Bab 4

Aina keluar dari perusahaan milik Bima dengan hati dongkol, ia tak menyangka begitu banyak wanita-wanita di sekitar suaminya. Sisa makanan yang di bawanya, di buangnya ke tempat sampah. Keinginan menjadi istri yang melayani suami hilang sudah, mendapati kenyataan bahwa petualangan Bima berhenti setelah menikah hanya angan belaka.

"Ram, kita ke cafe Hilda yuk" ajaknya pada sang sopir, yang sedang menikmati kopinya di dalam mobil.

Rama buru-buru menghabiskan minumannya, lalu keluar dari dalam mobil. Di buka kan pintu belakang untuk majikannya, yang juga merupakan sahabat karibnya.

"Langsung jalan aja, atau mampir ke rumah dulu" ucap Rama pelan.

"Enggak perlu ke rumah, buat apa?"

"Oke, kita cabut!"

Mobil berjalan pelan meninggalkan pelataran parkir, begitu memasuki jalan raya barulah Rama menaikkan kecepatannya. Untuk membunuh waktu, Aina mengajak sopirnya bercakap-cakap.

"Ram, boleh aku minta pendapat mu?" tanya Aina, disela-sela bisingnya lalu lintas. "Tapi pertanyaannya, agak pribadi."

"Boleh, silahkan saja" jawabnya, tanpa mengalihkan pandanganya dari jalan. " Aku akan jawab, seandainya bisa."

"Salahkah, bila aku menikah karena uang?" tanya Aina langsung pada intinya.

"Kalo itu menurut mu benar, kenapa tidak!?" balas Rama yakin.

"Tapi aku tak menyangka, kalo akan begini jadinya."

"Apa kamu menyesal Aina?"

"Sedikit."

"Kenapa gak kamu nikmati aja privilegenya?"

"Ya, aku sedang menikmatinya. Tetapi kadang terbersit di hati kecil ku, keinginan untuk bebas memilih."

"Sebagian besar wanita, menginginkan kehidupan mewah seperti mu Aina."

"He'um, mungkin aku kurang pandai bersyukur" keluh Aina, sembari memandang ke luar jendela kaca.

"Sebelumnya, tentu kamu tau sepak terjang suami mu terhadap wanita. Apakah kamu, menyadari semuanya?"

"Aku tau, Ram. Ku pikir akan mudah menjalaninya, tetapi ternyata begitu banyak tantangan menghadang di depan. Belum dengan Ibu mertua yang selalu menyindir aku yang gak becus mengelola rumah tangga, dan juga para gundik suami ku selalu merongrong kehidupan ku."

"Begitu kompleks masalah mu, Aina. Maafkan aku yang gak bisa membantu, di saat kamu dan Ibu mu dalam kesulitan."

"Cukup support aku aja, Ram. Yang lain biar aku hadapi, tokh mereka bisa apa? Aku lah pemenang, dari pertikaian ini."

"Jadi kamu berkelahi, menghadapi mereka?"

"Bukan seperti itu, Ram. Kami hanya beradu argumen, dan sedikit sindiran-sindiran pedas buat para gold digger suami ku."

"Apa tuan Bima gak marah, dengan yang kau lakukan?"

"Justru aku di jadikan samsak, untuk menghadapi mereka. Untuk itulah, aku di bayar mahal olehnya."

"Menarik juga, di jadikan istri sebagai tameng dirinya. Ternyata tuan Bima, lelaki pengecut. Berani berbuat, gak berani bertanggungjawab."

"Iya, lelaki kaya model Bima memang seperti itu" balas Aina menyetujui. "Tapi jangan bilang siapa-siapa ya, Ram. Aku gak berani berterus-terang pada Ibu ku, takut penyakitnya kambuh."

"Rahasia mu, aman di tangan ku Aina. Kalo ada apa-apa, kamu bisa percaya pada ku."

"Oke, can i count on you?"

"Of course! Kenapa tidak?"

"Thanks, Ram."

Cafe yang mereka tuju sudah tampak lengang, sebagian pengunjungnya telah kembali ke tempat kerja masing-masing. Tinggal beberapa anak sekolah, yang masih duduk-duduk santai. Dari kejauhan terlihat wanita dengan penampilan berkelas, datang menyambut Aina.

"Aina, tambah cantik aja" ucapnya jujur.

"Kamu juga, semakin kaya dan berkelas" balas Aina, tak kalah bersemangat memuji.

"Harus itu. Kita mesti membuktikan, bahwa wanita kebanyakan seperti aku dan kamu patut di contoh" katanya setikit menyombongkan diri.

