanya. Percuma di teruskan juga, ujung-ujungnya nanti ia yang kena Omelan suaminya.
Lidya yang tidak mendapat jawaban dari Aina, berlalu sambil membawa kedongkolan diikuti Mbok Jum di belakangnya.
****
Malam harinya begitu selesai makan, Lidya dan Diandra mengobrol di ruang keluarga. Sedangkan Aina yang di acuhkan mereka lebih memilih memasuki kamarnya, bukan untuk tidur tetapi menghindari terjadinya pertengkaran. Ia mengambil sweter dari lemari pakaian, kemudian membuka pintu balkon. Udara di luar terasa dingin, angin berhembus sedikit kencang. Ia merapatkan sweter yang di pakainya, untuk menghalau dinginnya udara malam. Aina berdiri di pagar pembatas, yang terbuat dari besi. Ia melihat ke arah pos satpam, dimana Pak Slamet suami Mbok Jum tengah merokok sambil minum kopi.
Tak berapa lama kemudian, terdengar suara klakson mobil berbunyi. Gegas Pak Slamet turun dari posnya, ia mengintip terlebih dahulu lewat lubang kecil. Begitu tau siapa yang datang, Pak Slamet segera membuka pintu gerbang untuk sang bos. Lampu mobil menyorot terang, ketika memasuki halaman rumah. Dari pintu samping bagian penumpang, keluar seorang laki-laki bertubuh atletis. Masih mengenakan stelan kerjanya, Bima terlihat gagah. Mungkin merasa ada yang memperhatikan, ia mendongak ke atas. Senyumnya langsung merekah, begitu tatapannya bersirobok dengan Aina.
"Bima, selamat datang kembali" sapaan genit itu datangnya dari dalam rumah, lalu Diandra mencoba mengambil tas kerja Bima.
"Jangan, biar aku bawa sendiri" cegah Bima, sambil menahan tangan yang terulur.
Diandra tampaknya kecewa, tetapi secepat kilat ia bisa merubah wajahnya menjadi ceria kembali.
"Kenapa gak bilang-bilang pulang malam ini, nak?" tanya Lidya menyusul Diandra keluar, ketika mendengar suara putranya.
"Ma, kenapa Diandra ada di rumah ku?" bisik Bima, bertanya pada Lidya. Ia merengkuh bahu Mamanya, untuk di bawanya ke dalam.
"Nanti Mama kasih tau, sekarang bersihkan badan mu. Bau asem, tau!" Lidya pura-pura menutup hidungnya.
"Masa sih? Perasaan masih wangi kok, Ma" balas Bima, sembari menciumi ketiaknya bergantian.
"Ih, jorok kamu Bima!" pekik Lidya, mendorong tubuh besar putranya jauh-jauh.
"Oke, oke! Aku ke atas dulu, ingin menyapa istri cantik ku. Mama gak berantem kan, sama Aina?" tanya Bima, menghentikan langkah kakinya di undakan tangga.
"Tanyakan saja, pada perempuan kampung kesayangan mu itu" ketus jawaban yang keluar, dari belahan bibir sang Mama.
"Berarti kalian, gak baik-baik saja" ucap Bima menyimpulkan.
"Udah tau, kenapa tanya segala?"
"Cuman basa-basi, kali aja Mama dan Aina jadi bestie."
"Sampai lebaran monyet juga, Mama ogah berdamai dengan perempuan yang kamu panggil istri."
"Yah terserah Mama, tapi Bima cintanya cuma sama Aina. Gimana dong, Ma?"
"Tinggal kamu pilih, Mama yang melahirkan mu atau perempuan itu."
"Pilihan yang sulit, nanti Bima pikirin sekali lagi" kembali Bima menapaki undakan tangga, bermaksud menemui Aina. Perempuan yang diam-diam memasuki ruangan di hatinya, tanpa pernah ia sadari.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
꧁♥𝑨𝒇𝒚𝒂~𝑻𝒂𝒏™✯꧂
wkwkwk...Bima..Bima... pilihan yg dibuat oleh ibu mu terlalu extreme..
2023-11-08
1