"Aku setuju, kita buat orang-orang yang dulunya mencemooh dan menghina di buat terkagum-kagum dengan pencapaian ini."

"Ayok masuk, jangan berdiri aja" Hilda menuntun lengan Aina, dan berjalan menuju meja paling pojok. "Mau minum apa, Aina?"

"Seperti biasa, Boba milk Thai tea sama kentang goreng."

"Kenapa, enggak pake makanan berat?"

"Aku lagi diet, supaya bisa selangsing kamu."

"Bisa aja kamu. Badan mu udah cukup kurus, mau sekecil apa lagi?"

"Akan lagi malas makan aja, enggak yang lain."

"Okelah, terserah kamu" Hilda melambaikan tangannya, memanggil seorang waiters yang melintas. Ia kemudian melakukan pesanan, yang di minta Aina. Setelahnya mereka mengobrol berdua, tentang ini dan itu yang sedang ngetrend.

Tak terasa hari menjelang sore, ketika Aina kembali ke rumahnya. Di teras rumah sudah duduk suami juga Ibu mertuanya, Nyonya Lidya Bagaskara. Wanita paruh baya yang masih cantik, di usianya menjelang setengah abad.

"Bagus sekali, hari gini baru pulang. Keluyuran kemana kamu, Aina? Sampai-sampai suami dateng, istri masih di luar rumah" ucap Nyonya Lidya sinis, menyambut kedatangan menantunya.

"Halo Ma, apa kabar?" tanya Aina sopan, mengabaikan ucapan mertuanya. Ia hendak menyalami sang mertua, tetapi Nyonya Lidya malah membuang muka. "Maaf Mas, aku ada urusan sebentar" ucap Aina, mengalihkan perhatian pada suaminya.

"Darimana kamu, Aina?" tanya Bima, dengan airmuka keruh.

"Aku barusan mampir, ke cafenya Hilda" jawab Aina pelan.

"Mama mau nginap di sini, jadi tolong siapkan kamar tamu untuk beliau."

"Baiklah, aku permisi" Aina undur diri,dari hadapan mereka. Membiarkan suami dan Ibunya bercakap-cakap, tokh ia tidak pernah di ikut sertakan dalam pembicaraan mereka.

"Istri mu benar-benar perempuan gak tau sopan-santun, dasar kampungan" masih terdengar, suara Ibu mertuanya yang mengomelinya.

Aina agak tertegun sesaat, ingin membalas rasanya kurang elok. Biar bagaimana pun, Nyonya Lidya adalah mertuanya yang harus di hormati. Ia segera berjalan ke arah belakang, mencari keberadaan Mbok Jum. Perempuan bertubuh subur itu, sedang mempersiapkan makan malam.

"Mbok Jum, tolong siapkan kamar tamu buat Ibu mertua ku" sapa Aina, ketika pembantunya selesai menata meja makan.

"Siap Non!" dengan sigap Mbok Jum, mematuhi perintah majikannya.

Aina kembali berjalan, hendak menuju kamarnya di lantai dua. Pintu kamar suaminya terbuka lebar, di dapatinya Bima sedang duduk di sisi tempat tidur.

"Aina!" panggilnya pelan.

"Kenapa bisik-bisik?" tanyanya heran.

"Shut, jangan keras-keras. Nanti Mama dengar, pembicaraan kita" Bima, menempelkan tangan di bibirnya.

"Memangnya ada rahasia, apa?" tanya Aina , ikut-ikutan berbisik.

"Kita harus tidur satu kamar..."

"Enggak mau!" potong Aina cepat, menolak keras keinginan Bima.

"Aku janji, gak akan macam-macam" kata Bima lagi.

"Apa bisa di percaya?" tanya Aina menantang. "Janji seorang Casanova kawakan, model kamu" sindirnya tajam.

"Akan ku beri kamu, salah satu apartemen mewah milik ku. Seandainya, aku berbohong."

"Oke deal!" Aina segera menyetujuinya. Ia punya rencana lain, untuk merayu Bima agar bisa mendapatkan hunian mewah milik suaminya.

"Deal!" Bima pun tersenyum tipis, selalu ada jalan untuk mendapatkan tubuh istrinya. Hilang satu apartemen, masih ada yang lainnya. Yang terpenting keinginannya tercapai, bercinta dengan si kucing liar.

Aina melirik sinis suaminya, ia tau ada pikiran jahat yang menguasai otak mesumnya. 'Hah! Lihat saja, siapa yang akan memenangkan pertarungan ini!?' bisik hatinya riang.

     ****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!